BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Dari bahasa bemacam-macam aspek
perkembangan individu, dikenal ada dua fakta yang menonjol, yaitu (i) semua
manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan di dalam pola perkembangannya dan (ii)
di dalam pola yang bersifat umum dari apa yang membentuk warisan manusia secara
biologis dan sosial, tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda. Perbedaan-perbedaan
tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif dan bukan
kualitatif. Sejauh mana individu berbeda akan mewujudkan kualitas perbedaan
mereka atau kombinasi-kombinasi dari berbagai unsur perbedaan tersebut.
Setiap orang, apakah ia seorang anak
atau seorang dewasa, dan apakah ia berada di dalam suatu kelompok atau seorang
diri, ia disebut individu. Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai
orang perorangan atau perseorangan. Sifat individual adalah sifat yang
berkaitan dengan orang perseorangan, berkaitan dengan perbedaan individual
perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini disebut perbedaan individu atau perbedaan individual. Maka
“perbedaan” dalam “perbedaan individual” menurut Landgren (1980: 578)
menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik maupun
psikologis. Seorang ibu yang memiliki seorang bayi, bertutur bahwa bayinya
banyak menangis, banyak bergerak, dan kuat minum. Ibu lain yang juga memiliki
seorang bayi, menceritakan bahwa bayinya pendiam, banyak tidur, tetapi kuat
minum. Cerita kedua ibu itu telah menunjukkan bahwa kedua bayi itu memiliki
ciri dan sifat yang berbeda satu sama lainnya.
Seorang guru setiap tahun ajaran
baru selalu menghadapi siswa-siswi yang berbeda satu sama lain. Siswa-siswi
yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorang pun yang sama.
Mungkin sekali dua orang dilihatnya hampir sama atau mirip, akan tetapi pada
kenyataannya jika diamati benar-benar antara keduanya tentu terdapat perbedaan.
Perbedaan yang segera dapat dikenal oleh seorang guru tentang siswanya adalah
perbedaan fisiknya, seperti tinggi badan, bentuk badan, warna kulit, bentuk
muka, dan semacamnya. Dari fisiknya seorang guru cepat mengenal siswa-siswi di
kelasnya satu per satu. Ciri lain yang segera dapat dikenal adalah tingkah laku
masing-masing siswa, begitu pula suara mereka. Ada siswa yang lincah, banyak
gerak, pendiam, dam sebagainya. Ada siswa yag nada suaranya kecil dan ada yang
besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang pelan-pelan.
Apabila ditelusuri secara cermat siswa yang satu dengan yang lain memiliki
sifat psikis yang berbeda-beda.
Upaya pertama yang dilakukan untuk
mengetahui perbedaan individu, sebelum dilakukan pengukuran kapasitas mental
yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah menghitung umur kronologi. Seorang
anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun dan ia diperkirakan dapat
mengalami kemajuan secara teratur dalam tugastugas sekolahnya dilihat dalam
kaitannya dengan faktor umur. Selanjutnya ada anggapan bahwa semua anak
diharapkan mampu menangkap/ mengerti bahan-bahan pelajaran yang mempunyai kesamaan
materi dan penyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama. Ketidakmampuan
yang jelas tampak pada siswa uptuk menguasai bahan pelajaran umumnya dijelaskan
dengan pengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras kepala.
Penjelasan itu tidak mendasarkar, kenyataan bahwa para siswa memang berbeda
dalam hal kemampuan mereka untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran dan
mungkin berada dalam satu tingkat perkembangan.
Telah disadari bahwa
perbedaan-perbedaaan antara satu dengan lainnya dan juga kesamaan-kesamaan di
antara mereka merupakan ciri-ciri dari semua pelajaran pada suatu tingkatan
belajar. Sebab-sebab dan pengaruh perbedaan individu ini dan sejauh mana
tingkat tujuan pendidikan, isi dan teknik-teknik pendidikan ditetapkan, hendaknya
disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan tersebut, tampaknya hal ini telah
mendapat banyak perhatian dari para ahli ilmu jiwa dan petugas sekolah.
Inteligensi
mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan
dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf intreligensinya semakain baik penyesuaian
dirinya dan lebih mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain
dengan cara yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep
dirinya, demikian pula sebaliknya .Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan
yang tinggi akan meningkatkan prestisenya. Jika prestisenya meningkat maka
konsep dirinya akan berubah (Syaiful, 2008).
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan
orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep
diri seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan
pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status
sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan
individu yang status sosialnya rendah. Hal ini didukung oleh penelitian
Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukkan bahwa
mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang
berasal dari status ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi
tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat
ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri yang tinggi (dalam Skripsi
Darmayekti, 2006:21).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inteligensi
Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua
orang sudah mengenal istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Seringkali kita
dengar seorang mengatakan si A tergolong pandai atau cerdas ( inteligen ) dan
si B tergolong bodoh atau kurang cerdas ( tidak inteligen ). Istilah inteligen
sudah lama ada dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman Cicero yaitu
kira-kira dua ribu tahun yang lalu dan merupakan salah satu aspek alamiyah dari
seseorang. Inteligensi bukan merupakan kata asli yang berasal dari bahasa
Indonesia. Kata inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu
“ inteligensia “. Sedangkan kata “ inteligensia “ itu sendiri berasal
dari kata inter dan lego, inter yang berarti diantara, sedangkan lego berarti
memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk
memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran. Untuk memperjelas
pengertian inteligensi, maka penulis memaparkan beberapa definisi
inteligensi yang di kemukakan oleh beberapa
ahli phisikologi maupun pendidik diantaranya :
Menurut
para ilmuwan, dewasa ini manusia menggunakan 10 persen dari kemampuan
otaknya. Dari 10 persen itu sebagian besar hanya mengoptimalkan belahan otak
kiri (Stanford Research Institute). Pada dasarnya setiap orang dapat
menjadi jenius. Idealnya memang harus dipersiapkan sejak kecil dengan
mengaktifkan fungsi otak untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang
menunjang proses pembelajaran. Usia remaja juga dapat memberdayakan otak secara
optimal, untuk itu kita harus mengetahui terlebih dahulu cara kerja otak
tersebut. (Sidiarto L. 2008)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai
kecerdasan otak, diketahui bahwa kecerdasan otak yang bersumber di sistem
limbik justru memberikan kontribusi jauh lebih besar dibandingkan dengan
kecerdasan yang bersumber dari neokorteks. Terdapat dua kecerdasan yang
bersumber selain dari neo kortex yaitu pada emosional di
sistem limbik dan spiritual di God spot (temporal).
Kontribusi kecerdasan emosional dan spiritual terhadap
keberhasilan karir atau hidup seseorang diperkirakan sekitar 80 %,
sedangkan sisanya merupakan kontribusi dari kecerdasan rasional. Dari 80
% kontribusi tersebut ternyata spiritual mendominasi sekitar 60 % dan
sisanya merupakan kontribusi emosional .
Potensi kecerdasan sebagai inti Inteligensi merupakan pusat
kreativitas dan inovasi yang dihasilkan oleh suatu fungsi organ otak pada
manusia (Cattel,1971 dalam Pasiak 2008). atau manusia dapat beraktifitas
bermanfaat yang merupakan kegiatan kreatif dan inovatif berdasar derajat
inteligensi yang dimotori oleh otak yang sehat.
Dengan demikian untuk mengatasi segala tantangan dan
perubahan yang terjadi. Oleh karena itu harus cerdas dan juga mampu
menggunakan semua kecerdasan otak yaitu intelektual, emosional dan spiritual.
Beberapa
Pengertian Intelegensi menurut Para Ahli dalam Dalyono. 2007)
1.
Super
dan Cites mengemukakan” Intelegence has frequently been difined as the
ability to adjust to the environment or to learning from experience” (Super
& Cites, 1962: 83) Intelegnsi sebgai kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungan atau belajar dati pengalaman. Dimana manusia hidup dan
berinteraksi didalam lingkungannya yang kompleks untuk itu ia memerlukan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2.
Garrett
(1946: 372) mengemukakan “ Intelegence includes at least the abilities
demanded in the solution of problems which requer the comprehension and use of
symbols” (intelegensi itu setidak-tidaknya mencakup kemampuan kemampuan
yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian
serta mengunakan symbol-simbol. Karena manusia hidup senantiasa menghadapi
permasalahan, setiap permasalahan harus dipecahkan agar manusia manusia
memperoleh keseimbangan (homeostasis) dalam hidup.
3.
Bischor,
1954 mengemukakan “ Intelegence is the ability to solve problems of all
kinds” Intelegensi ialah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah.
Defenisi intelegensi yang dikemukakan bischor ini memuat perbedaan dengan
defenisi menurut gareet yaitu intelegensi dalam asti khusus sementara bischor
dalam artian yang lebih luwes namun bersifat operasional dan fungsional bagi
kehidupan manusia.
4.
Haidentich
1970 mengemukakan” intelegence refers to ability to learn and to utilize
what has been learned in adjusting to unfamiliar situation, or in the solving
of problems” Intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan
menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap
situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah-masalah.
Dimana manusia yang belajar sering menghadapi situasi-situasi baru serta
permasalahan hal ini memerlukan kemampuan individu untuk belajar menyesuaikan
diri serta memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi.
Menurut Purwanto, N.(1998) “dalam mendidik dan mengajar,
pendidik tidak cukup hanya menyisihkan pengetahuan-pengetahuan atau
tanggapan-tanggapan yang banyak ke dalam otak anak-anak” .Pendapat ini
mempertegas bahwa anak harus diajar berpikir dengan baik, supaya anak tersebut
dapat berpikir dengan baik pula, dan kita perlu memberikan :
1. pengetahuan siap (parate kennis),
yaitu pengetahuan pasti yang sewaktu-waktu siap untuk dapat dipergunakan,
seperti : hafal tentang huruf abjad, perkalian, dan sebagainya,
2. pengetahuan yang berisi, yang
mengandung arti (tidak verbalistis) dan yang benar-benar dimengerti oleh
anak-anak,
3. melatih kecakapan membentuk skema,
yang memungkinkan berpikir secara teratur dan skematis,
4. soal-soal yang mendorong anak untuk
berpikir, dalam hal ini faktor motivasi memegang peranan yang penting.
Williem Sterm, “inteligensi ialah suatu kesanggupan untuk
menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat berpikir yang
sesuai dengan tujuannya, dan inteligensi tersebut sebagian besar tergantung
dengan dasar dan turunan” Berdasar pendapat tersebut pendidikan dan lingkungan
tidaklah begitu berpengaruh kepada inteligensi seseorang.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi
sehingga mengakibatkan adanya perbedaan inteligensi seseorang dengan yang
lainnya yaitu
1. Pembawaan : pembawaan ditentukan
oleh sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan kita yakni
dapat dan tidaknya memecahkan suatu soal atau masalah, pertama-tama ditentukan
oleh pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar dan ada pula yang bodoh,
meskipun sama-sama menerima latihan dan pelajaran yang sama, tetapi
perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
2. Kematangan : Setiap organ di dalam
tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, setiap organ ( fisik
maupun psikis ) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan
untuk menjalankan fungsinya masing-masing.
3. Pembentukan : yaitu segala keadaan
di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
4. Minat dan pembawaan yang khas, minat
mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu.
Sedangkan menurut Jean Piaget, “intelligence atau
inteligensi diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir
dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti
berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensiotesis, mengevaluasi dan
menyelesaikan persoalan-persoalan”.
Pendapat
ini mempertegas bahwa inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang
memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental
terhadap situasi baru. Dalam arti sempit inteligensi sering kali diartikan
sebagai inteligensi perasional, termasuk pula di dalamnya tahapan-tahapan yang
sejak dari periode sensorimotoris sampai dengan operasional formal. (Suryabrata
S. 2010)
Menurut pendapat Munandar U. (1999) “bahwa inteligensi
meliputi terutama kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan,
perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan
pengambilan suatu keputusan dan keseimbangan serta integritas intelektual
secara umum”.
Menurut English & English dikutip oleh Sunarto H.,(1999)
bahwa : istilah intelek yang berarti antara lain :
1. kekuatan mental dimana manusia dapat
berpikir,
2. suatu rumpun nama untuk proses
koqnitif, terutama untuk aktivitas yang berkenaan dengan berpikir (misalnya
menghubungkan, menimbang, dan memahami),
3. kecakapan, terutama kecakapan yang
tinggi untuk berpikir”.
Wechler, “merumuskan inteligensi sebagai keseluruhan
kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan
mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.
Dari
pendapat ini bahwa hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelek itu antara
lain :
1. bertambahnya informasi yang disimpan
(di dalam otak) seseorang sehingga ia mampu berpikir reflektif,
2. banyaknya pengalaman dan
latihan-latihan untuk memecahkan suatu masalah, sehingga seseorang dapat
berpikir proporsional,
3. adanya kebebasan berpikir
menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang
radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan dan menunjang
keberanian anak dalam memecahkan suatu masalah dan menarik kesimpulan yang baru
dan benar.
Menurut dasar-dasar teori Piaget, “ perkembangan inteligensi
yaitu :
1. fungsi inteligensi termasuk proses adaptasi
yang bersifat biologis,
2. bertambahnya usia menyebabkan
berkembangnya struktur inteligensi baru, sehingga pengaruh pula terhadap
terjadinya perubahan kualitatif”
Sedangkan Semiawan C., (1977) mengatakan, “Kemampuan
menghablurkan mencakup kemampuan berpikir verbal dan berpikir kuantitatif,
sedangkan kemampuan menganalisis perubahan mencakup berpikir abstrak dan
berpikir verbal” Menurut Bobbi Deporter dan Mike Henachi, “semua kecerdasan
yang tinggi, termasuk intuisi ada dalam otak sejak lahir, dan selama lebih dari
tujuh tahun pertama kehidupan, kecerdasan ini dapat disingkapkan jika dirawat
dengan baik”.
Pendapat ini mempertegas agar supaya kecerdasan-kecerdasan
ini terawat secara baik, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara
lain yaitu :
1. struktur syaraf bagian bawah harus
cukup berkembang agar energi dapat mengalir ke tingkat yang lebih tinggi,
2. anak harus merasa aman secara fisik
dan emosional,
3. harus ada model
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Intelegensi Seseorang
Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi, sehingga
terdapat perbedaan intelegensi seseorang dengan yang lain ialah:
1. Pembawaan, Pembawaan ditentukan oleh
sifat-sifat dan cirri yang dibawah sejak lahir. Batas kesangupan kita yakni
dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama ditentukan oleh pembawaan kita.
Orang itu ada yang pintar ada pula yang bodoh. Sekalipun menerima latihan dan
pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
2. Kematangan, tiap organ dalam tubuh
manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ(fisik maupun non
fisik) dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai kesangupan menjalangkan
fungsinya masing-masing. Anak tidak dapat memecahkan soal-soal tertentu karena
soal-soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-organ tubuhnya dan
fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk mengenai soalitu dan kematangan
erat hubungannya dengan umur.
3. Pembentukan, pembentukan ialah
segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja seperti yang dilakukan
disekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar)
4. Minat dan pembawaan yang khas, Minat
mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan – dorongan(motif-motif) yang
mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan
menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motivasi) dari
manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan
timbulah minat terhadap sesuatu, apa yang mereka minat seseorang mendorongnya
untuk berbuat lebih giat dan lebih baik
5. Kebebasan, kebebasan berarti bahwa
manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan
masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode juga bebas dalam
memilih masalah sesuati dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini
berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam pembentukan
intelegensi. (Dalyono, 2007.)
II. Sosial Ekonomi
Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik
(Humanisme)
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu
bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam
diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku,
meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau
humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how
(bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan
(goals/incentives/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How
(bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan
(goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan why
(mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya
perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi
instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap
individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya,
akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu
dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis
kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu:
- kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan
- kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual
- kebutuhan kasih sayang atau penerimaan
- kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status
- kebutuhan aktualisasi diri.
Sementara itu, Stranger (Makmun, 2003) mengetengahkan empat
jenis kebutuhan individu, yaitu:
- Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
- Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.
- Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.
- Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan
(motivasi) yang merupakan kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan
tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik
yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun
dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola
mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior),
sehingga membentuk suatu siklus
Berkaitan
dengan motif individu, untuk keperluan studi psikologis, motif individu dapat
dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
1.
Motif
primer (basic
motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif yang tidak pelajari,
dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan, minum, melarikan
diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.
2.
Motif
sekunder;
menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan
dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial (ingin
diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest
(eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.
Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari
indikator-indikatornya, yaitu : (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan;
(3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam
mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai
tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang
dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai
dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif yang
mengarah kepada tujuan tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam
individu, adakalanya individu harus berhadapan dengan motif yang saling
bertentangan atau biasa disebut konflik.
Bentuk-bentuk
konflik tersebut diantaranya adalah :
- Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
- Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
- Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya motif negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika
seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di
atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat
mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan
mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan,
tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu
merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya,
jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia
akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap
frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya
(reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani mengahadapi kenyataan maka
dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment).
Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya
lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian
diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk perilaku salah suai (maldjustment), diantaranya : (1)
agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi (kemunduran perilaku); (4)
fiksasi; (5) represi (menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan);
(7) proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi
(menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi
kegagalan atau kelemahan dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam
angan-angannya, seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para
peserta didiknya agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa
frustasi yang dapat menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat
memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik
yang berkepanjangan dan frustrasi.
III. Budaya
Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973
mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem
pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang
berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap
dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada
(Sairin , 2002).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang
dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble
power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan
itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang
menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik,
kesenian dan sebagainya.
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan
dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia
selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non
fisik. Hasil perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya
telah mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya
proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia. Disini kebudayaan dapat disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia
dengan alam. Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang memicu
akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi
kehidupannya.
Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat
dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada
kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekadar jumlah
kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi, menunjuk kepada peranan
individu bukan hanya sebagai bidakbidak di dalam papan catur kebudayaan.
Individu adalah creator dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal
ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler” yang
berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang
saling menguntungkan. Di dalam perkembangan kepribadian diperlukan kebudayaan
dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian
tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian dan
kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan bukan semata-mata
transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang
kreatif. Pranata sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat
mengembangkan kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang terjadi di
dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita ialah sekolah telah menjadi
sejenis penjara yang memasung kreativitas peserta didik.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk
tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah laku manusia
bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi yang harus dipelajari
kembali berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi. Di sini kita
lihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pembentukan kepribadian
manusia.
Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam
kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris dan psikoanalisis Para ahli
psikologi behaviorisme melihat perilaku manusia sebagai suatu reaksi dari
rangsangan dari sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku
manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia
ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan
antara lain oleh kebudayaan di mana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar
(1999) menyatukan pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan
kepribadian manusia sebagai berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang
disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar
ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain
kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan
perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward
and punishment” terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan
mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan system nilai dalam
kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap
perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu
masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang
bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar. Apabila analisis Gillin
di atas kita cermati, tampak betapa peranan kebudayaan dalam pembentukan
kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan
kepribadian juga akan tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar aliran
behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan terhadap pengembangan
kepribadian manusia. Pada dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan
kepribadian tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan sebagai
berikut.
a)
Kepribadian
adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat kebudayaan juga merupakan
suatu proses. Hal ini berarti antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu
dinamika. Tentunya dinamika tersebut bukanlah suatu dinamika yang otomatis
tetapi yang muncul dari aktor dan manipulator dari interaksi tersebut ialah
manusia.
b)
Kepribadian
mempunyai keterarahan dalam perkembangan untuk mencapai suatu misi tertentu.
Keterarahan perkembangan tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong
tetapi dalam suatu masyarakat manusia yang berbudaya.
c)
Dalam
perkembangan kepribadian salah satu faktor penting ialah imajinasi. Imajinasi
seseorang akan dapat diperolehnya secara langsung dari lingkungan
kebudayaannya. Manusia tanpa imajinasi tidak mungkin mengembangkan
kepribadiannya. Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing seorang diri
dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya. Bayangkan bagaimana kehidupan
kebudayaan manusia apabila setiap kali harus dimulai dari nol.
d)
Kepribadian
mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam masyarakat agar ia dapat hidup
dan berkembang. Tentunya manusia itu dapat saja menentang tujuan hidup yang ada
di dalam masyarakatnya, namun demikian itu berarti seseorang akan melawan arus
di dalam perkembangan hidupnya. Yang paling efisien adalah dia secara harmonis
mencari keseimbangan antara tujuan hidupnya dengan tujuan hidup dalam
masyarakatnya.
e)
Di
dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu dapat dibedakan
antara tujuan dalam waktu yang dekat maupun tujuan dalam waktu yang panjang.
Baik waktu yang dekat maupun tujuan dalam jangka waktu yang panjang, sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam suatu masyarakat.
f)
Berkaitan
dengan keberadaan tujuan di dalam pengembangan kepribadian manusia, dapatlah
disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai
tujuan. Learning is agoal teaching behavior.
g)
Dalam
psikoanalisis juga dikemukakan mengenai peranan super-ego dalam
perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut tidak lain adalah dunia masa
depan yang ideal. Dan seperti yang telah diuraikan, dunia masa depan yang ideal
merupakan kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan oleh
nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.
h)
Kepribadian
juga ditentukan oleh bawah sadar manusia. Bersama-sama dengan ego, beserta ide,
keduanya merupakan energi yang ada di dalam diri pribadi seseorang. Energi
tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi yang ada serta dorongan
super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya.Dengan kata lain di dalam
pengembangan ide, ego, dan super-ego dari kepribadian seseorang berarti mencari
keseimbangan antara energi di dalam diri pribadi dengan pola-pola kebudayaan
yang ada.
Referensi:
Dalyono.
M. 2007. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta Jakarta.
Depoter,
Bobbi & Mike Hernachi 1999, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman
dan Menyenangkan, Kaifa, Bandung
Hartono
S., 1999. Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta
Makmun.S.A.
2003. Psikologi Pendidikan. Rosda Karya Remaja. Bandung
Purwanto,
N. 1998. Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung
Semiawan
C, 1977. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Grasindo Jakarta
Suryabrata,
S. 2010.Psikologi Pendidikan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Utami
Munandar. U, 1999, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta : Rineka
Cipta Jakarta
https://luluasegaf.wordpress.com/2010/12/10/pengertian-intelegensi/