TEORI ILMU-ILMU SOSIAL
1. Teori Karl Marx
Karl Marx sebagai
filosof tampil ke dalam dunia pemikiran dengan sejumlah gagasan. Sosok Marx,
memiliki alur pemikiran karakteristik dan khas dengan filosof yang lain. Marx
menyandang beberapa gelar, diantaranya sebagai bapak dan guru sosialisme,
ekonomi, pemikir sosial (sosiolog) dan sebagai pembawa harapan masa depan bagi
terciptanya teori taman bunga di dunia, khususnya bagi kaum melaratdan
mereka yang tercampakkan dari kehidupan (Ramly, 2009:6).
Urgensi
ajaran Karl Marx selalu menarik untuk dibicarakan, karena baik filsafat maupun
perangkat ideologi yang dikandungnya dapat disesuaikan dengan keadaan zaman
yang berlangsung. Dari sisi ini, ajaran Karl Marx yang semula sebagai kontra
dialog pemikiran zamannya telah menjelma sebagai pandangan hidup sekaligus
menjadi pandangan dunia (Ramly, 2009:8-9).
Konsep Marx
tentang sejarah menjadi menonjol karena menempatkan manusia pada posisi kunci.
Manusia adalah insan yang bersejarah. Manusia terlibat dalam tingkat
perkembangan sejarah yang telah, sedang dan akan berlangsung. Sejarah dari
setiap masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah pertentangan kelas.
Orang merdeka atau budak, bangsawan dan gembel, kepala tukang dan pekerja ahli,
pendeknya yang menindas dan yang tertindas, berada dalam pertentangan yang
tiada akhirnya (Ramly, 2009:22).
Panorama baru
dari pandangan Marx tentang manusia, sebab pada dasarnya ia seorang filosof
yang percaya bahwa hakikat manusia adalah adalah makhluk sosial bukan makhluk
individual. Manusia berubah menjadi bengis dan serakah terhadap sesamanya bukan
disebabkan oleh pembawaan, tetapi adanya perubahan dari sistem sosial di
sepanjang sejarah (Ramly, 2009:26).
Dalam
segi lain, manusia sebagai individu yang lepas dari ikatan masyarakat haruslah
dianggap sebagai pandangan yang menyalahi hakikat sejarah, manusia hanya dapat
dipahami sejauh diletakkan dalam kaitannya dengan masyarakat sebab manusia
tidak lain hanyalah keseluruhan relasi-relasi masyarakat, ringkasnya manusia
mendapatkan posisinya dalam kolektifitas sosial (Ramly, 2009:77).
a.
Kapitalisme
Kapitalisme
adalah sistem kekuasaan dan kapital adalah uang.Namun, Marx mengungkapkan
kapital bukan hanya itu: kapital juga merupakan sebuah relasi sosial tertentu.
Dengan kata lain, uang hanya akan menjadi kapital jika ada relasi sosial antara
proletar yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang menginvestasikan
uangnya dan inilah merupakan relasi kekuasaan. Sistem kapitalis adalah struktur
sosial yang muncul dari dasar hubungan ekspoloitatif tersebut. Para kapitalis
adalah orang-orang yang hidup dari keuntungan kapital mereka (Ritzer dan
Goodman, 2013:54).
Pandangan Marx,
pada dasarnya struktur dan etos kapitalisme mendorong kapitalis dalam
mengarahkan akumulasi kapital lebih banyak. Berdasarkan pandangan Marx bahwa
kerja merupakan sumber nilai, kapitalis digiring untuk meningkatkan eksploitasi
terhadap proletar. Inilah yang mendorong terjadinya konflik kelas. Marx selalu
definisikan kelas sesuai dengan potensinya konflik (Ritzer dan Goodman,
2013:58).
Menurut Marx, ada
dua macam kelas di dalam menganalisis kapitalisme, yaitu borjuis dan proletar.
Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para kapitalis dalam ekonomi modern.
Mereka memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan pekerja upahan. Kelas
borjuis memiliki faktor kekuasaan, menjalankan transaksi komersial dan
menjatuhkan kemanusiaan dengan menempatkan manusia sebagai mesin, sedangkan
kelas proletar hanya sebagai buruh atau pekerja (Ritzer dan Goodman, 2013:59).
Ideologi kelas
yang berkuasa mencerminkan sistem ekonomi yang berlaku, para pemilik alat-alat
produksi sungguh percaya bahwa sistem yang berlaku secara ekonomi. Secara
sosial yang paling adil dan secara filosofis paling selaras dengan
undang-undang alam (Ebenstein, 2006:17).
Ramalan Marx
tentang masyarakat dalam sistem ekonomi kapitalis telah banyak dibuktikan oleh
keadaan. Dalam fase-fase permulaan pertama perkembangan industri di bawah
kapitalisme, yaitu kelas industri. Kaum proletar (proletariat) menurut Marx,
tetap bertambah atas kerugian kaum artisan, kaum petani yang tidak punya tanah
dan golongan lain yang anggota-anggotanya mencari pekerjaan pada pabrik-pabrik
dan tambang-tambang yang selalu bertambah besar dan luas (Ebenstein, 2006:32).
Kapitalisme
menurut sejarahnya berkembang sebagai bagian dari gerakan besar. Gerakan itu
menghasilkan reformasi di bidang pendidikan, pertumbuhan ilmu pengetahuan alam
dalam hubungan-hubungan manusia, ilmu pengetahuan sosial di bidang politik,
pemerintahan yang demokratis, bidang ekonomi dan sistem kapitalis. Di dalamnya
tersimpul konsep kapitalisme lebih dari hanya satu sistem ekonomi, mencerminkan
cara hidup. Dalam sistem kapitalis, hak milik atas alat-alat produksi (tanah,
pabrik, mesin, sumber alam) ada di tangan orang perseorangan, tidak di tangan
negara. Kecenderungan peradaban kapitalis lebih menyukai kepemilikan
perseorangan atas alat produksi didasarkan atas dua pertimbangan (Ebenstein,
2006:223).
Prinsip
dari sistem kapitalisme dapat dipaparkan sebagai berikut.
Pertama,
prinsip ekonomi pasar. Ekonomi pasar sistem kapitalis didasarkan
atasspesialisasi pekerjaan. Harga pasar tidak ditentukan oleh adat dan
kebiasaan juga oleh perintah seorang penguasa politik. Fungsi ini dipenuhi
suplai dan permintaan. Ekonomi pasar adalah tulang punggung bagi semua sistem
ekonomi (Ebenstein, 2006:225).Kemerdekaan khusus yang paling penting dari
ekonomi pasar, di antaranya bagi pekerja untuk memilih garis pekerjaannya dan
pekerjaan tertentu bagi dirinya sendiri, bagi pengusaha untuk memilih jenis
usaha yang akan dilakukannya dan mendirikan usaha di tempat yang
dikehendakinya, bagi penanam modal untuk menanam modalnya dalam perusahaan
apapun yang dipilihnya, akhirnya bagi konsumen untuk membeli barang produksi
yang lebih disukainya. Kemerdekaan yang terakhir adalah kedaulatan konsumen,
dalam banyak hal merupakan yang terpenting. Pada akhirnya konsumenlah yang menentukan
di pasar bebas apa yang harus dihasilkan, bagaimana kualitas dan berapa
jumlahnya (Ebenstein, 2006:229).
Kedua,
prinsip persaingan. Dalam ekonomi kapitalis, setiap orang bebas untuk memilih
pekerjaan apa yang disukainya (kemerdekaan untuk mempunyai pekerjaan).Tidak
boleh ada pembatasan atau pengecualian (seperti atas dasar sentimen rasial atau
agama) yang dibuat oleh setiap pekerjaan atau keahlian. Pasar kapitalis juga
menyediakan tempat untuk barang dan jasa ditawarkan untuk dijual. Sedang jumlah
dan mutunya diatur dengan jalan persaingan bebas. Anggapan pokok dalam ekonomi
kapitalis ada pertimbangan yang relatif antara kesanggupan tawa-menawar di
kalangan dan antara para pembeli dan penjual (Ebenstein, 2006:230).
Ketiga,
prinsip kebebasan. Kebebasan untuk mengadakan persaingan di pasar berasal dari
empat kebebasan kapitalis yang pokok: kebebasan untuk berdagang dan mempunyai
pekerjaan, kebebasan untuk mengadakan kontrak, kebebasan hak-milik dan
kebebasan untuk membuat untung. Apabila dari salah dari keempat kebebasan
dibatasi, maka berkuranglah persaingan. Pilihan lain dari persaingan adalah a)
monopoli perseorangan, atau b) negara yang serba kuasa. Dalam kedua hal,
penetapan harga barang dan jasa yang semau-maunya oleh suatu kekuasaan de facto (sepeti halnya dengan monopoli
perseorangan) atau oleh kekuasaan yang sah (seperti halnya dengan negara) (Ebenstein,
2006:231).
Keempat,
prinsip keuntungan. Keuntungan adalah prinsip pokok lain yang merupakan ciri
dari sistem kapitalis. Perkembangan sistem keuntungan di bawah kapitalisme
tidak perlu menunjukkan bahwa dengan memberikan kesempatan yang lebih besar
untuk mencari keuntungan, kapitalisme menjadi lebih tidak bersusila. Ini
menunjukkan bahwa kapitalisme lebih demokratis sifatnya dalam membuka kesempatan
keuntungan bagi orang-orang dan kelas-kelas yang secara tradisional
dimarjinalkan. Konsep keuntungan, tentunya tidak terbatas pada pengusaha.
seorang pekerjayang mengambil pekerjaan yang dinginkannya (Ebenstein,
2006:234).Setiap kali sistem kapitalisme dilukiskan sebagai suatu sistem
mencari keuntungan, keadaan sebaliknya juga sama penting. Kapitalisme juga sutu
sistem merugi. Kesempatan untung dan rugi dalam kapitalisme tidak ada
bandingannya, mempunyai persamaan dalam suatu hal: pengambilan resiko untuk
diri sendiri (Ebenstein, 2006:236).
b. Pertentangan
Kelas
Kelas
merupakan sebuah konsep yang menentukan kedudukan sosial manusia dari segi
kepemilikan benda atau harta yang tidak dapat dipisahkan dari konsep ekonomi.
Perkembangan struktur industri kapitalisme hanya memperkenalkan dua jenis kelas
saja, yaitu borjuisdan proletar.Semua kelas buruh upahan akan
diklasifikasikan sebagai kelas proletar. Sedangkan kelas kapitalis dan pemilik
tanah dimasukkan dalam kelas borjuis (Ismail, 2012:30).
Kelas
proletar dan borjuis memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Kelas borjuis
memiliki dan menguasai alat-alat produksi serta menguasai seluruh rangkaian
sistem produksi, sedangkan kelas proletar dijadikan sebagai tenaga kerja yang
bekerja untuk kelas borjuis dalam rangkaian proses produksi. Kelas proletar
seringkali dianggap sebagai kelas bagi orang-orang yang hanya memiliki tenaga
kerja. Mereka tak memiliki apapun selain tenaga yang mereka gunakan untuk
bekerja. Sebagai imbalannya, mereka menerima gaji dari kaum borjuis dengan
jumlah yang sangat rendah. Ini tentu saja tidak adil bagi mereka. Jurang
perbedaan antara kedua kelas inilah yang menyulut perjuangan dan pertentangan
antara kelas-kelas sosial. Marx menyebutkan bahwa sejarah manusia adalah
sejarah pertentangan antara kelas yang menindas dan kelas yang tertindas
(Kristeva, 2011:11).
Pertentangan
adalah arti umum dan awal dari dialektika. Dari sisi lain dialektika mengandung
pengertian adanya gerak maju dari tahapan yang rendah ke tahapan yang tinggi
dan serentak dengan dibarengi adanya persatuan. Dialektika mengandung suatu
pola ulangan dari antagonisme yang disusul dengan penyesuaian.Berpikir
dialektis salah satu aspeknya adalah totalitas, dalam artian keseluruhan yang
ada di dalamnya memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan
ingkari), saling berkontra diksi (melawan dan dilawan), dan saling bermidiasi
(memperantarai dan diperantarai) (Ramly, 2009:14).
Marx
menyatakan,pertentangan yang terjadi kadang kala dapat dilihat secara tersembunyi,
tetapi terkadang juga dapat berlaku dan dilihat secara terbuka (Kristeva,
2011:15).
Marx
menganalisis sistem pemilikan pribadi yang ada di tangan borjuis di satu pihak
dan kelas miskin atau proletar di pihak lain. Dua kelas masing-masing mempunyai
kepentingan yang saling bertentangan. Dari sinilah akan lahir proses
dehumanisasi, pemiskinan kaum buruh di tangan kaum pemilik modal. Lahir teori
nilai lebih yang memperkosa kemanusiaan kaum pekerja kemudian sebagai akibatnya
akan terlihat munculnya alienasi (keterasingan) manusia dari diri dan
lingkungannya. Singkatnya, industri-industri besar menelan modal yang besar dan
hal ini sama artinya dengan kekuasaan ekonomi di tangan segelintir orang. Marx
menunjukkan betapa kaum buruh menjadi semakin miskin, dengan demikian Marx
sesungguhnya merintis penyadaran etis (Ramly, 2009:23-24).
Menurut
Marx riwayat dari setiap masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Orang
merdeka atau budak, bangsawan atau gembel, tuan dan pelayan yang ditindas, dan
yang menindas berada dalam pertentangan yang tajam, mereka melangsungkan
pertentangan yang tidak ada akhirnya. Konsep pertentangan kelas merupakan pokok
soal yang diturunkan dari cara produksi dan hubungan produksi yang timpang
dalam masyarakat. Adanya pemilikan alat-alat yang sifatnya individual
mengendalikan nasib orang banyak dapat ditentukan oleh kelompok kecil.
Pertentengan kelas yang berlangsung sejak dahulu hingga kini mengarah pada
pertentangan kelas borjuis terhadap kelas proletar (Ramly, 2009:145-146).
Kepentingan
bagi kaum pemilik modal untuk terus-menerus berambisi menciptakan produksi
sebanyak-banyaknya. Kelas bojuis berhasil memperoleh kekuasaan ekonomi dan
politik, dengan kekuasaan ini mereka secara lihai mengubah hubungan manusia
menjadi transaksi komersial, yaitu dengan menempatkan tenaga buruh tidak lebih
dari barang dagangan (Ramly, 2009:147).
Dalam
konsep pertentangan kelas bukanlah terletak pada kenyataan bahwa ada orang kaya
dan orang miskin, tapi mencari jawab dari soal: apakah yang menyebabkan
kekayaan dari beberapa orang dan kemiskinan orang lain. Konsep kelas dalam
kerangka ini menjadi dasar munculnya ide bahwa perbedaan dalam status sosial
tidak tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi perbedaan kelompok tertentu
karena dipaksakan oleh keadaan sosialnya. Jadi dengan cara khusus, Marx
melukiskan perjuangan kelas, penindasan kaum borjuis dengan konfliknya kaum
proletar (Ramly, 2009:150).
Konsep
kelas dan pertentangan kelas ini sesungguhnya muncul karena perkembangan kerja
sosial, yaitu munculnya hak milik pribadi atas alat produksi. Dengan kata lain,
pemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi dasar utama pembagian kelas
dalam masyarakat (Ramly, 2009:151).
“It is not the consciousness of
men that determines their being, but, on the contrary, their social being that
determines their consciousness” Pandangan Karl Marx yang melihat bahwa
kesadaran individu dibentuk oleh realita sosial sebagaimana kalimat di atas,
merupakan dasar dari konsep materialisme dialektika (dialectical materialism).
Marx percaya dunia dan realita sosial tidak berawal dari gagasan dan kesadaran
yang ada dalam kepala indidvidu, melainkan dari hal-hal nyata, dari sesuatu
yang sifatnya material (bisa dilihat, bisa diamati, bisa dialami). Kesadaran
dan tindakan individu tidak lahir dari apa yang ada dalam pikirannya, melainkan
lahir dari melihat, mengamati, dan mengalami langsung setiap hari. Materialisme
yang dimaksud Marx adalah hal-hal yang nyata, realita, apa yang ada di dalam realita
sosial. Aliran idealisme melihat kesadaran dan gagasan sebagai pangkal yang
mempengaruhi dan menyebabkan tindakan individu dan sekaligus membentuk realita
sosial (Madasari, 2012).
Dialektika adalah perjalanan sejarah
manusia yang terbangun atas tiga bagian yang disebut sebagai tesis (thesis),
antitesis (antithesis), dan sintesis (synthesis).Tesis
merupakan persoalan yang ada. Antitesis adalah tanggapan kritis dari persoalan
tersebut. Sementara sintesis merupakan kondisi baru yang tercapai setelah tesis
mengoreksi antitesis. Marx merumuskan apa yang menjadi tesis, antitesis, dan
sintesa sebagai perjalanan sejarah manusia untuk mencapai bentuk masyarakat
yang paling sempurna. Bagi Marx, sejarah manusia terbentuk dari upaya mereka
untuk memenuhi kebutuhannya, entah sadar atau tidak (Madasari, 2012).
“The social history of men is never
anything but the history of their individual development, whether they are
conscious of it or not” Dalam upaya pemenuhan kebutuhan, kemampuan
produksi merupakan hal dasar yang harus dikuasai. Keberadaan alat produksi dan
akses individu terhadap alat produksi menjadi masalah dasar dalam upaya
pemenuhan kebutuhan tersebut.Dengan keterbatasan akses pada alat produksi,
tidak setiap individu memiliki kemampuan produksi.Alat produksi hanya dikuasai
oleh satu lapisan masyarakat, yakni kelompok borjuis.Sementara kelompok yang
tidak menguasai alat produksi adalah kelompok proletar.Di sinilah dialektika
dimulai.Bagaimana perjuangan kelompok proletar merebut akses terhadap alat
produksi dari tangan kelompok borjuis (Madasari, 2012).
Penguasaan alat produksi di tangan
borjuis adalah tesis.Sementara perjuangan proletar merebut alat produksi adalah
antitetis.Sintesis adalah kondisi di mana alat produksi tidak lagi dikuasai
oleh borjuis, melainkan dimiliki bersama oleh seluruh lapisan masyarakat
(Madasari, 2012).
c. Eksploitasi
Bagi
Marx, eksploitasi dan dominasi lebih dari sekadar distribusi kesejahteraan dan
kekuasaan yang seimbang. Eksploitasimerupakan suatu bagian yang penting dari
ekonomi kapitalis. Tentu saja, semua masyarakat memiliki sejarah eksploitasi,
tetapi yang unik di dalam kapitalisme adalah bahwa eksploitasi dilakukan oleh
sistem ekonomi yang impersonal dan “objektif”. Hal ini kemudian kurang menjadi
persoalan kekuasaan dan lebih menjadi persoalan grafik dan gambar-gambar para
ekonom. Kemudian, paksaan jarang dianggap sebagai kekerasan, malah menjadi
kebutuhan pekerja itu sendiri, yang sekarang bisa terpenuhi hanya melalui upah (Ritzer
dan Goodman, 2013:54).
Para
pekerja menjadi “buruh-buruh yang bebas”, membuat kontrak-kontrak bebas dengan
para kapitalis. Marx percaya para pekerja harus menaati syarat dan ketentuan
kapitalis karena para pekerja tidak lagi mampu memproduksi demi kebutuhan
mereka sendiri. Hal ini benar khsusnya karena biasanya kapitalisme menciptakan
apa yang dirujuk Marx sebagai “tentara cadangan” dari pengangguran. Jika para
pekerja tidak melakukan tugas dengan upah yang diberikan oleh kapitalis, maka
ada orang lain di dalam “tentara cadangan” yang mau melakukannya (Ritzer dan
Goodman, 2013:55).
Kapitalis
membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup
keuntungan untuk diri mereka sendiri.Hal ini termuat dalam konsep Marx tentang
nilai lebih.Nilai lebih didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai produk
dengan nilai elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut (termasuk
kerja para pekerja). Kapitalis melebarkan perusahaan mereka dengan mengubah
nilai lebih menjadi modal yang akan menghasilkan nilai lebih yang lebih banyak
lagi (Ritzer dan Goodman, 2013:56).
Nilai
lebih, seperti halnya kapital merupakan suatu relasi sosial partikular dan
suatu bentuk dominasi, karena kerja merupakan sumber nilai tambah yang
sebenarnya.Marx memberikan sebuah ibarat tentang hal ini, yaitu kapital merupakan
kerja yang mati dan hidup dengan menghisap kehidupan kerja dan angka nilai
lebih merupakan ekspresi yang paling tepat bagi tingkat eksploitasi tenaga
kerja oleh kapital (Ritzer dan Goodman, 2013:57).
Beberapa cara yang lazim
dipergunakan oleh kaum kapitalis (kelas borjuis) dalam meningkatkan nilai
lebih, menurut Marx antara lain dengan meningkatkan jam kerja, intensitas
kerja, pengetatan kontrol terhadap pekerja/buruh (kelas proletar) dan
penggantian tenaga kerja laki-laki dengan tenaga kerja perempuan serta
anak-anak (Suseno, 2003:11).
Kapitalisme
selalu didorong oleh kompetisi yang tiada henti.Keinginan untuk memperoleh
lebih banyak keuntungan dan lebih banyak nilai lebih untuk ekspansi, mendorong
kapitalisme pada yang disebut Marx dengan hukum umum akumulasi
kapitalis.Kapitalis berusaha mengeksploitasi para pekerja semaksimal mungkin,
tendensi konstan kapitalis adalah untuk memaksa ongkos kerja kembali keangka
nol. Marx pada dasarnya berpendapat bahwa struktur dan etos kerja yang
merupakan sumber nilai dengan meningkatkan eksploitasi terhdap proletar (Ritzer
dan Goodman, 2013:57).
Nilai
lebih adalah nilai yang diberikan oleh kaum pekerja (proletar) secara terpaksa
melampaui apa yang dibutuhkan. Karena terikat oleh perjanjian kerja, maka kaum
pekerja harus menyelesaikan kerja yang diberikan. Dalam sistem kapitalis
diandaikan sang majikan selalu berusaha memperbesar nilai lebih yang dimaksud.
Kondisi ini digambarkan oleh Marx sebagai pemerasan (Ramly, 2009:152).
Berkembangnya
industri, konsekuensinya tenaga buruh digantikan oleh mesin. Mereka
tercabut dan terasing dengan mesin-mesin
kerja yang baru dan pada saat yang sama potensi intelektual mereka direduksi
oleh kaum pemilik modal menjadi tidak lebih dari sekrup. Gambaran selanjutnya
dalam proses ini adalah mesin-mesin berproduksi secara besar-besaran, sehingga
barang bertumpuk di pasaran. Secara hukum ekonomi barang yang bertumpuk
menjadikan harganya turun, akibatnya upah yang didapat oleh kaum buruh juga
menjadi semakin sedikit (Ramly, 2009:154).
Menurut
penggambaran Marx, semakin menyusutnya jumlah hartawan kapitalis, maka sejalan
dengan hal itu akan terdapat pertambahan massa yang miskin, perbudakan
degenerasi dan eksploitasi. Monopoli kaum kapitalis pada saatnya akan menjadi
belenggu bagi metode produksi yang berkembang. Dari krisis ini kaum proletar
dibalut dendam kusumat tampil menjalankan tugas sejarahnya, yaitu merebut
alt-alat produksi untuk disosialkan (Ramly, 2009:156).
d. Alienasi
Teori
alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksiindustrial
yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangankontrol
atas hidup mereka.Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam
kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran bersama. Namun, mereka hanya
bisa mengekspresikan secara mendasar aspek
sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidakdimiliki secara
sosial atau secara publik (Boas, 2008:135).
Marx
menganalisis bentuk yang aneh dalam hubungan kerja berada di bawah
kapitalisme.Kerja tidak lagi sebagai ekspresi dan tujuan.Tidak ada objektivasi,
melainkan bekerja berdasarkan tujuan kapitalis yang memberi gaji atau upah
(kelas proletar).Dalam kapitalisme, kerja tidak lagi menjadi tujuan pada
dirinya sendiri sebagai ungkapan dari kemampuan dan potensi kemanusiaan,
melainkan tereduksi menjadi sarana untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh
uang.Dengan demikian, kerja bukan lagi milik pribadi sehingga tidak bisa lagi
mentransformasikan. Dengan kata lain teralienasi (terasingkan) oleh kerja, dan
alienasi merupakan sifat dasar sebagai manusia (Ritzer dan
Goodman, 2013:35).
Walaupun
perseoranganlah yang mengalami alienasi dalam masyarakat kapitalis, struktur
kapitalisme yang menjadi dalang alienasi ini.Marx menggunakan konsep alienasi
untuk menyatakan pengaruh produksi kapitalis terhdap manusia dan terhadap
masyarakat. Hal yang terpenting adalah sistem dua kelas, kapitalis menggunakan
dan memperlakukan para pekerja (dengan cara demikian, waktu kerja mereka) dan
alat-alat produksi mereka (alat dan bahan mentah) sebagaimana produk akhir para
pekerja dipaksa menjual waktu kerja mereka kepada kapitalis agar mereka bisa
bertahan. Inilah basis sosiologis dari fenomena alienasi (Ritzer dan Goodman,
2013:36).
Hasilnya,
manusia hanya merasa aktif di dalam fungsi hewaniahnya, yaitu makan, minum,
punya keturunan sementara di dalam proses kerjanya, tidak lagi merasa diri
menjadi apa-apa selain menjadi binatang. Betapa binatang telah menjadi manusia,
dan manusia telah menjadi binatang. Tentu saja makan, minum, punya keturunan
dan sebagainya juga merupakan fungsi dasar manusiawi, akan tetapi terpisah dari
jangkauan seluruh aktivitas kemanusiaan yang lain dan beralih kepada tujuan
yang tunggal dan mendasar yang merupakan fungsi kebinatangan (Ritzer dan Goodman,
2013:37).
Alienasi
terdiri dari empat unsur dasar.Unsur-unsur tersebut sebagai berikut.
Pertama,
para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari aktivitas produktif mereka.Kaum pekerja
tidak memproduksi objek-objek berdasarkan ide mereka sendiri atau untuk secara
langsung memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka bekerja untuk kapitalis yang
memberi mereka upah dengan imbalan bahwa mereka menggunakan para pekerja
menurut cara yang mereka inginkan. Menurut Marx, menjadi sarana-sarana yang membosankan
dan mematahkan semangat demi sekadar memenuhi tujuan paling utama dalam
kapitalisme memperoleh cukup uang untuk bertahan hidup (Ritzer dan Goodman,
2013:38).
Kedua,
para pekerja tidak hanya teralienasi dari aktivitas produktif, akan tetapi juga
dari tujuan aktivitas tersebut, yaitu produk.
Produk kerja mereka tidak menjadi milik mereka, melainkan menjadi milik para
kapitalis yang mungkin saja menggunakan cara yang mereka inginkan, karena
produk merupakan hak milik pribadi para kapitalis. Marx menyatakan bahwa hak
milik pribadi adalah produk, hasil dan dampak yang punya nilai dan harga yang
dihasilkan dari kerja yang teralienasi. Kapitalis akan menggunakan hak miliknya
untuk menjual produk demi mendapatkan keuntungan (Ritzer dan Goodman, 2013:38).
Ketiga,
para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari sesama pekerja. Asumsi Marx adalah
manusia pada dasarnya membutuhkan dan menginginkan bekerja secara kooperatif
untuk mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam untuk terus bertahan. Sekalipun
para pekerja berdampingan, namun hakikat teknologi sebenarnya justru melahirkan
isolasi. Situasi sosial ini lebih buruk bila dibandingkan dengan isolasi yang
sederhana, para pekerja sering dipaksa telibat dalam kompetisi secara langsung
dan tidak jarang terjadi konflik satu dengan yang lain. Untuk mencegah
perkembangan hubungan yang kooperatif, maka kapitalis mengadu seorang pekerja
dengan pekerja yang lain untuk melihat mana yang bisa memproduksi lebih banyak,
lebih cepat atau lebih menyenangkan atasannya, yang sukses diberi imbalan
ekstra dan yang kalah akan disingkirkan. Situasi ini menguntungkan kapitalis
karna muncul kedengkian sesama pekerja.Isolasi dan kedengkian pribadi sesama
pekerja dalam kapitalisme membuat mereka teralienasi dari teman-teman mereka
sesama pekerja (Ritzer dan Goodman, 2013:39).
Keempat,
para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari potensi kemanusiaan mereka sendiri.Kerja tidak lagi menjadi
transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia.Individu-individu menampakkan
diri semakin kurang seperti manusia karena di dalam kerja mereka tereduksi
menjadi mesin-mesin.Hasilnya adalah banyak orang yang tidak mampu
mengekspresikan kualitas kemanusiaan mereka yang terdalam dan makin banyak
pekerja yang teralienasi (Ritzer dan Goodman, 2013:39).
Alienasi
merupakan satu contoh kontradiksi yang menjadi titik pendekatan dialektis
Marx.Ada kontradiksi nyata antara antara sifat dasar yang dibatasi dan
ditransformasikan oleh kerja dengan kondisi sosial yang aktual dari kerja di
bawah kapitalisme. Individu merasa kurang atau bahkan tidak teralienasi sama
sekali karena mengidentifikasi diri dengan majikannya atau dengan segala
sesuatu yang bisa diperoleh dengan gaji yang diberikan. Justru keadaan seperti
ini merupakan gejala alienasi, yang hanya bisa diobati dengan perubahan sosial
yang benar-benar nyata (Ritzer dan Goodman, 2013:41).
e. Perjuangan
Kelas
Marx
mengatakan, sejarah perjuangan manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dan
negara hanya merupakan alat yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menindas
seluruh kelas bawahan. Konsep-konsep dominasi tersebut akan berakhir dengan
penghapusan sistem kapitalisme, dan itu merupakan tanda bahwa kelas proletar
yang dipelopori oleh kaum buruh telah menang. Keberhasilan sebuah revolusi dalam
perjuangan meruntuhkan pemerintahan lalu menguasainya hanya bergantung kepada
sikap diktator proletar yang dimanifestasikan dalam bentuk perjuangan kelas.
Sikap diktator itu sendiri diartikan sebagai ‘alat’ dalam tahap peralihan ke
arah pemusnahan semua kelas masyarakat (classless), yaitu tranformasi
dari masyarakat kapitalis ke masyarakat komunis (Kristeva,2011:19).
“The
history of all hitherto society is the history of class struggles”.Perjuangan
kelas proletar untuk merebut alat produksi dari tangan kelas borjuis merupakan
bentuk perjuangan kelas.Marx melihat pertentangan kelas dimulai ketika
masyarakat meninggalkan kehidupan primitif.Pada
masyarakat primitif, sumber daya alam dimanfaatkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar mereka.Sumber daya alam dikelola dan dimiliki bersama-sama.Dari
bentuk primitif, mulai lahirlah kelompok masyarakat feodal.Di sini, terjadi
pertentangan kelas antara keluarga bangsawan yang menguasai tanah dan sumber
daya, dan rakyat yang tak memiliki hak apa-apa.Setelah bentuk feodal, lahirlah
masa perbudakan.Pertentangan kelas terjadi antara majikan-majikan yang merdeka
dengan budak mereka.Setelah itu, ketika era industri dimulai, terbentuklah
masyarakat kapitalis yang ditandai oleh penguasaan alat produksi oleh kelompok
borjuis, kepemilikan individu, dan kompetisi bebas.Sifat-sifat kapitalis inilah
yang menurut Marx kini melahirkan penindasan dan eksploitasi pada sesama
manusia (Madasari, 2012).
Menurut Marx, masyarakat harus
kembali ke bentuknya yang paling awal, yakni masyarakat komunis. Dalam
masyarakat komunis, alat produksi dimiliki bersama dalam masyarakat.Alat
produksi tersebut dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama.Tidak ada kompetisi
yang melahirkan penindasan.Tidak ada kepemilikan individu yang melahirkan kelas-kelas
berdasarkan kepemilikan.Menurut Marx, kunci perubahan itu ada pada tangan kelas
proletar sendiri. Penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dialami kelas
proletar melahirkan kesadaran pada masing-masing individu.Dengan kesadaran
individu itu, kelas proletar bergerak untuk merebut alat produksi yang dikuasai
kelas borjuis.Selain itu, kelas proletar juga harus berani menanggalkan
kepemilikannya sendiri untuk bersama-sama bergerak merebut alat produksi
(Madasari, 2012).
Menurut
Marx, setiap transformasi sejarah tersebut dicapai melalui revolusi kaum buruh
(proletar) yang mewakili inspirasi seluruh manusia. Melalui revolusi, kebebasan
bersifat ‘universal’ akan dapat dicapai oleh kelas proletar, sekaligus mewakili
semua umat manusia yang mau melepaskan diri dari belenggu perhambaan
(Marx,1955:82).
Perlawanan
kelas yang berkuasa terhadap perubahan adalah sedemikian gigih sehingga
akhirnya membuat revolusi menjadi suatu hal yang tidak dapat diletakkan, maka
kelas yang berkuasa akan menggerakkan segala alat superstruktur hukum, politik
dan ideologi untuk memblokir pertumbuhan kekuatan yang mewakili sistem ekonomi
yang potensial lebih progresif. Hal yang mendasari Marx dalam penjelasan di bagian
permulaan Manifesto Komunis, “sejarah
seluruh masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan
kelas” (Ebenstein, 2006:18).
Dalam
bidang politik terumuskan dalam perjuangan kaum yang tidak berpunya (proletar),
untuk merampas harta kaum borjuis lewat perjuangan kelas. Aktivitas
revolusioner ini dibagi secara bertingkat-tingkat sesuai fase sejarah yang
sedang dilalui dan berakhir dengan terwujudnya masyarakat tidak berkelas, yaitu
masyarakat komunis.Selanjutnya dengan jalan ilmiah dapat diketahui bahwa
susunan baru dari masyarakat tidak dibuat melainkan dilahirkan(Ramly, 2009:79).
Menurut
Marx, sejarah dan revolusi yang akan dikobarkan oleh kaum proletar lebih banyak
dikembalikan persepsi bahwa kekuatan-kekuatan produksi yang melandasi pemilikan
kaum kapitalis borjuis akan terlepas dari ikatan organisasi sosial yang ada.
Maka menjadi tugas kaum proletar untuk mengembalikan hubungan serasi antara
kekuatan dan organisasi sosial yang ada, cara yang ditawarkan untuk
mengembalikan hubungan harmoni ini adalah dengan cara revolusi untuk itu kaum
buruh modern dihimbaui untuk bersatu (Ramly, 2009:141).
Formulasi
teori Marx tentang perjuangan kelas dan perspektif menuju masyarakat tanpa
kelas, yaitu cita-cita ingin mengangkat martabat kelas proletar dari
eksploitasi kelas borjuis, kebebasan dan kemerdekaan. Kapitalis tentunya tidak
ingin terjadi revolusi yang akan dilakukan oleh kaum proletar dengan
memperadakan massa yang banyak sehingga menyebabkan keruntuhan (Ramly,
2009:169).
Marx
melihatkontradiksi kapitalisme tidak hanya menyebabkan revolusi proletar,
tetapi juga krisis individual dan sosial yang menimpa masyarakat modern. Dari
sisi personal telah terjadi alienasi diyakini Marx biang dari perasaan tidak
berarti yang dirasakan oleh banyak orang di dalam kehidupannya. Marx
memprediksi bahwa peningkatan ketidakmampuan suatu masyarakat sipil untuk
menyelesaikan persoalan sosial. Bahkan pertumbuhan wilayah yang hanya bertujuan
untuk melindungi milik pribadi kapitalis dan suatu intervensi yang kadang-kadang
brutal ketika kekerasan ekonomi oleh kapitalis mengalami kegagalan (Ritzer dan
Goodman, 2013:62).
2. Teori
Hegemoni Antonio Gramsci
Kata
hegeisthai (Yunani) merupakan akar
kata dari hegemoni, yang mempunyai pengertian memimpin, kepemimpinan, kekuasaan
yang melebihi kekuasan yang lain. Jadi arti dalam kamus adalah kepemimpinan.
Teori hegemoni muncul karena ketidak puasan terhadap konsep yang dianut teori
Marxisme, tidak puas tentang perkembangan politik yang dianggap sebagai akibat
langsung perkembangan ekonomi (Ratna dalam Karsono, 2005:2). Seperti telah diketahui bahwa Marxisme merupakan teori
tentang masyarakat dan usaha dari masyarakat untuk mengubahnya, jadi termasuk
perilaku perjuangan umat manusia, perjuangan laki-laki dan perempuan untuk
membebaskan diri dari penindasan (Eagleton dalam
Karsono, 2005:2).
Hegemoni
dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep
hegemoni memang dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep
Marxis ortodoks. Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul Notes on the Sourthen Question untuk
pertama kalinya menggunakan istilah hegemoni ini di tahun 1926. Hal ini kemudian disangkal oleh Roger Simon, menurutnya istilah
hegemoni sudah digunakan oleh Plekhamov sejak tahun1880-an (Ratna
dalam Karsono, 2005:2).
Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling
penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio
Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx.
Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh
filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap
teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure
(basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi
pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh
determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi di mana suatu
kelas berkuasa menjalankan kekuasaan dan kepemimpinan atas kelas-kelas
subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dengan persetujuan. Jadi, praktik
normal hegemoni di wilayah pemerintahan demokrasi tradisional dicirikan dengan
gabungan kekuatan dan persetujuan, yang secara timbal balik saling mengisi
tanpa adanya kekuatan yang secara berlebihan memaksa persetujuan. Namun upaya
yang sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut seakan-akan
hadir berdasarkan persetujuan (Sary, 2013: 4).
Hegemoni yang dimaksud oleh Gramsci ialah peran
kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Dengan
begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian
kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui
representasi simbol-simbol (Sary, 2013:4).
Hegemoni pada hakekatnya adalah cara atau proses
penggiringan (mempengaruhi) orang lain untuk mempercayai wacana dominan dalam
rangka yang ditentukan oleh mereka yang berkuasa (Sary, 2013:5).
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan
kekuasaan, melainkan cenderung kepada hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan kata lain hegemoni adalah suatu
organisasi konsensus. Sehubungan dengan hal ini, di beberapa paragraf dalam
karyanya yang berjudul Prison Notebook, Gramsci menggunakan direzone
(kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egomonia (hegemoni)
dan berlawanan dengan dominazione (dominasi). Bertolak dari pendapat
Gramsci ini, hegemoni bisa didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok
terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga
ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi
diterima sebagai sesuatu yang wajar (Wibowo, 2010: 44-45).
Hegemoni kelas yang
berkuasa terhadap kelas yang dikuasai sesungguhnya dibangun oleh mekanisme
konsensus. Ketika Gramsci berbicara tentang konsensus, ia
selalu mengaitkan dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai
penerimaan aturan sosiopolitis ataupun aspek-aspek aturan yang lain. Tatanan
hegemonis menurut Gramsci, tidak perlu masuk ke dalam Institusi (lembaga)
ataupun praktik liberal sebab hegemoni pada dasarnya merupakan suatu totalitarianisme
dalam arti ketat.
Bagi Gramsci, asumsi
liberal “masa kini”, bahwa orang tanpa mempunyai kesempatan sungguh-sungguh
untuk mengungkapkan oposisinya tidak dapat dikatakan perjanjian, tampaknya
sangat aneh. Diandaikan bahwa dalam suatu perjanjian dengan sendirinya ada
disposisi mental, ada titik-titik lemah disamping kekuatannya. Guna menjelaskan
ini, Femia menangkap tiga kategori penyesuaian yang berbeda yang dikemukakan
Gramsci, yaitu karena rasa takut, karena terbiasa dan karena kesadaran dan
persetujuan. Tipe yang terakhir inilah yang kemudian disebut Gramsci sebagai
hegemoni (Hendarto dalam Patria dan Arief, 2003, 125-126). Ketiga kategori itu
meliputi:
1. Orang
menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila ia
tidak menyesuaikannya. Di sini konformitas ditempuh melalui penekanan dan
sanksi-sanksi yang menakutkan.
2. Orang
menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan
cara-cara tertentu. Konformitas dalam hal ini merupakan soal partisipasi yang
tidak terefleksikan dalam hal ini bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang
menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak.
3. Konformitas
yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan
dengan unsur tertentu dalam masyarakat.
Selanjutnya, Gramsci tidak secara spesifik melihat
tipe dan macam konsensus apa yang secara determinan menentukan situasi
hegemonis. Konsensus menurut Gramsci lebih mewujudkan suatu hipotesis bahwa terciptanya karena ada
dasar persetujuan. Lebih lanjut, mengutip Femia (Hendarto dalam Patria dan
Arief, 2003,126) Gramsci mengatakan bahwa dalam tatanan sosial yang teratur
harus ada dasar persetujuan yang kuat yang dapat melawan kekuatan-kekuatan yang
menghancurkan yang muncul dari perbedaan-perbedaan kepentingan. Konsensus dalam
arti ini berada dalam hubungan dengan objek-objek tertentu, pribadi,
kepercayaan nilai-nilai, lembaga-lembaga maupun yang lain.
Bagi Gramsci, hegemoni melalui konsensus muncul
melalui komitmen aktif atas kelas sosial yang secara historis lahir dalam
hubungan produksi. Untuk itu, Gramsci mengatakan secara tak langsung konsensus
sebagai “komitmen aktif” yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi
tinggi yang ada sah. Konsensus secara historis lahir disebabkan karena prestasi
yang berkembang dalam dunia produksi (Patria dan Arief, 2003, 126).
Selanjutnya, menurut
Gramsci ada tiga tingkatan hegemoni, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni yang minimum. Pertama, hegemoni Integral.
Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini
tampak dalam hubungan organisasi antara pemerintah dan yang diperintah.
Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara
sosial maupun etis.
Kedua, hegemoni yang
merosot (decadent hegemony). Dalam
masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan
berat. Dia menunjukkan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat
potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang
tersembunyi “di bawah permukaan kenyataan sosial”. Artinya sekalipun sistem
yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasarannya, namun “mentalitas” massa
tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek
hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. Situasi
demikianlah yang disebut decadent
hegemony.
Ketiga, hegemoni minimum
(minimal hegemony). Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling
rendah dibanding dua bentuk sebelumnya. Hegemoni bersandar pada kesatuan
ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung
bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup
bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan
kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengaan kelas lain delam masyarakat.
Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para
pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial
bertentangan dengan “negara baru” yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis
itu (Patria dan Arief, 2003,128).
Kekuasaan bukanlah dominasi milik suatu kelas tertentu
yang menguasai kelas lainnya, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis. Ada beberapa pokok pikiran yang penting
sehubungan dengan konsep hegemoni, antara lain:
1) Dalam
sebuah hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang
didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok
dominan (dalam konteks ini adalah the ruling party atau kelompok yang
berkuasa);
2) hegemoni
diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat
menyebar dan dipraktekkan;
3) nilai-nilai
dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak dominan
sedemikian rupa, sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat terhadap
kepemimpinan kelompok penguasa;
4) hegemoni
bisa dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan (Wibowo, 2010:
45-46).
Jadi, sebuah kelas dikatakan telah berhasil, jika ia
telah mampu mempengaruhi kelas masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai
moral, politis dan kultural. Konsep ini mengasumsikan sebuah konsensus atau
persetujuan sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang mereka
usulkan dengan kekuatan. Bagaimanapun juga konsensus ini tidak selalu aman dan
damai, malahan dapat mengkombinasikan kekuatan psikis atau koersi dengan
pancingan atau dorongan intelektual, moral dan kultural. Konsensus ini dapat
dipahami sebagai sesuatu yang wajar, sebuah alam budaya tempat ideologi dominan
dipraktikkan dan tersebar. Dengan kata lain, sesuatu yang muncul dari
perlawanan kelas sosial dan membentuk serta mempengaruhi pikiran orang (Wibowo,
2010: 46).
Dalam kerangka teori Gramsci setidaknya terdapat beberapa
konsep kunci, yaitu hegemoni, kebudayaan, ideologi, pemikir awam, kaum
intelektual, dan negara.
a. Kebudayaan
Gramsci menaruh perhatian
yang besar terhadap kebudayaan sebagai satu kekuatan material yang mempunyai
dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat. Pada saat itu ia menolak konsep
kebudayaan sebagai pengetahuan ensiklopedis dan melihat manusia sebagai
semata-mata wadah yang diisi penuh dengan data empirik dan massa dari fakta
mentah yang tidak saling berhubungan, yang harus didokumentasikan di dalam otak
sebagai sebuah kolom dalam sebuah kamus yang memampukan pemiliknya untuk
memberikan respons terhadap berbagai rangsangan dari dunia luar (Faruk, 2010:
138).
Bagi Gramsci, konsep
kebudayaan yang lebih tepat, lebih adil, dan lebih demokratis, adalah
kebudayaan sebagai organisasi, disiplin batiniah seseorang, yang merupakan
pencapaian suatu kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya,
seseorang berhasil dalam memahami nilai historis dirinya, fungsinya di dalam
kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (Faruk, 2010: 139).
Menurut Raymond Williams,
dalam bukunya yang berjudul Culture and
society, di Inggris, juga seperti yang telah dipahami oleh Mathew Arnold,
kebudayaan merupakan semacam “nilai-nilai luhur”, puncak-puncak pencapaian
spiritualitas manusia (Faruk, 2010: 133).
Pendek kata, revolusi
sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis.
Revolusi kebudayaan itu tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan
melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan terjadi revolusi
tersebut (Faruk, 2010: 140).
Menurut Gramsci, bentuk-bentuk
organisasi kultural merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret,
terutama dalam hubungan dengan kemungkinan operasinya dalam kehidupan praktis.
Studi mengenai organisasi kebudayaan serupa itu, misalnya yang berupa
sekolah-sekolah pada seluruh levelnya, gereja sebagai organisasi sosial
terbesar, dalam hal jumlah orang-orang yang dipekerjakannya, surat-surat kabar,
majalah-majalah, perdagangan buku, dan lembaga-lembaga kultural seperti
universitas popular, di samping berbagai aktivitas kultural lainnya seperti
seni dan kesusastraan (Faruk, 2010: 140).
Studi semacam itu akan
melibatkan kelompok intelektual yang kenyataannya berada dalam kesenjangan yang
besar dengan masa popular. Hal itu berlaku pula bagi, bahkan, kelompok-kelompok
intelektual yang berjumlah besar dan berada di pinggiran kehidupan kenegaraan,
seperti para pendeta dan guru-guru sekolah. Selain itu, akan terlibat pula di
dalamnya tokoh-tokoh intelektual tertentu yang pada kenyataannya sering kali
lebih berpengaruh dalam penyebaran gagasan daripada, misalnya, sebuah
universitas (Faruk, 2010: 140-141).
Persoalan kebudayaan yang
demikian menjadi menarik bagi Gramsci karena dengan hal-hal itu orang dapat
mendedukasikan pentingnya aspek kultural dalam aktivitas kolektif yang praktis.
Segala aktivitas kultural itu akan bermuara pada satu sasaran yang tunggal, yaitu
penciptaan satu iklim kultural yang tunggal melalui suatu proses yang rumit.
Penciptaan satu iklim yang tunggal menuntut satu pemersatuan sosial kultural
yang melaluinya multisilitas kehendak dan tujuan yang tersebar dan heterogen
tersatukan. Kegiatan serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin
dilakukan oleh “manusia kolektif” (Faruk, 2010: 141).
b. Ideologi
Istilah ideologi
seringkali hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide, seperti misalnya ketika
orang berbicara tentang ideologi liberal, konservatif atau sosialis. Bagi
Gramsci, ideologi lebih dari sekedar ide. Ia membedakan antara sistem yang
berubah-ubah (arbitrary system) yang
dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu, dan ideologi organik yang
bersifat historis (historically organic
ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu:
“Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan yang
bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan tempat bagi
manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan
mereka, dan sebagainya” . ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma
dalam cara hidup kolektif masyarakat. Disini Gramsci merujuk pada pendapat Marx
tentang ‘solidaritas keyakinan masyarakat’ (Simon, 2004: 84).
Dalam analisis Gramsci,
ideologi dipahami sebagai ide, makna dan praktik yang meskipun mengklaim
sebagai kebenaran secara umum, merupakan peta makna yang sebenarnya menopang
kekuasaan kelompok sosial tertentu. Di atas itu semua, ideologi tidak dapat
dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah sesuatu hal yang
luar biasa yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan
perilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan ‘agama yang secara
duniawi dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara pengertian dunia dan norma
tindakan terkait’ (Sary, 2013: 5).
Ideologi sebagai
'kesadaran palsu' pada awalnya dipahami sebagai suatu yang bernilai negatif,
karena ia memungkiri realitas, menafikan konflik-konflik kelas dengan
menyelubunginya dengan wacana-wacana yang menindas. Barulah di tahap
perkembangan selanjutnya, ideologi dipakai untuk membekali perjuangan kelas.
Caranya, dengan menetapkan kontra wacana terhadap sejumlah wacana menindas yang
digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis (Sary, 2013: 5).
Menurut Marxis ideologi
adalah sistem keyakinan yang mensahkan sistem produksi berbasis kelas yang
membuatnya seolah benar dan adil atau mengaburkan kenyataan atas akibat-akibat
dari kesadaran orang. Dalam pandangan Marxis cara yang paling efektif untuk
menjadikan mereka tunduk adalah melalui pikiran mereka sendiri yakni gagasan
dan keyakinan mereka. Gagasan keyakinan dan nilai-nilai itu bertindak sebagai
ideologi, memelihara struktur yang ada, yang tanpa dukungan ideologi itu
struktur itu akan runtuh (Sary, 2013: 5).
Sedangkan menurut
P.Ricoeur ideologi dipahami sebagai “fungsi pengambilan jarak yang memisahkan
ingatan sosial akan suatu peristiwa untuk diingat, diulangi dan
diaktualisasikan; perannya tidak hanya menyebarkan suatu keyakinan kepada
mereka yang berada di luar lingkaran para bapa pendiri, tetapi juga untuk
melenggangkan energi awal sampai pada masa-masa sesudahnya. Ideologi berperan
sebagai perantara peristiwa pendiriannya dan keberadaannya sekarang dan yang
akan datang. Ideologi dianggap sebagai gejala umum pemikiran manusia: pembentuk
gagasan-gagasan dan strukturasi tindakan. Ideologi seperti motivasi pada
tataran proyek pribadi, sedangkan ideologi adalah motivasi bagi praktis sosial.
Maksudnya motivasi adalah apa yang sekaligus memberikan pembenaran dan yang
mendorong. Ideologi mendorong untuk menunjukkan bahwa kelompok sosial yang
diyakininya mempunyai alasan untuk ada (Sary, 2013: 5-6).
Dalam Prison Notebooks,
Gramsci memakai berbagai istilah yang menurutnya ekuivalen dengan ideologi
seperti kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau konsepsi mengenai dunia,
demikian pula istilah ‘reformasi moral dan intelektual’ ketika ia membicarakan
transformasi kesadaran sebagai prasyarat perbaikan menuju sosialisme. Terdapat
juga aspek penting lain dari watak material ideologi. Praktik ideologi
mempunyai agen-agennya sendiri dalam bangunan kaum intelektual yang mana mereka
itu menkhususkan diri dalam menjabarkan ideologi-ideologi organik dan mengemban
tugas melaksanakan reformasi moral dan intelektual (Simon, 2004: 84-85).
Bagi Gramsci, ideologi
tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus dinilai dari
‘kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke
dalam satu wadah, dan dalam perannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan
sosial. Suatu kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan
kepentingan-kepentingan dari suatu kelas, kelompok dan gerakan-gerakan lain ke
dalam kepentingan mereka sendiri dengan tujuan membangun kehendak kolektif
rakyat secara nasional (Simon, 2004: 87).
Terdapat dua poin penting
yang muncul dari prinsip bahwa sebuah kelas yang ingin bergerak maju menjadi
hegemoni perlu membangun sistem ideologi yang dapat bertindak sebagai pondasi
yang bisa mengikat dan menyatukan berbagai kelompok kekuatan sosial.
Pertama, suatu kelas
tidak akan memperoleh hegemoni hanya semata-mata dengan menerapkan pandangannya
sendiri terhadap semua kelas atau
kelompok sosial lainnya. Perlu kiranya menekankan kembali hal ini karena
konsep Gramsci tentang hegemoni seringkali dipahami dengan adanya penerapan
ideologi suatu kelas ke dalam kelas-kelas lain. Sebaliknya, kecendrungan untuk
mereduksi ideologi menjadi instrument kelas akan mengarah kepada ekonomisme yang
mana hal ini ditentang keras oleh Gramsci.
Kedua, sistem ideologi baru tidak bisa dibuat sekali jadi sebagai jenis
konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin partai politik.
Namun, ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui perjuangan
politik dan ekonomi, dan karakternya akan bergantung pada hubungan berbagai
kekuatan yang ada selama masa ketika ia dibangun. Ini merupakan salah satu
aspek dari strategi revolusioner yang oleh Gramsci disebut sebagai perang
posisi (war of position), yang
berlangsung ketika kelas pekerja membangun blok kekuatan sosial yang dilandasi
oleh konsepsi yang sama mengenai dunia, sehingga tidak memasukkan kelas
kapitalis dan mengeluarkannya dari kelompok dan dukungannya yang telah mereka
peroleh dengan memasukkan tema-tema nasional kerakyatan ke dalam sistem
ideologinya sendiri (Simon, 2004:
90-91).
c. Pemikiran
Awam (Common Sense)
Menurut Gramsci pemikiran
awam (common sense), yaitu cara
pemahaman seseorang yang tidak kritis dan seringkali tidak sadar terhadap
dunia; dan ia berkata bahwa ‘semua orang adalah filosof’ karena semua manusia
mempunyai konsepsi tentang dunia, atau pandangan dunia (Simon, 2004: 92). Common sense, bagi Gramsci merupakan
konsepsi tentang dunia yang paling pervasif tetapi tidak sistematik. Common sense itu mempunyai dasar dalam
pengalaman populer tetapi tidak merepresentasikan suatu konsepsi yang terpadu
mengenai dunia seperti halnya filsafat. Filsafat merupakan catatan intelektual
yang tidak dapat dicapai oleh agama dan common
sense (Faruk, 2010: 145-146). Seseorang bisa dikatakan mempunyai dua
kesadaran teoritis, ‘pertama kesadaran yang bersifat implisit dalam
aktifitasnya dan yang dalam realitas menyatu dengan orang-orang lain dalam
transformasi dunia nyata yang bersifat praktis; dan kedua, bersifat eksplisit
atau verbal, yang diwarisi manusia dari masa lampau tanpa sikap kritis’ (Simon,
2004: 92).
Gramsci memakai istilah
pemikiran awam (common sense) untuk
menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami
dunia. Pemikiran awam tidak harus dilihat dalam pengertian yang negatif
semata-mata; ia juga mempunyai unsur-unsur positif, dan aktifitas praktis
mereka, perlawanan mereka terhadap penindasan, mungkin sering berlawanan dengan
gagasan sadar mereka. Pemikiran awam merupakan tempat dibangunnya ideologi,
juga menjadi tempat perlawanan terhadap ideologi itu (Simon, 2004: 27).
Melalui common sense-lah para pekerja, yang
mencoba hidup di bawah kapitalisme, mengorganisir pengalaman mereka. Common sense adalah tempat di mana
ideologi yang dominan dibangun, tetapi juga menjadi tempat perlawanan dan
tantangan bagi ideologi tersebut. Gramsci menekankan bahwa konsensus yang diperoleh melalui hegemoni kaum borjuis
adalah konsensus aktif, bukan ketundukan pasif. Konsensus itu tidak dipaksakan;
namun diperoleh melalui perpaduan berbagai kekuatan dalam sebuah proses
kompleks di mana subordinasi dan resistensi para pekerja itu terbentuk dan
muncul kembali (Simon, 2004: 92-93).
Tugas teori Marxis adalah
menjadi kritik bagi common sense, dan
memungkinkan masyarakat mengembangkan inti-inti positifnya yang oleh Gramsci
disebut good sense menjadi pandangan
yang lebih koheren. Di samping itu, ia menekankan dalam karyanya Prison Notebooks bahwa ‘ini bukanlah
masalah bagaimana mengintrodusir bentuk pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan
setiap orang yang dimulai dari awal, namun merupakan upaya memperbaiki dan
mengkritisi aktifitas yang telah ada’ (Simon, 2004: 93).
d. Kaum
Intelektual
Gramsci memberikan
definisi mengenai kaum intelektual, yaitu semua orang yang mempunyai fungsi
sebagai organisator dalam lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi
sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan.
Agar dapat mencapai
hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci, penyebaran itu tidak
terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu
yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran,
kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat kelompok
sosial yang dominan, dan sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris
yang mempunyai peranan penting, yaitu kaum intelektual. (Faruk, 2010: 150).
Pandangan Gramsci tentang
kaum intelektual dikemukakan dalam dua catatan yang diletakkan pada bagian awal
Prison Notebooks. Ia menolak apa yang
disebutnya pandangan tradisional dan vulgar terhadap intelektual yang hanya
terdiri dari ahli sastra, filosof dan seniman (termasuk jurnalis, yang mengaku
sebagai sastrawan dan filosof, dan menganggap diri mereka sebagai intelektual ‘sejati’).
Intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berpikir intrinsik yang dimiliki
oleh semua orang, namun oleh fungsi yang mereka jalankan. “Oleh karena itu,
kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua
orang mempunyai fungsi intelektual” (Simon, 2004: 141).
Dalam dunia
superstruktur, kaum intelektual menampilkan fungsi ‘organisasional dan koektif’
baik di dalam wilayah masyarakat sipil atau hegemoni dan wilayah masyarakat
politik atau negara (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 158).
The intellectuals are the dominant group’s
“deputies” exercising the subaltern functions of social hegemony and political
government. These comprise:
1. The “spontaneous” consent given by the great
masses of the population to the general direction imposed on social life by the
dominant fundamental group; this consent is “historically” caused by the
prestige (and consequent confidence) which the dominant group enjoys because of
its position and function in the world of production.
2. The apparatus of state coercive power which
“legally” enforces discipline on those groups who do not “consent” either
actively or passively. This apparatus is, however, constituted for the whole of
society in anticipation of moments of crisis of command and direction when
spontaneous consent has weakened (Gramsci,
1999: 145).
(Kaum
intelektual merupakan ‘deputi’ dari kelompok dominan yang menjalankan fungsi
khusus dari hegemoni sosial dan pemerintahan sosial. Hal ini mencakup:
1.
Persetujuan
‘spontan’ yang diberikan oleh populasi massa yang besar kepada kepemimpinan
umum yang dilakukan kelompok dominan atas kehidupan sosial; pesetujuan ini
bersifat ‘historis’ disebutkan oleh prestise (dan kepercayaan diri yang
konsekuen) dimana kelompok dominan menikmatinya karena posisi dan fungsi mereka
dalam dunia produksi.
2.
Aparat
kekerasan Negara yang secara ‘legal’ memaksakan disiplin pada kelompok-kelompok
ini pada siapa yang tidak ‘setuju’ baik secara aktif maupun pasif. Aparatus
ini, bagaimanapun juga, digunakan untuk seluruh masyarakat sebagai antisipasi
dalam momen krisis dai kepemimpinan atau manakala persetujuan spontan telah
melemah (Gramsci
dalam Patria dan Arief, 2003: 158).
Terdapat dua kelompok
intelektual menurut Gramsci, yaitu kaum intelektual ‘organik’ dan kaum
intelektual ‘tradisional’. Setiap kelas menciptakan satu atau lebih strata
intelektual “yang memberinya kesamaan dan kesadaran akan fungsi mereka sendiri
bukan hanya dalam bidang ekonomi namun juga dalam bidang sosial dan politik”.
Intelektual tidak membentuk sebuah kelas namun setiap kelas mempunyai
intelektualnya sendiri. Demikianlah, kaum kapitalis menciptakan manajer
industri dan teknisi, ekonom, pegawai negeri, dan organisator kebudayaan baru
dari suatu sistem hukum baru. Gramsci menyebut intelektual organik ini sebagai
kelompok yang berbeda dari intelektual tradisional. Setiap kelas yang baru
lahir menemukan kategori-kategori kaum intelektual yang pernah ada; intelektual
tradisional nampaknya mewakili kelanjutan sejarah dan cenderung menempatkan mereka
di garis depan sebagai kelas yang berkuasa, otonom dan independen.
1)
Intelektual Tradisional
Gramsci mengatakan bahwa
“salah satu karakter penting dari suatu kelas yang sedang tumbuh adalah
perjuangannya untuk berasimilasi dan menundukkan intelektual tradisional
‘secara ideologis’ ”. Contoh dari intelektual tradisonal adalah para rohaniawan
yang berperan sebagai intelektual organik dari aristokrasi feudal, dan mereka
ini sudah ada ketika kaum borjuis mulai menaiki tangga kekuasaan. Contoh kedua
yang diberikan Gramsci adalah intelektual yang bercorak pedesaan, pendeta,
pengacara, dokter, dan pegawai negeri. Mereka itu adalah intelektual
tradisional karena terbatas pada lingkungan kaum tani dan borjuis kota yang
kecil, “belum meluas dan tergerak oleh sistem kapitalis” (Simon, 2004: 84-85).
Menurut Gramsci, tugas
intelektual tradisional adalah segara memutuskan ketidakmenentuan sikap dan
bergabung bersama klas-klas yang revolusioner. Intelektual harus secara organis
berhubungan dengan klas buruh, menjadi bagian dari organisasi yang memang
menyediakan kepemimpinan untuk kelas tertindas itu (Patria dan Arief, 2003:
163).
Pandangan alternatif
dikemukakan oleh para penyunting Prison
Notebooks. Mereka mengatakan bahwa intelektual tradisional “menempatkan
dirinya sebagai kelompok sosial dominan yang otonom dan independen” dan
mendefinisikannya sebagai “orang-orang yang kedudukannya dalam masyarakat
mempunyai lingkaran inter-kelas tertentu.” Namun ini adalah pendekatan
subyektif karena mendefinisikan golongan masyarakat dengan pandangan mereka
yang pilih sendiri (Simon, 2004: 143-144).
2)
Intelektual Organik
Kaum intelektual organik
adalah intelektual dan para organisator politik dan pada saat yang sama juga
bos-bos perusahaan, petani-petani kaya atau manajer perumahan, penguasa
komersial dan industri, dan sebagainya. Kaum intelektual organik menyadari
bahwa identitasnya dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan “barisan
terdepan yang riil dari organik dari lapisan kelas papan atas yang di situ
mereka masuk di dalamnya”. Dengan adanya kondensasi dan pemusatan itu, mereka
mempunyai daya tarik kuat dalam semua kalangan intelektual (Gramsci dalam
Simon, 2004: 144).
Kelompok intelektual
organik dan tradisional itu terpisah, tetapi secara historis dapat saling
bertumpang tindih. Apa yang penting dalam hal ini adalah bahwa sifat hubungan
antar kelompok itu akan sangat memengaruhi sifat hegemoni yang ada; apakah ada
konflik dan stabilitas antar mereka, ataukah ada pertalian politis dan kultural
antara keduanya (Faruk, 2010: 150).
Menurut Gramsci,
intelektual organik langsung berhubungan dengan cara produksi yang dominan:
Every social group, coming into existence on the original terrain
of an essential function in the world of economic production, creates together
with itself, organically, one or more strata of
intellectuals which give it
homogeneity and an awareness of its own function not only in the economic but also in the social and political
fields. The capitalist entrepreneur creates
alongside himself the industrial technician, the specialist
in political economy, the organisers of a new culture, of a new legal system, etc. (Gramsci, 1999:
135).
(Setiap kelas
sosial, yang muncul dari basis produksi ekonomi, menciptakan sendiri kelompok
atau kelompok-kelompok intelektual yang memberikan homogenitas serta kesadaran
akan fungsinya, bukan hanya dalam lapangan ekonomi namun juga dalam lapangan
sosial dan politik. Para entrepreneur kapitalis menciptakan sendiri teknisi
industrial, ekonom politik, para agen pembentuk kebudayaan baru, pembentuk
hukum baru, dan lain-lain (Gramsci Patria dan Arief, 2003: 160).
Tipe intelektual
organik mengakui hubungan mereka dengan
kelompok sosial tertentu dengan memberikannya homogenitas serta kesadaran
tentang fungsinya, bukan hanya di bidang ekonomi tetapi juga di bidang sosial
politik. Intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kelas
tertentu bisa jadi berasal dari kelas borjuis dan memihak mereka, bisa juga
berasal dari kelas buruh dan pabrik kepada perjuangan buruh itu. Kelompok ini
berpenetrasi sampai ke massa. Memberikan mereka sebuah pandangan dunia baru dan
menciptakan kesatuan antara bagian bawah dan atas (Patria dan Arief, 2003:
144).
e. Negara
Tafsir Gramsci tentang
negara adalah sesuatu yang kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoretis dan
praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan
mempertahankan dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari
mereka yang diperintah. Negara dalam perspektif Gramsci ini tidak hanya
menyangkut aparat-aparat pemerintahan, melainkan juga aparat-aparat hegemoni
atau masyarakat sipil (Kurniawan, 2007: 7).
Negara dengan demikian
merupakan ‘sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa’ dan sebagai ‘alat
resepsi oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya’. Lewat nagara ini kelas atas
melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif.
Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan
kekuasaannya (Kurniawan, 2007: 7).
Gramsci membedakan dua
wilayah dalam negara, yaitu, masyarakat sipil dan masyarakat politik.
Masyarakat sipil penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah
“kesetujuan”, “kehendak bebas”, sedangkan masyarakat politik merupakan dunia
kekerasan, pemaksaan, dan intervensi. Meskipun demikian kedua dunia tersebut
termasuk dalam konsep negara dalam pengertian khusus. Negara bagi Gramsci tidak
hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat
hegemoni atau masyarakat sipil. Negara dalam kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas
teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan
mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan
aktif dari mereka yang diperintahnya (Faruk, 2010: 152-153).
Negara dengan demikian
merupakan ‘sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa’ dan sebagai ‘alat
resepsi oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya’. Lewat nagara ini kelas atas
melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif.
Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan
kekuasaannya.
Menurut Gramsci,
masyarakat sipil (civil society)
adalah faktor kunci untuk memahami perkembangan kapitalis, meskipun oleh Marx
ia dipahami sebagai struktur (hubungan-hubungan produksi). Disisi lain, Gramsci
melihat itu sebagai superstruktur yang mewakili faktor aktif dan positif dari
perkembangan sejarah. Ia merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideologi yang
kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari
hubungan-hubungan itu menjadi fokus analisa yang lebih daripada struktur
(Patria dan Arief, 2003: 135-136).
Dalam upaya memisahkan
negara (political society) dan
masyarakat sipil (civil society),
Gramsci memulai dengan tiga batas konseptualisasi dalam membicarakan hegemoni.
Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial yang
membentuk garis dasar konseptualisasi hegemoni. Ketiga batasan tersebut adalah
ekonomi, negara dan masyarakat sipil. Penekanan pada tiga hal inilah yang
sesungguhnya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan pemikir marxis lainnya
(Bockock dalam Patria dan Arief, 2003; 136-137).
Ekonomi, sebagai batas
konseptualisasi yang pertama, merupakan sebuah batasan yang digunakan untuk
mengartikan mode of production yang
paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari
teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya
perbedaan klas-klas sosial dalam arti kepemilikan produksi.
Selanjutnya yang kedua,
yaitu batasan negara, merupakan batasan yang berarti tempat munculnya
praktek-praktek kekerasan (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat
terjadinya pendirian birokrasi negara. Oleh Gramsci, birokrasi negara dalam
konteks ini diidentifikasikan sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan
institusi pendidikan.
Batasan ketiga yaitu
masyarakat sipil, menurut Gramsci berarti batasan yang menunjuk pada organisasi
lain di luar negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi
material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen
di luar batasan di atas. Sebagai komponen utama masyarakat sipil dapat
didefinisikan sebagai sebuah institusi religius (Gramsci dalam Patria dan
Arief, 2003: 137).
Gramsci mempertentangkan
beberapa definisi negara dalam bagian pemaksaan secara legal. Negara
digambarkan sebagai polisi, negara penjaga malam dan lain sebagainya. Juga
beberapa perbandingan perumusan negara untuk mengartikan sebuah negara yang
fungsi-fungsinya dibatasi untuk melindungi perintah-perintah dan untuk menghormati
hukum-hukum (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 138).
Kesemua itu, bagi Gramsci
merupakan ideologi yang menggambarkan bahwa negara tidak dapat mengutamakan
sebuah kemurnian tahap korporasi ekonomi. Berdasarkan itu semua, maka ideologi
liberal menutupi kenyataan bahwa kekuasaan negara adalah kekuasaan klas. Sebuah
kebiasaan dalam ideologi liberal adalah bahwa untuk sebuah negara akan tampak
seperti permulaan sejarah ke arah masyarakat sipil dimana bermacam-macam
kekuatan muncul dan bermain disana. Karena itu negara hanya berfungsi sebagai
penjaga permainan bebas dan aturan-aturan permainan (Patria dan Arief, 2003:
138-139).
Pada dasarnya Gramsci
mendefinisikan negara, dengan dua pokok batasan. Pertama, dalam pengertian
‘terbatas’. Kedua, negara diartikan dengan ‘diperluas’. Kedua konsep itu secara
bersamaan dielaborasi olehnya di dalam penjara. Dalam masalah ini Gramsci
memakai penjelasan yang dominan dalam gagasannya tentang negara:
(haruslah dicatat bahwa pandangan umum
tentang negara mencakup unsur-unsur yang harus dirujuk ulang pada pandangan
tentang masyarakat sipil (dalam pengertian ini orang akan mengatakan bahwa
negara = masyarakat politik + masyarakat sipil. Atau dalam kata lain, hegemoni
yang dilindungi oleh kekerasan bersenjata) (Gramsci dalam Patria dan Arief,
2003: 139).
Kemudian pada saat yang
sama Gramsci membuat perbedaan metodologis dalam rangka menjelaskan segi yang
berbeda dari realitas negara:
(Apa yang dapat kita lakukan untuk momen
itu adalah menetapkan “tingkatan” besar superstruktur: satu tingkatan bias
disebut ‘mayarakat sispil’, yakni kumpulan organism yang lazim disebut
‘privat’, dan ‘masyarakat politik’ atau ‘negara’. Kedua tingkatan ini
berkesesuaian di satu pihak dengan fungsi ‘hegemoni’, yang dilaksanakan
kelompok dominan pada seluruh masyarakat, dan pihak lain, dengan ‘dominasi
langsung’, yang diekspresikan melalui negara dan pemerintahan yuridis) (Gramsci
dalam Patria dan Arief, 2003: 137).
Perry Anderson membagi
hubungan Gramsci dalam tiga model, pembagian semacam ini pada dasarnya
dimaksudkan semata-mata guna memudahkan analisis, pada kenyataannya ketiga
model itu bertumpang tindih dalam masyarakat.
Menurut Anderson, model
pertama hegemoni Gramsci adalah menyangkut kebudayaan dan kepemimpinan moral,
yang dilaksanakan dalam masyarakat sipil. Dalam model ini negara menempatkan
kekuasaan koeresi dalam bentuk polisi dan angkatan bersenjata; secara ekonomi
negara juga mengatur disiplin-disiplin kerja serta kontrol moneter.
Dalam model kedua,
Anderson melihat hegemoni digerakkan dalam negara sebagaimana halnya yang
digerakkan dalam masyarakat sipil. Pada titik ini ia melihat pentingnya peran pendidikan
dan lembaga-lembaga hukum dalam menjalankan hegemoni. Sedangkan pada model
ketiga, menurut Anderson perbedaan antara negara dan masyarakat sipil
dihilangkan secara bersamaan. Disini Gramsci mendefinisikan negara sebagai political society ditambah civil society (Anderson dalam Patria
dan Arief, 2003: 142-143).
Selain itu menurut
Gramsci, terdapat sebuah konsep baru mengenai negara yakni konsep ‘negara
integral atau negara yang diperluas’. Ketumpangtindihan antara kedudukan negara
dan masyarakat sipil diselesaikan
dalam konsep negara integral. Menurut Anderson, perbedaan antara negara dan
masyarakat sipil dibatalkan. Negara integral merupakan hasil perpaduan antara
sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik, negara
integral merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan
koersi hegemoni, sekalipun bekerja di tingkat kesadaran namun dia selalu
didampingi oleh langkah koersi. Jadi negara integral merupakan masyarakat
politik ditambah masyarakat sipil (Patria dan Arief, 2003: 143-144).
Patria dan Arief
menyimpulkan bahwa negara integral memiliki dua aspek. Pertama, alat-alat
kekerasan (means of coercion). Kedua,
alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means
of establishing hegemonic leadership) seperti pendidikan, agama, media,
penerbitan dan lain-lain (Patria dan Arief, 2003: 144).
‘Alat kekerasan’ terdiri
dari alat-alat paksa dan represi negara sementara ‘alat pendirian kepemimpinan
hegemonis’ merujuk pada institusi dalam formasi sosial yang bukan bagian dalam
proses produksi ekonomi material juga bukan menjadi bagian dari organisasi
negara. Organisasi dalam wilayah kepemimpinan hegemonis ini bekerja dan hidup
diluar wilayah dua kekuatan itu. Seperti, organisasi komunikasi, olah raga,
perkumpulan pemuda, dan sebagainya (Patria dan Arief, 2003: 144).
Pada dasarnya secara
sederhana seringkali disebutkan bahwa hegemoni itu bekerja pada lapangan budaya,
bergerak ditingkat kesadaran. Namun walaupun demikian jangan dianggap bahwa
aparat koersi sudah tidak bekerja lagi. Dalam prakteknya antara hegemoni dan
koersi terus berjalan secara ‘berdampingan’. Meskipun demikian, negara integral
berbeda dengan negara totaliter. Negara totaliter tidak ada unsur sukarela
tetapi sebagai paksaan, sementara negara integral masih menyediakan peluang
untuk menghasilkan persetujuan yang sukarela dan tanpa dipaksa (Patria dan
Arief, 2003: 144).
Dalam persoalan perluasan
negara, pandangan serupa diajukan oleh Buci-Glucksman melalui perluasan negara.
Hanya saja, Buci-Glucksman secara eksplisit memperlihatkan dua perbedaan konsep
negara, atau lebih tegasnya dua momen dalam penegasan lapangan negara. Kedua
konsep tersebut adalah: pertama, negara dalam pemahaman sempit, dan kedua
adalah negara dalam pemahaman luas. Negara integral sama dengan hegemoni yang
dilindungi aparat kekerasan (Buci-Glucksman dalam Patria dan Arief, 2003:
144-145).
Dalam pemahaman sempit,
negara identik dengan pemerintahan, aparat kediktatoran klas dengan pemaksaan
dan fungsi-fungsi ekonomi. Klas dominasi melaksanakan aparat negara dalam
pemahaman klasik seperti pasukan, polisi, administrasi, dan birokrasi.
Pemaksaan fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari peraturan adaptasi dan edukasi
negara, salah satunya berupaya untuk mencapai kelayakan yang memadai antara
aparat produksi dan moralitas umum dari massa rakyat (Patria dan Arief, 2003:
146).
Dalam negara secara luas
atau juga disebut negara integral, Gramsci menganggap bahwa semua arti
intelektual klas dan kepemimpinan moral atas masyarakat menyebabkan munculnya
cara khusus dalam mengatur untuk merealisasikan hegemoni dalam nilai
keseimbangan kompromi guna melindungi kekuasaan politik, terutama dalam sebuah
krisis revolusioner.
Selanjutnya, Gramsci
mengatakan bahwa negara merupakan sejumlah aktivitas praktek dan teori yang
kompleks, dalam hal ini klas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan
mempertahankan dominasi, tetapi mengaturnya untuk memenangkan pemaksaan aktif
terhadap kekuatan di luarnya (Patria dan Arief, 2003: 146).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar