Selasa, 11 Juli 2017

Spektrum Ilmu Sosial

TEORI ILMU-ILMU SOSIAL
1.    Teori Karl Marx
            Karl Marx sebagai filosof tampil ke dalam dunia pemikiran dengan sejumlah gagasan. Sosok Marx, memiliki alur pemikiran karakteristik dan khas dengan filosof yang lain. Marx menyandang beberapa gelar, diantaranya sebagai bapak dan guru sosialisme, ekonomi, pemikir sosial (sosiolog) dan sebagai pembawa harapan masa depan bagi terciptanya teori taman bunga di dunia, khususnya bagi kaum melaratdan mereka yang tercampakkan dari kehidupan (Ramly, 2009:6).
            Urgensi ajaran Karl Marx selalu menarik untuk dibicarakan, karena baik filsafat maupun perangkat ideologi yang dikandungnya dapat disesuaikan dengan keadaan zaman yang berlangsung. Dari sisi ini, ajaran Karl Marx yang semula sebagai kontra dialog pemikiran zamannya telah menjelma sebagai pandangan hidup sekaligus menjadi pandangan dunia (Ramly, 2009:8-9).
            Konsep Marx tentang sejarah menjadi menonjol karena menempatkan manusia pada posisi kunci. Manusia adalah insan yang bersejarah. Manusia terlibat dalam tingkat perkembangan sejarah yang telah, sedang dan akan berlangsung. Sejarah dari setiap masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka atau budak, bangsawan dan gembel, kepala tukang dan pekerja ahli, pendeknya yang menindas dan yang tertindas, berada dalam pertentangan yang tiada akhirnya (Ramly, 2009:22).
            Panorama baru dari pandangan Marx tentang manusia, sebab pada dasarnya ia seorang filosof yang percaya bahwa hakikat manusia adalah adalah makhluk sosial bukan makhluk individual. Manusia berubah menjadi bengis dan serakah terhadap sesamanya bukan disebabkan oleh pembawaan, tetapi adanya perubahan dari sistem sosial di sepanjang sejarah (Ramly, 2009:26).
            Dalam segi lain, manusia sebagai individu yang lepas dari ikatan masyarakat haruslah dianggap sebagai pandangan yang menyalahi hakikat sejarah, manusia hanya dapat dipahami sejauh diletakkan dalam kaitannya dengan masyarakat sebab manusia tidak lain hanyalah keseluruhan relasi-relasi masyarakat, ringkasnya manusia mendapatkan posisinya dalam kolektifitas sosial (Ramly, 2009:77).
a.    Kapitalisme
            Kapitalisme adalah sistem kekuasaan dan kapital adalah uang.Namun, Marx mengungkapkan kapital bukan hanya itu: kapital juga merupakan sebuah relasi sosial tertentu. Dengan kata lain, uang hanya akan menjadi kapital jika ada relasi sosial antara proletar yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang menginvestasikan uangnya dan inilah merupakan relasi kekuasaan. Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari dasar hubungan ekspoloitatif tersebut. Para kapitalis adalah orang-orang yang hidup dari keuntungan kapital mereka (Ritzer dan Goodman, 2013:54).
            Pandangan Marx, pada dasarnya struktur dan etos kapitalisme mendorong kapitalis dalam mengarahkan akumulasi kapital lebih banyak. Berdasarkan pandangan Marx bahwa kerja merupakan sumber nilai, kapitalis digiring untuk meningkatkan eksploitasi terhadap proletar. Inilah yang mendorong terjadinya konflik kelas. Marx selalu definisikan kelas sesuai dengan potensinya konflik (Ritzer dan Goodman, 2013:58).
            Menurut Marx, ada dua macam kelas di dalam menganalisis kapitalisme, yaitu borjuis dan proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan pekerja upahan. Kelas borjuis memiliki faktor kekuasaan, menjalankan transaksi komersial dan menjatuhkan kemanusiaan dengan menempatkan manusia sebagai mesin, sedangkan kelas proletar hanya sebagai buruh atau pekerja (Ritzer dan Goodman, 2013:59).
            Ideologi kelas yang berkuasa mencerminkan sistem ekonomi yang berlaku, para pemilik alat-alat produksi sungguh percaya bahwa sistem yang berlaku secara ekonomi. Secara sosial yang paling adil dan secara filosofis paling selaras dengan undang-undang alam (Ebenstein, 2006:17).
            Ramalan Marx tentang masyarakat dalam sistem ekonomi kapitalis telah banyak dibuktikan oleh keadaan. Dalam fase-fase permulaan pertama perkembangan industri di bawah kapitalisme, yaitu kelas industri. Kaum proletar (proletariat) menurut Marx, tetap bertambah atas kerugian kaum artisan, kaum petani yang tidak punya tanah dan golongan lain yang anggota-anggotanya mencari pekerjaan pada pabrik-pabrik dan tambang-tambang yang selalu bertambah besar dan luas (Ebenstein, 2006:32).
            Kapitalisme menurut sejarahnya berkembang sebagai bagian dari gerakan besar. Gerakan itu menghasilkan reformasi di bidang pendidikan, pertumbuhan ilmu pengetahuan alam dalam hubungan-hubungan manusia, ilmu pengetahuan sosial di bidang politik, pemerintahan yang demokratis, bidang ekonomi dan sistem kapitalis. Di dalamnya tersimpul konsep kapitalisme lebih dari hanya satu sistem ekonomi, mencerminkan cara hidup. Dalam sistem kapitalis, hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, sumber alam) ada di tangan orang perseorangan, tidak di tangan negara. Kecenderungan peradaban kapitalis lebih menyukai kepemilikan perseorangan atas alat produksi didasarkan atas dua pertimbangan (Ebenstein, 2006:223).
            Prinsip dari sistem kapitalisme dapat dipaparkan sebagai berikut.
            Pertama, prinsip ekonomi pasar. Ekonomi pasar sistem kapitalis didasarkan atasspesialisasi pekerjaan. Harga pasar tidak ditentukan oleh adat dan kebiasaan juga oleh perintah seorang penguasa politik. Fungsi ini dipenuhi suplai dan permintaan. Ekonomi pasar adalah tulang punggung bagi semua sistem ekonomi (Ebenstein, 2006:225).Kemerdekaan khusus yang paling penting dari ekonomi pasar, di antaranya bagi pekerja untuk memilih garis pekerjaannya dan pekerjaan tertentu bagi dirinya sendiri, bagi pengusaha untuk memilih jenis usaha yang akan dilakukannya dan mendirikan usaha di tempat yang dikehendakinya, bagi penanam modal untuk menanam modalnya dalam perusahaan apapun yang dipilihnya, akhirnya bagi konsumen untuk membeli barang produksi yang lebih disukainya. Kemerdekaan yang terakhir adalah kedaulatan konsumen, dalam banyak hal merupakan yang terpenting. Pada akhirnya konsumenlah yang menentukan di pasar bebas apa yang harus dihasilkan, bagaimana kualitas dan berapa jumlahnya (Ebenstein, 2006:229).
            Kedua, prinsip persaingan. Dalam ekonomi kapitalis, setiap orang bebas untuk memilih pekerjaan apa yang disukainya (kemerdekaan untuk mempunyai pekerjaan).Tidak boleh ada pembatasan atau pengecualian (seperti atas dasar sentimen rasial atau agama) yang dibuat oleh setiap pekerjaan atau keahlian. Pasar kapitalis juga menyediakan tempat untuk barang dan jasa ditawarkan untuk dijual. Sedang jumlah dan mutunya diatur dengan jalan persaingan bebas. Anggapan pokok dalam ekonomi kapitalis ada pertimbangan yang relatif antara kesanggupan tawa-menawar di kalangan dan antara para pembeli dan penjual (Ebenstein, 2006:230).
            Ketiga, prinsip kebebasan. Kebebasan untuk mengadakan persaingan di pasar berasal dari empat kebebasan kapitalis yang pokok: kebebasan untuk berdagang dan mempunyai pekerjaan, kebebasan untuk mengadakan kontrak, kebebasan hak-milik dan kebebasan untuk membuat untung. Apabila dari salah dari keempat kebebasan dibatasi, maka berkuranglah persaingan. Pilihan lain dari persaingan adalah a) monopoli perseorangan, atau b) negara yang serba kuasa. Dalam kedua hal, penetapan harga barang dan jasa yang semau-maunya oleh suatu kekuasaan de facto (sepeti halnya dengan monopoli perseorangan) atau oleh kekuasaan yang sah (seperti halnya dengan negara) (Ebenstein, 2006:231).
            Keempat, prinsip keuntungan. Keuntungan adalah prinsip pokok lain yang merupakan ciri dari sistem kapitalis. Perkembangan sistem keuntungan di bawah kapitalisme tidak perlu menunjukkan bahwa dengan memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mencari keuntungan, kapitalisme menjadi lebih tidak bersusila. Ini menunjukkan bahwa kapitalisme lebih demokratis sifatnya dalam membuka kesempatan keuntungan bagi orang-orang dan kelas-kelas yang secara tradisional dimarjinalkan. Konsep keuntungan, tentunya tidak terbatas pada pengusaha. seorang pekerjayang mengambil pekerjaan yang dinginkannya (Ebenstein, 2006:234).Setiap kali sistem kapitalisme dilukiskan sebagai suatu sistem mencari keuntungan, keadaan sebaliknya juga sama penting. Kapitalisme juga sutu sistem merugi. Kesempatan untung dan rugi dalam kapitalisme tidak ada bandingannya, mempunyai persamaan dalam suatu hal: pengambilan resiko untuk diri sendiri (Ebenstein, 2006:236).


b.   Pertentangan Kelas
            Kelas merupakan sebuah konsep yang menentukan kedudukan sosial manusia dari segi kepemilikan benda atau harta yang tidak dapat dipisahkan dari konsep ekonomi. Perkembangan struktur industri kapitalisme hanya memperkenalkan dua jenis kelas saja, yaitu borjuisdan proletar.Semua kelas buruh upahan akan diklasifikasikan sebagai kelas proletar. Sedangkan kelas kapitalis dan pemilik tanah dimasukkan dalam kelas borjuis (Ismail, 2012:30).
            Kelas proletar dan borjuis memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Kelas borjuis memiliki dan menguasai alat-alat produksi serta menguasai seluruh rangkaian sistem produksi, sedangkan kelas proletar dijadikan sebagai tenaga kerja yang bekerja untuk kelas borjuis dalam rangkaian proses produksi. Kelas proletar seringkali dianggap sebagai kelas bagi orang-orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Mereka tak memiliki apapun selain tenaga yang mereka gunakan untuk bekerja. Sebagai imbalannya, mereka menerima gaji dari kaum borjuis dengan jumlah yang sangat rendah. Ini tentu saja tidak adil bagi mereka. Jurang perbedaan antara kedua kelas inilah yang menyulut perjuangan dan pertentangan antara kelas-kelas sosial. Marx menyebutkan bahwa sejarah manusia adalah sejarah pertentangan antara kelas yang menindas dan kelas yang tertindas (Kristeva, 2011:11).
            Pertentangan adalah arti umum dan awal dari dialektika. Dari sisi lain dialektika mengandung pengertian adanya gerak maju dari tahapan yang rendah ke tahapan yang tinggi dan serentak dengan dibarengi adanya persatuan. Dialektika mengandung suatu pola ulangan dari antagonisme yang disusul dengan penyesuaian.Berpikir dialektis salah satu aspeknya adalah totalitas, dalam artian keseluruhan yang ada di dalamnya memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan ingkari), saling berkontra diksi (melawan dan dilawan), dan saling bermidiasi (memperantarai dan diperantarai) (Ramly, 2009:14).
            Marx menyatakan,pertentangan yang terjadi kadang kala dapat dilihat secara tersembunyi, tetapi terkadang juga dapat berlaku dan dilihat secara terbuka (Kristeva, 2011:15).
            Marx menganalisis sistem pemilikan pribadi yang ada di tangan borjuis di satu pihak dan kelas miskin atau proletar di pihak lain. Dua kelas masing-masing mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Dari sinilah akan lahir proses dehumanisasi, pemiskinan kaum buruh di tangan kaum pemilik modal. Lahir teori nilai lebih yang memperkosa kemanusiaan kaum pekerja kemudian sebagai akibatnya akan terlihat munculnya alienasi (keterasingan) manusia dari diri dan lingkungannya. Singkatnya, industri-industri besar menelan modal yang besar dan hal ini sama artinya dengan kekuasaan ekonomi di tangan segelintir orang. Marx menunjukkan betapa kaum buruh menjadi semakin miskin, dengan demikian Marx sesungguhnya merintis penyadaran etis (Ramly, 2009:23-24).
            Menurut Marx riwayat dari setiap masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka atau budak, bangsawan atau gembel, tuan dan pelayan yang ditindas, dan yang menindas berada dalam pertentangan yang tajam, mereka melangsungkan pertentangan yang tidak ada akhirnya. Konsep pertentangan kelas merupakan pokok soal yang diturunkan dari cara produksi dan hubungan produksi yang timpang dalam masyarakat. Adanya pemilikan alat-alat yang sifatnya individual mengendalikan nasib orang banyak dapat ditentukan oleh kelompok kecil. Pertentengan kelas yang berlangsung sejak dahulu hingga kini mengarah pada pertentangan kelas borjuis terhadap kelas proletar (Ramly, 2009:145-146).
            Kepentingan bagi kaum pemilik modal untuk terus-menerus berambisi menciptakan produksi sebanyak-banyaknya. Kelas bojuis berhasil memperoleh kekuasaan ekonomi dan politik, dengan kekuasaan ini mereka secara lihai mengubah hubungan manusia menjadi transaksi komersial, yaitu dengan menempatkan tenaga buruh tidak lebih dari barang dagangan (Ramly, 2009:147).
            Dalam konsep pertentangan kelas bukanlah terletak pada kenyataan bahwa ada orang kaya dan orang miskin, tapi mencari jawab dari soal: apakah yang menyebabkan kekayaan dari beberapa orang dan kemiskinan orang lain. Konsep kelas dalam kerangka ini menjadi dasar munculnya ide bahwa perbedaan dalam status sosial tidak tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi perbedaan kelompok tertentu karena dipaksakan oleh keadaan sosialnya. Jadi dengan cara khusus, Marx melukiskan perjuangan kelas, penindasan kaum borjuis dengan konfliknya kaum proletar (Ramly, 2009:150).
            Konsep kelas dan pertentangan kelas ini sesungguhnya muncul karena perkembangan kerja sosial, yaitu munculnya hak milik pribadi atas alat produksi. Dengan kata lain, pemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi dasar utama pembagian kelas dalam masyarakat (Ramly, 2009:151).
            “It is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social being that determines their consciousness” Pandangan Karl Marx yang melihat bahwa kesadaran individu dibentuk oleh realita sosial sebagaimana kalimat di atas, merupakan dasar dari konsep materialisme dialektika (dialectical materialism). Marx percaya dunia dan realita sosial tidak berawal dari gagasan dan kesadaran yang ada dalam kepala indidvidu, melainkan dari hal-hal nyata, dari sesuatu yang sifatnya material (bisa dilihat, bisa diamati, bisa dialami). Kesadaran dan tindakan individu tidak lahir dari apa yang ada dalam pikirannya, melainkan lahir dari melihat, mengamati, dan mengalami langsung setiap hari. Materialisme yang dimaksud Marx adalah hal-hal yang nyata, realita, apa yang ada di dalam realita sosial. Aliran idealisme melihat kesadaran dan gagasan sebagai pangkal yang mempengaruhi dan menyebabkan tindakan individu dan sekaligus membentuk realita sosial (Madasari, 2012).
            Dialektika adalah perjalanan sejarah manusia yang terbangun atas tiga bagian yang disebut sebagai tesis (thesis), antitesis (antithesis), dan sintesis (synthesis).Tesis merupakan persoalan yang ada. Antitesis adalah tanggapan kritis dari persoalan tersebut. Sementara sintesis merupakan kondisi baru yang tercapai setelah tesis mengoreksi antitesis. Marx merumuskan apa yang menjadi tesis, antitesis, dan sintesa sebagai perjalanan sejarah manusia untuk mencapai bentuk masyarakat yang paling sempurna. Bagi Marx, sejarah manusia terbentuk dari upaya mereka untuk memenuhi kebutuhannya, entah sadar atau tidak (Madasari, 2012).
            “The social history of men is never anything but the history of their individual development, whether they are conscious of it or not” Dalam upaya pemenuhan kebutuhan, kemampuan produksi merupakan hal dasar yang harus dikuasai. Keberadaan alat produksi dan akses individu terhadap alat produksi menjadi masalah dasar dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.Dengan keterbatasan akses pada alat produksi, tidak setiap individu memiliki kemampuan produksi.Alat produksi hanya dikuasai oleh satu lapisan masyarakat, yakni kelompok borjuis.Sementara kelompok yang tidak menguasai alat produksi adalah kelompok proletar.Di sinilah dialektika dimulai.Bagaimana perjuangan kelompok proletar merebut akses terhadap alat produksi dari tangan kelompok borjuis (Madasari, 2012).
            Penguasaan alat produksi di tangan borjuis adalah tesis.Sementara perjuangan proletar merebut alat produksi adalah antitetis.Sintesis adalah kondisi di mana alat produksi tidak lagi dikuasai oleh borjuis, melainkan dimiliki bersama oleh seluruh lapisan masyarakat (Madasari, 2012).
c.       Eksploitasi
            Bagi Marx, eksploitasi dan dominasi lebih dari sekadar distribusi kesejahteraan dan kekuasaan yang seimbang. Eksploitasimerupakan suatu bagian yang penting dari ekonomi kapitalis. Tentu saja, semua masyarakat memiliki sejarah eksploitasi, tetapi yang unik di dalam kapitalisme adalah bahwa eksploitasi dilakukan oleh sistem ekonomi yang impersonal dan “objektif”. Hal ini kemudian kurang menjadi persoalan kekuasaan dan lebih menjadi persoalan grafik dan gambar-gambar para ekonom. Kemudian, paksaan jarang dianggap sebagai kekerasan, malah menjadi kebutuhan pekerja itu sendiri, yang sekarang bisa terpenuhi hanya melalui upah (Ritzer dan Goodman, 2013:54).
            Para pekerja menjadi “buruh-buruh yang bebas”, membuat kontrak-kontrak bebas dengan para kapitalis. Marx percaya para pekerja harus menaati syarat dan ketentuan kapitalis karena para pekerja tidak lagi mampu memproduksi demi kebutuhan mereka sendiri. Hal ini benar khsusnya karena biasanya kapitalisme menciptakan apa yang dirujuk Marx sebagai “tentara cadangan” dari pengangguran. Jika para pekerja tidak melakukan tugas dengan upah yang diberikan oleh kapitalis, maka ada orang lain di dalam “tentara cadangan” yang mau melakukannya (Ritzer dan Goodman, 2013:55).
            Kapitalis membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri.Hal ini termuat dalam konsep Marx tentang nilai lebih.Nilai lebih didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai produk dengan nilai elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut (termasuk kerja para pekerja). Kapitalis melebarkan perusahaan mereka dengan mengubah nilai lebih menjadi modal yang akan menghasilkan nilai lebih yang lebih banyak lagi (Ritzer dan Goodman, 2013:56).
            Nilai lebih, seperti halnya kapital merupakan suatu relasi sosial partikular dan suatu bentuk dominasi, karena kerja merupakan sumber nilai tambah yang sebenarnya.Marx memberikan sebuah ibarat tentang hal ini, yaitu kapital merupakan kerja yang mati dan hidup dengan menghisap kehidupan kerja dan angka nilai lebih merupakan ekspresi yang paling tepat bagi tingkat eksploitasi tenaga kerja oleh kapital (Ritzer dan Goodman, 2013:57).
            Beberapa cara yang lazim dipergunakan oleh kaum kapitalis (kelas borjuis) dalam meningkatkan nilai lebih, menurut Marx antara lain dengan meningkatkan jam kerja, intensitas kerja, pengetatan kontrol terhadap pekerja/buruh (kelas proletar) dan penggantian tenaga kerja laki-laki dengan tenaga kerja perempuan serta anak-anak (Suseno, 2003:11).
            Kapitalisme selalu didorong oleh kompetisi yang tiada henti.Keinginan untuk memperoleh lebih banyak keuntungan dan lebih banyak nilai lebih untuk ekspansi, mendorong kapitalisme pada yang disebut Marx dengan hukum umum akumulasi kapitalis.Kapitalis berusaha mengeksploitasi para pekerja semaksimal mungkin, tendensi konstan kapitalis adalah untuk memaksa ongkos kerja kembali keangka nol. Marx pada dasarnya berpendapat bahwa struktur dan etos kerja yang merupakan sumber nilai dengan meningkatkan eksploitasi terhdap proletar (Ritzer dan Goodman, 2013:57).
            Nilai lebih adalah nilai yang diberikan oleh kaum pekerja (proletar) secara terpaksa melampaui apa yang dibutuhkan. Karena terikat oleh perjanjian kerja, maka kaum pekerja harus menyelesaikan kerja yang diberikan. Dalam sistem kapitalis diandaikan sang majikan selalu berusaha memperbesar nilai lebih yang dimaksud. Kondisi ini digambarkan oleh Marx sebagai pemerasan (Ramly, 2009:152).
            Berkembangnya industri, konsekuensinya tenaga buruh digantikan oleh mesin. Mereka tercabut  dan terasing dengan mesin-mesin kerja yang baru dan pada saat yang sama potensi intelektual mereka direduksi oleh kaum pemilik modal menjadi tidak lebih dari sekrup. Gambaran selanjutnya dalam proses ini adalah mesin-mesin berproduksi secara besar-besaran, sehingga barang bertumpuk di pasaran. Secara hukum ekonomi barang yang bertumpuk menjadikan harganya turun, akibatnya upah yang didapat oleh kaum buruh juga menjadi semakin sedikit (Ramly, 2009:154).
            Menurut penggambaran Marx, semakin menyusutnya jumlah hartawan kapitalis, maka sejalan dengan hal itu akan terdapat pertambahan massa yang miskin, perbudakan degenerasi dan eksploitasi. Monopoli kaum kapitalis pada saatnya akan menjadi belenggu bagi metode produksi yang berkembang. Dari krisis ini kaum proletar dibalut dendam kusumat tampil menjalankan tugas sejarahnya, yaitu merebut alt-alat produksi untuk disosialkan (Ramly, 2009:156).
d.      Alienasi
            Teori alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksiindustrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangankontrol atas hidup mereka.Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran bersama. Namun, mereka hanya
bisa mengekspresikan secara mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidakdimiliki secara sosial atau secara publik (Boas, 2008:135).
            Marx menganalisis bentuk yang aneh dalam hubungan kerja berada di bawah kapitalisme.Kerja tidak lagi sebagai ekspresi dan tujuan.Tidak ada objektivasi, melainkan bekerja berdasarkan tujuan kapitalis yang memberi gaji atau upah (kelas proletar).Dalam kapitalisme, kerja tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri sebagai ungkapan dari kemampuan dan potensi kemanusiaan, melainkan tereduksi menjadi sarana untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang.Dengan demikian, kerja bukan lagi milik pribadi sehingga tidak bisa lagi mentransformasikan. Dengan kata lain teralienasi (terasingkan) oleh kerja, dan alienasi merupakan sifat dasar sebagai manusia (Ritzer dan Goodman, 2013:35).
            Walaupun perseoranganlah yang mengalami alienasi dalam masyarakat kapitalis, struktur kapitalisme yang menjadi dalang alienasi ini.Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyatakan pengaruh produksi kapitalis terhdap manusia dan terhadap masyarakat. Hal yang terpenting adalah sistem dua kelas, kapitalis menggunakan dan memperlakukan para pekerja (dengan cara demikian, waktu kerja mereka) dan alat-alat produksi mereka (alat dan bahan mentah) sebagaimana produk akhir para pekerja dipaksa menjual waktu kerja mereka kepada kapitalis agar mereka bisa bertahan. Inilah basis sosiologis dari fenomena alienasi (Ritzer dan Goodman, 2013:36).
            Hasilnya, manusia hanya merasa aktif di dalam fungsi hewaniahnya, yaitu makan, minum, punya keturunan sementara di dalam proses kerjanya, tidak lagi merasa diri menjadi apa-apa selain menjadi binatang. Betapa binatang telah menjadi manusia, dan manusia telah menjadi binatang. Tentu saja makan, minum, punya keturunan dan sebagainya juga merupakan fungsi dasar manusiawi, akan tetapi terpisah dari jangkauan seluruh aktivitas kemanusiaan yang lain dan beralih kepada tujuan yang tunggal dan mendasar yang merupakan fungsi kebinatangan (Ritzer dan Goodman, 2013:37).
            Alienasi terdiri dari empat unsur dasar.Unsur-unsur tersebut sebagai berikut.
            Pertama, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari aktivitas produktif mereka.Kaum pekerja tidak memproduksi objek-objek berdasarkan ide mereka sendiri atau untuk secara langsung memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka bekerja untuk kapitalis yang memberi mereka upah dengan imbalan bahwa mereka menggunakan para pekerja menurut cara yang mereka inginkan. Menurut Marx, menjadi sarana-sarana yang membosankan dan mematahkan semangat demi sekadar memenuhi tujuan paling utama dalam kapitalisme memperoleh cukup uang untuk bertahan hidup (Ritzer dan Goodman, 2013:38).
            Kedua, para pekerja tidak hanya teralienasi dari aktivitas produktif, akan tetapi juga dari tujuan aktivitas tersebut, yaitu produk. Produk kerja mereka tidak menjadi milik mereka, melainkan menjadi milik para kapitalis yang mungkin saja menggunakan cara yang mereka inginkan, karena produk merupakan hak milik pribadi para kapitalis. Marx menyatakan bahwa hak milik pribadi adalah produk, hasil dan dampak yang punya nilai dan harga yang dihasilkan dari kerja yang teralienasi. Kapitalis akan menggunakan hak miliknya untuk menjual produk demi mendapatkan keuntungan (Ritzer dan Goodman, 2013:38).
            Ketiga, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari sesama pekerja. Asumsi Marx adalah manusia pada dasarnya membutuhkan dan menginginkan bekerja secara kooperatif untuk mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam untuk terus bertahan. Sekalipun para pekerja berdampingan, namun hakikat teknologi sebenarnya justru melahirkan isolasi. Situasi sosial ini lebih buruk bila dibandingkan dengan isolasi yang sederhana, para pekerja sering dipaksa telibat dalam kompetisi secara langsung dan tidak jarang terjadi konflik satu dengan yang lain. Untuk mencegah perkembangan hubungan yang kooperatif, maka kapitalis mengadu seorang pekerja dengan pekerja yang lain untuk melihat mana yang bisa memproduksi lebih banyak, lebih cepat atau lebih menyenangkan atasannya, yang sukses diberi imbalan ekstra dan yang kalah akan disingkirkan. Situasi ini menguntungkan kapitalis karna muncul kedengkian sesama pekerja.Isolasi dan kedengkian pribadi sesama pekerja dalam kapitalisme membuat mereka teralienasi dari teman-teman mereka sesama pekerja (Ritzer dan Goodman, 2013:39).
            Keempat, para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari potensi kemanusiaan mereka sendiri.Kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia.Individu-individu menampakkan diri semakin kurang seperti manusia karena di dalam kerja mereka tereduksi menjadi mesin-mesin.Hasilnya adalah banyak orang yang tidak mampu mengekspresikan kualitas kemanusiaan mereka yang terdalam dan makin banyak pekerja yang teralienasi (Ritzer dan Goodman, 2013:39).
            Alienasi merupakan satu contoh kontradiksi yang menjadi titik pendekatan dialektis Marx.Ada kontradiksi nyata antara antara sifat dasar yang dibatasi dan ditransformasikan oleh kerja dengan kondisi sosial yang aktual dari kerja di bawah kapitalisme. Individu merasa kurang atau bahkan tidak teralienasi sama sekali karena mengidentifikasi diri dengan majikannya atau dengan segala sesuatu yang bisa diperoleh dengan gaji yang diberikan. Justru keadaan seperti ini merupakan gejala alienasi, yang hanya bisa diobati dengan perubahan sosial yang benar-benar nyata (Ritzer dan Goodman, 2013:41).

e.       Perjuangan Kelas
            Marx mengatakan, sejarah perjuangan manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dan negara hanya merupakan alat yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menindas seluruh kelas bawahan. Konsep-konsep dominasi tersebut akan berakhir dengan penghapusan sistem kapitalisme, dan itu merupakan tanda bahwa kelas proletar yang dipelopori oleh kaum buruh telah menang. Keberhasilan sebuah revolusi dalam perjuangan meruntuhkan pemerintahan lalu menguasainya hanya bergantung kepada sikap diktator proletar yang dimanifestasikan dalam bentuk perjuangan kelas. Sikap diktator itu sendiri diartikan sebagai ‘alat’ dalam tahap peralihan ke arah pemusnahan semua kelas masyarakat (classless), yaitu tranformasi dari masyarakat kapitalis ke masyarakat komunis (Kristeva,2011:19).
            “The history of all hitherto society is the history of class struggles”.Perjuangan kelas proletar untuk merebut alat produksi dari tangan kelas borjuis merupakan bentuk perjuangan kelas.Marx melihat pertentangan kelas dimulai ketika masyarakat meninggalkan kehidupan primitif.Pada masyarakat primitif, sumber daya alam dimanfaatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.Sumber daya alam dikelola dan dimiliki bersama-sama.Dari bentuk primitif, mulai lahirlah kelompok masyarakat feodal.Di sini, terjadi pertentangan kelas antara keluarga bangsawan yang menguasai tanah dan sumber daya, dan rakyat yang tak memiliki hak apa-apa.Setelah bentuk feodal, lahirlah masa perbudakan.Pertentangan kelas terjadi antara majikan-majikan yang merdeka dengan budak mereka.Setelah itu, ketika era industri dimulai, terbentuklah masyarakat kapitalis yang ditandai oleh penguasaan alat produksi oleh kelompok borjuis, kepemilikan individu, dan kompetisi bebas.Sifat-sifat kapitalis inilah yang menurut Marx kini melahirkan penindasan dan eksploitasi pada sesama manusia (Madasari, 2012).
            Menurut Marx, masyarakat harus kembali ke bentuknya yang paling awal, yakni masyarakat komunis. Dalam masyarakat komunis, alat produksi dimiliki bersama dalam masyarakat.Alat produksi tersebut dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama.Tidak ada kompetisi yang melahirkan penindasan.Tidak ada kepemilikan individu yang melahirkan kelas-kelas berdasarkan kepemilikan.Menurut Marx, kunci perubahan itu ada pada tangan kelas proletar sendiri. Penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dialami kelas proletar melahirkan kesadaran pada masing-masing individu.Dengan kesadaran individu itu, kelas proletar bergerak untuk merebut alat produksi yang dikuasai kelas borjuis.Selain itu, kelas proletar juga harus berani menanggalkan kepemilikannya sendiri untuk bersama-sama bergerak merebut alat produksi (Madasari, 2012).
            Menurut Marx, setiap transformasi sejarah tersebut dicapai melalui revolusi kaum buruh (proletar) yang mewakili inspirasi seluruh manusia. Melalui revolusi, kebebasan bersifat ‘universal’ akan dapat dicapai oleh kelas proletar, sekaligus mewakili semua umat manusia yang mau melepaskan diri dari belenggu perhambaan (Marx,1955:82).
            Perlawanan kelas yang berkuasa terhadap perubahan adalah sedemikian gigih sehingga akhirnya membuat revolusi menjadi suatu hal yang tidak dapat diletakkan, maka kelas yang berkuasa akan menggerakkan segala alat superstruktur hukum, politik dan ideologi untuk memblokir pertumbuhan kekuatan yang mewakili sistem ekonomi yang potensial lebih progresif. Hal yang mendasari Marx dalam penjelasan di bagian permulaan Manifesto Komunis, “sejarah seluruh masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas” (Ebenstein, 2006:18).
            Dalam bidang politik terumuskan dalam perjuangan kaum yang tidak berpunya (proletar), untuk merampas harta kaum borjuis lewat perjuangan kelas. Aktivitas revolusioner ini dibagi secara bertingkat-tingkat sesuai fase sejarah yang sedang dilalui dan berakhir dengan terwujudnya masyarakat tidak berkelas, yaitu masyarakat komunis.Selanjutnya dengan jalan ilmiah dapat diketahui bahwa susunan baru dari masyarakat tidak dibuat melainkan dilahirkan(Ramly, 2009:79).
            Menurut Marx, sejarah dan revolusi yang akan dikobarkan oleh kaum proletar lebih banyak dikembalikan persepsi bahwa kekuatan-kekuatan produksi yang melandasi pemilikan kaum kapitalis borjuis akan terlepas dari ikatan organisasi sosial yang ada. Maka menjadi tugas kaum proletar untuk mengembalikan hubungan serasi antara kekuatan dan organisasi sosial yang ada, cara yang ditawarkan untuk mengembalikan hubungan harmoni ini adalah dengan cara revolusi untuk itu kaum buruh modern dihimbaui untuk bersatu (Ramly, 2009:141).
            Formulasi teori Marx tentang perjuangan kelas dan perspektif menuju masyarakat tanpa kelas, yaitu cita-cita ingin mengangkat martabat kelas proletar dari eksploitasi kelas borjuis, kebebasan dan kemerdekaan. Kapitalis tentunya tidak ingin terjadi revolusi yang akan dilakukan oleh kaum proletar dengan memperadakan massa yang banyak sehingga menyebabkan keruntuhan (Ramly, 2009:169).
            Marx melihatkontradiksi kapitalisme tidak hanya menyebabkan revolusi proletar, tetapi juga krisis individual dan sosial yang menimpa masyarakat modern. Dari sisi personal telah terjadi alienasi diyakini Marx biang dari perasaan tidak berarti yang dirasakan oleh banyak orang di dalam kehidupannya. Marx memprediksi bahwa peningkatan ketidakmampuan suatu masyarakat sipil untuk menyelesaikan persoalan sosial. Bahkan pertumbuhan wilayah yang hanya bertujuan untuk melindungi milik pribadi kapitalis dan suatu intervensi yang kadang-kadang brutal ketika kekerasan ekonomi oleh kapitalis mengalami kegagalan (Ritzer dan Goodman, 2013:62).
2.    Teori Hegemoni Antonio Gramsci
Kata hegeisthai (Yunani) merupakan akar kata dari hegemoni, yang mempunyai pengertian memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasan yang lain. Jadi arti dalam kamus adalah kepemimpinan. Teori hegemoni muncul karena ketidak puasan terhadap konsep yang dianut teori Marxisme, tidak puas tentang perkembangan politik yang dianggap sebagai akibat langsung perkembangan ekonomi (Ratna dalam Karsono, 2005:2). Seperti telah diketahui bahwa Marxisme merupakan teori tentang masyarakat dan usaha dari masyarakat untuk mengubahnya, jadi termasuk perilaku perjuangan umat manusia, perjuangan laki-laki dan perempuan untuk membebaskan diri dari penindasan (Eagleton dalam Karsono, 2005:2).
Hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep hegemoni memang dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis ortodoks. Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul Notes on the Sourthen Question untuk pertama kalinya menggunakan istilah hegemoni ini di tahun 1926. Hal ini kemudian disangkal oleh Roger Simon, menurutnya istilah hegemoni sudah digunakan oleh Plekhamov sejak tahun1880-an (Ratna dalam Karsono, 2005:2).
Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi di mana suatu kelas berkuasa menjalankan kekuasaan dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dengan persetujuan. Jadi, praktik normal hegemoni di wilayah pemerintahan demokrasi tradisional dicirikan dengan gabungan kekuatan dan persetujuan, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuatan yang secara berlebihan memaksa persetujuan. Namun upaya yang sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut seakan-akan hadir berdasarkan persetujuan (Sary, 2013: 4).
Hegemoni yang dimaksud oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol (Sary, 2013:4).
Hegemoni pada hakekatnya adalah cara atau proses penggiringan (mempengaruhi) orang lain untuk mempercayai wacana dominan dalam rangka yang ditentukan oleh mereka yang berkuasa (Sary, 2013:5).
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan cenderung kepada hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan kata lain hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Sehubungan dengan hal ini, di beberapa paragraf dalam karyanya yang berjudul Prison Notebook, Gramsci menggunakan direzone (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egomonia (hegemoni) dan berlawanan dengan dominazione (dominasi). Bertolak dari pendapat Gramsci ini, hegemoni bisa didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (Wibowo, 2010: 44-45).
Hegemoni kelas yang berkuasa terhadap kelas yang dikuasai sesungguhnya dibangun oleh mekanisme konsensus.  Ketika  Gramsci berbicara tentang konsensus, ia selalu mengaitkan dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan aturan sosiopolitis ataupun aspek-aspek aturan yang lain. Tatanan hegemonis menurut Gramsci, tidak perlu masuk ke dalam Institusi (lembaga) ataupun praktik liberal sebab hegemoni pada dasarnya merupakan suatu totalitarianisme dalam arti ketat.
Bagi Gramsci, asumsi liberal “masa kini”, bahwa orang tanpa mempunyai kesempatan sungguh-sungguh untuk mengungkapkan oposisinya tidak dapat dikatakan perjanjian, tampaknya sangat aneh. Diandaikan bahwa dalam suatu perjanjian dengan sendirinya ada disposisi mental, ada titik-titik lemah disamping kekuatannya. Guna menjelaskan ini, Femia menangkap tiga kategori penyesuaian yang berbeda yang dikemukakan Gramsci, yaitu karena rasa takut, karena terbiasa dan karena kesadaran dan persetujuan. Tipe yang terakhir inilah yang kemudian disebut Gramsci sebagai hegemoni (Hendarto dalam Patria dan Arief, 2003, 125-126). Ketiga kategori itu meliputi:
1.      Orang menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila ia tidak menyesuaikannya. Di sini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi yang menakutkan.
2.      Orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara-cara tertentu. Konformitas dalam hal ini merupakan soal partisipasi yang tidak terefleksikan dalam hal ini bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak.
3.      Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan dengan unsur tertentu dalam masyarakat.
Selanjutnya, Gramsci tidak secara spesifik melihat tipe dan macam konsensus apa yang secara determinan menentukan situasi hegemonis. Konsensus menurut Gramsci lebih mewujudkan  suatu hipotesis bahwa terciptanya karena ada dasar persetujuan. Lebih lanjut, mengutip Femia (Hendarto dalam Patria dan Arief, 2003,126) Gramsci mengatakan bahwa dalam tatanan sosial yang teratur harus ada dasar persetujuan yang kuat yang dapat melawan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan yang muncul dari perbedaan-perbedaan kepentingan. Konsensus dalam arti ini berada dalam hubungan dengan objek-objek tertentu, pribadi, kepercayaan nilai-nilai, lembaga-lembaga maupun yang lain.
Bagi Gramsci, hegemoni melalui konsensus muncul melalui komitmen aktif atas kelas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Untuk itu, Gramsci mengatakan secara tak langsung konsensus sebagai “komitmen aktif” yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada sah. Konsensus secara historis lahir disebabkan karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi (Patria dan Arief, 2003, 126).
Selanjutnya, menurut Gramsci ada tiga tingkatan hegemoni, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni yang minimum. Pertama, hegemoni Integral. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organisasi antara pemerintah dan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis.
Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukkan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi “di bawah permukaan kenyataan sosial”. Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasarannya, namun “mentalitas” massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. Situasi demikianlah yang disebut decadent hegemony.
Ketiga, hegemoni minimum (minimal hegemony). Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah dibanding dua bentuk sebelumnya. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengaan kelas lain delam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan “negara baru” yang dicita-citakan oleh kelompok hegemonis itu (Patria dan Arief, 2003,128).
Kekuasaan bukanlah dominasi milik suatu kelas tertentu yang menguasai kelas lainnya, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Ada beberapa pokok pikiran yang penting sehubungan dengan konsep hegemoni, antara lain:
1)      Dalam sebuah hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (dalam konteks ini adalah the ruling party atau kelompok yang berkuasa);
2)      hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan;
3)      nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian rupa, sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa;
4)      hegemoni bisa dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan (Wibowo, 2010: 45-46).
Jadi, sebuah kelas dikatakan telah berhasil, jika ia telah mampu mempengaruhi kelas masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural. Konsep ini mengasumsikan sebuah konsensus atau persetujuan sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang mereka usulkan dengan kekuatan. Bagaimanapun juga konsensus ini tidak selalu aman dan damai, malahan dapat mengkombinasikan kekuatan psikis atau koersi dengan pancingan atau dorongan intelektual, moral dan kultural. Konsensus ini dapat dipahami sebagai sesuatu yang wajar, sebuah alam budaya tempat ideologi dominan dipraktikkan dan tersebar. Dengan kata lain, sesuatu yang muncul dari perlawanan kelas sosial dan membentuk serta mempengaruhi pikiran orang (Wibowo, 2010: 46).
Dalam kerangka teori Gramsci setidaknya terdapat beberapa konsep kunci, yaitu hegemoni, kebudayaan, ideologi, pemikir awam, kaum intelektual, dan negara.
a.       Kebudayaan
Gramsci menaruh perhatian yang besar terhadap kebudayaan sebagai satu kekuatan material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat. Pada saat itu ia menolak konsep kebudayaan sebagai pengetahuan ensiklopedis dan melihat manusia sebagai semata-mata wadah yang diisi penuh dengan data empirik dan massa dari fakta mentah yang tidak saling berhubungan, yang harus didokumentasikan di dalam otak sebagai sebuah kolom dalam sebuah kamus yang memampukan pemiliknya untuk memberikan respons terhadap berbagai rangsangan dari dunia luar (Faruk, 2010: 138).
Bagi Gramsci, konsep kebudayaan yang lebih tepat, lebih adil, dan lebih demokratis, adalah kebudayaan sebagai organisasi, disiplin batiniah seseorang, yang merupakan pencapaian suatu kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya, seseorang berhasil dalam memahami nilai historis dirinya, fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (Faruk, 2010: 139).
Menurut Raymond Williams, dalam bukunya yang berjudul Culture and society, di Inggris, juga seperti yang telah dipahami oleh Mathew Arnold, kebudayaan merupakan semacam “nilai-nilai luhur”, puncak-puncak pencapaian spiritualitas manusia (Faruk, 2010: 133).
Pendek kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis. Revolusi kebudayaan itu tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan terjadi revolusi tersebut (Faruk, 2010: 140).
Menurut Gramsci, bentuk-bentuk organisasi kultural merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret, terutama dalam hubungan dengan kemungkinan operasinya dalam kehidupan praktis. Studi mengenai organisasi kebudayaan serupa itu, misalnya yang berupa sekolah-sekolah pada seluruh levelnya, gereja sebagai organisasi sosial terbesar, dalam hal jumlah orang-orang yang dipekerjakannya, surat-surat kabar, majalah-majalah, perdagangan buku, dan lembaga-lembaga kultural seperti universitas popular, di samping berbagai aktivitas kultural lainnya seperti seni dan kesusastraan (Faruk, 2010: 140).
Studi semacam itu akan melibatkan kelompok intelektual yang kenyataannya berada dalam kesenjangan yang besar dengan masa popular. Hal itu berlaku pula bagi, bahkan, kelompok-kelompok intelektual yang berjumlah besar dan berada di pinggiran kehidupan kenegaraan, seperti para pendeta dan guru-guru sekolah. Selain itu, akan terlibat pula di dalamnya tokoh-tokoh intelektual tertentu yang pada kenyataannya sering kali lebih berpengaruh dalam penyebaran gagasan daripada, misalnya, sebuah universitas (Faruk, 2010: 140-141).
Persoalan kebudayaan yang demikian menjadi menarik bagi Gramsci karena dengan hal-hal itu orang dapat mendedukasikan pentingnya aspek kultural dalam aktivitas kolektif yang praktis. Segala aktivitas kultural itu akan bermuara pada satu sasaran yang tunggal, yaitu penciptaan satu iklim kultural yang tunggal melalui suatu proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal menuntut satu pemersatuan sosial kultural yang melaluinya multisilitas kehendak dan tujuan yang tersebar dan heterogen tersatukan. Kegiatan serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh “manusia kolektif” (Faruk, 2010: 141).
b.      Ideologi
Istilah ideologi seringkali hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide, seperti misalnya ketika orang berbicara tentang ideologi liberal, konservatif atau sosialis. Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekedar ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary system) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya” . ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Disini Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan masyarakat’ (Simon, 2004: 84).
Dalam analisis Gramsci, ideologi dipahami sebagai ide, makna dan praktik yang meskipun mengklaim sebagai kebenaran secara umum, merupakan peta makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu. Di atas itu semua, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah sesuatu hal yang luar biasa yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan ‘agama yang secara duniawi dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara pengertian dunia dan norma tindakan terkait’ (Sary, 2013: 5).
Ideologi sebagai 'kesadaran palsu' pada awalnya dipahami sebagai suatu yang bernilai negatif, karena ia memungkiri realitas, menafikan konflik-konflik kelas dengan menyelubunginya dengan wacana-wacana yang menindas. Barulah di tahap perkembangan selanjutnya, ideologi dipakai untuk membekali perjuangan kelas. Caranya, dengan menetapkan kontra wacana terhadap sejumlah wacana menindas yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis (Sary, 2013: 5).
Menurut Marxis ideologi adalah sistem keyakinan yang mensahkan sistem produksi berbasis kelas yang membuatnya seolah benar dan adil atau mengaburkan kenyataan atas akibat-akibat dari kesadaran orang. Dalam pandangan Marxis cara yang paling efektif untuk menjadikan mereka tunduk adalah melalui pikiran mereka sendiri yakni gagasan dan keyakinan mereka. Gagasan keyakinan dan nilai-nilai itu bertindak sebagai ideologi, memelihara struktur yang ada, yang tanpa dukungan ideologi itu struktur itu akan runtuh (Sary, 2013: 5).
Sedangkan menurut P.Ricoeur ideologi dipahami sebagai “fungsi pengambilan jarak yang memisahkan ingatan sosial akan suatu peristiwa untuk diingat, diulangi dan diaktualisasikan; perannya tidak hanya menyebarkan suatu keyakinan kepada mereka yang berada di luar lingkaran para bapa pendiri, tetapi juga untuk melenggangkan energi awal sampai pada masa-masa sesudahnya. Ideologi berperan sebagai perantara peristiwa pendiriannya dan keberadaannya sekarang dan yang akan datang. Ideologi dianggap sebagai gejala umum pemikiran manusia: pembentuk gagasan-gagasan dan strukturasi tindakan. Ideologi seperti motivasi pada tataran proyek pribadi, sedangkan ideologi adalah motivasi bagi praktis sosial. Maksudnya motivasi adalah apa yang sekaligus memberikan pembenaran dan yang mendorong. Ideologi mendorong untuk menunjukkan bahwa kelompok sosial yang diyakininya mempunyai alasan untuk ada (Sary, 2013: 5-6).
   Dalam Prison Notebooks, Gramsci memakai berbagai istilah yang menurutnya ekuivalen dengan ideologi seperti kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau konsepsi mengenai dunia, demikian pula istilah ‘reformasi moral dan intelektual’ ketika ia membicarakan transformasi kesadaran sebagai prasyarat perbaikan menuju sosialisme. Terdapat juga aspek penting lain dari watak material ideologi. Praktik ideologi mempunyai agen-agennya sendiri dalam bangunan kaum intelektual yang mana mereka itu menkhususkan diri dalam menjabarkan ideologi-ideologi organik dan mengemban tugas melaksanakan reformasi moral dan intelektual (Simon, 2004: 84-85).
Bagi Gramsci, ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus dinilai dari ‘kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu wadah, dan dalam perannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial. Suatu kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan kepentingan-kepentingan dari suatu kelas, kelompok dan gerakan-gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri dengan tujuan membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional (Simon, 2004: 87).
Terdapat dua poin penting yang muncul dari prinsip bahwa sebuah kelas yang ingin bergerak maju menjadi hegemoni perlu membangun sistem ideologi yang dapat bertindak sebagai pondasi yang bisa mengikat dan menyatukan berbagai kelompok kekuatan sosial.
Pertama, suatu kelas tidak akan memperoleh hegemoni hanya semata-mata dengan menerapkan pandangannya sendiri terhadap semua kelas atau  kelompok sosial lainnya. Perlu kiranya menekankan kembali hal ini karena konsep Gramsci tentang hegemoni seringkali dipahami dengan adanya penerapan ideologi suatu kelas ke dalam kelas-kelas lain. Sebaliknya, kecendrungan untuk mereduksi ideologi menjadi instrument kelas akan mengarah kepada ekonomisme yang mana hal ini ditentang keras oleh Gramsci.  Kedua, sistem ideologi baru tidak bisa dibuat sekali jadi sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin partai politik. Namun, ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui perjuangan politik dan ekonomi, dan karakternya akan bergantung pada hubungan berbagai kekuatan yang ada selama masa ketika ia dibangun. Ini merupakan salah satu aspek dari strategi revolusioner yang oleh Gramsci disebut sebagai perang posisi (war of position), yang berlangsung ketika kelas pekerja membangun blok kekuatan sosial yang dilandasi oleh konsepsi yang sama mengenai dunia, sehingga tidak memasukkan kelas kapitalis dan mengeluarkannya dari kelompok dan dukungannya yang telah mereka peroleh dengan memasukkan tema-tema nasional kerakyatan ke dalam sistem ideologinya sendiri  (Simon, 2004: 90-91).
c.       Pemikiran Awam (Common Sense)
Menurut Gramsci pemikiran awam (common sense), yaitu cara pemahaman seseorang yang tidak kritis dan seringkali tidak sadar terhadap dunia; dan ia berkata bahwa ‘semua orang adalah filosof’ karena semua manusia mempunyai konsepsi tentang dunia, atau pandangan dunia (Simon, 2004: 92). Common sense, bagi Gramsci merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasif tetapi tidak sistematik. Common sense itu mempunyai dasar dalam pengalaman populer tetapi tidak merepresentasikan suatu konsepsi yang terpadu mengenai dunia seperti halnya filsafat. Filsafat merupakan catatan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan common sense (Faruk, 2010: 145-146). Seseorang bisa dikatakan mempunyai dua kesadaran teoritis, ‘pertama kesadaran yang bersifat implisit dalam aktifitasnya dan yang dalam realitas menyatu dengan orang-orang lain dalam transformasi dunia nyata yang bersifat praktis; dan kedua, bersifat eksplisit atau verbal, yang diwarisi manusia dari masa lampau tanpa sikap kritis’ (Simon, 2004: 92).
Gramsci memakai istilah pemikiran awam (common sense) untuk menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia. Pemikiran awam tidak harus dilihat dalam pengertian yang negatif semata-mata; ia juga mempunyai unsur-unsur positif, dan aktifitas praktis mereka, perlawanan mereka terhadap penindasan, mungkin sering berlawanan dengan gagasan sadar mereka. Pemikiran awam merupakan tempat dibangunnya ideologi, juga menjadi tempat perlawanan terhadap ideologi itu (Simon, 2004: 27).
Melalui common sense-lah para pekerja, yang mencoba hidup di bawah kapitalisme, mengorganisir pengalaman mereka. Common sense adalah tempat di mana ideologi yang dominan dibangun, tetapi juga menjadi tempat perlawanan dan tantangan bagi ideologi tersebut. Gramsci menekankan bahwa konsensus  yang diperoleh melalui hegemoni kaum borjuis adalah konsensus aktif, bukan ketundukan pasif. Konsensus itu tidak dipaksakan; namun diperoleh melalui perpaduan berbagai kekuatan dalam sebuah proses kompleks di mana subordinasi dan resistensi para pekerja itu terbentuk dan muncul kembali (Simon, 2004: 92-93).
Tugas teori Marxis adalah menjadi kritik bagi common sense, dan memungkinkan masyarakat mengembangkan inti-inti positifnya yang oleh Gramsci disebut good sense menjadi pandangan yang lebih koheren. Di samping itu, ia menekankan dalam karyanya Prison Notebooks bahwa ‘ini bukanlah masalah bagaimana mengintrodusir bentuk pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan setiap orang yang dimulai dari awal, namun merupakan upaya memperbaiki dan mengkritisi aktifitas yang telah ada’ (Simon, 2004: 93).
d.      Kaum Intelektual
Gramsci memberikan definisi mengenai kaum intelektual, yaitu semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan.
Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci, penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran, kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan, dan sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu kaum intelektual. (Faruk, 2010: 150).
Pandangan Gramsci tentang kaum intelektual dikemukakan dalam dua catatan yang diletakkan pada bagian awal Prison Notebooks. Ia menolak apa yang disebutnya pandangan tradisional dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof dan seniman (termasuk jurnalis, yang mengaku sebagai sastrawan dan filosof, dan menganggap diri mereka sebagai intelektual ‘sejati’). Intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, namun oleh fungsi yang mereka jalankan. “Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual” (Simon, 2004: 141).
Dalam dunia superstruktur, kaum intelektual menampilkan fungsi ‘organisasional dan koektif’ baik di dalam wilayah masyarakat sipil atau hegemoni dan wilayah masyarakat politik atau negara (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 158).
The intellectuals are the dominant group’s “deputies” exercising the subaltern functions of social hegemony and political government. These comprise:
1.     The “spontaneous” consent given by the great masses of the population to the general direction imposed on social life by the dominant fundamental group; this consent is “historically” caused by the prestige (and consequent confidence) which the dominant group enjoys because of its position and function in the world of production.
2.     The apparatus of state coercive power which “legally” enforces discipline on those groups who do not “consent” either actively or passively. This apparatus is, however, constituted for the whole of society in anticipation of moments of crisis of command and direction when spontaneous consent has weakened (Gramsci, 1999: 145).

(Kaum intelektual merupakan ‘deputi’ dari kelompok dominan yang menjalankan fungsi khusus dari hegemoni sosial dan pemerintahan sosial. Hal ini mencakup:
1.      Persetujuan ‘spontan’ yang diberikan oleh populasi massa yang besar kepada kepemimpinan umum yang dilakukan kelompok dominan atas kehidupan sosial; pesetujuan ini bersifat ‘historis’ disebutkan oleh prestise (dan kepercayaan diri yang konsekuen) dimana kelompok dominan menikmatinya karena posisi dan fungsi mereka dalam dunia produksi.
2.      Aparat kekerasan Negara yang secara ‘legal’ memaksakan disiplin pada kelompok-kelompok ini pada siapa yang tidak ‘setuju’ baik secara aktif maupun pasif. Aparatus ini, bagaimanapun juga, digunakan untuk seluruh masyarakat sebagai antisipasi dalam momen krisis dai kepemimpinan atau manakala persetujuan spontan telah melemah (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 158).

Terdapat dua kelompok intelektual menurut Gramsci, yaitu kaum intelektual ‘organik’ dan kaum intelektual ‘tradisional’. Setiap kelas menciptakan satu atau lebih strata intelektual “yang memberinya kesamaan dan kesadaran akan fungsi mereka sendiri bukan hanya dalam bidang ekonomi namun juga dalam bidang sosial dan politik”. Intelektual tidak membentuk sebuah kelas namun setiap kelas mempunyai intelektualnya sendiri. Demikianlah, kaum kapitalis menciptakan manajer industri dan teknisi, ekonom, pegawai negeri, dan organisator kebudayaan baru dari suatu sistem hukum baru. Gramsci menyebut intelektual organik ini sebagai kelompok yang berbeda dari intelektual tradisional. Setiap kelas yang baru lahir menemukan kategori-kategori kaum intelektual yang pernah ada; intelektual tradisional nampaknya mewakili kelanjutan sejarah dan cenderung menempatkan mereka di garis depan sebagai kelas yang berkuasa, otonom dan independen.
1)            Intelektual Tradisional
Gramsci mengatakan bahwa “salah satu karakter penting dari suatu kelas yang sedang tumbuh adalah perjuangannya untuk berasimilasi dan menundukkan intelektual tradisional ‘secara ideologis’ ”. Contoh dari intelektual tradisonal adalah para rohaniawan yang berperan sebagai intelektual organik dari aristokrasi feudal, dan mereka ini sudah ada ketika kaum borjuis mulai menaiki tangga kekuasaan. Contoh kedua yang diberikan Gramsci adalah intelektual yang bercorak pedesaan, pendeta, pengacara, dokter, dan pegawai negeri. Mereka itu adalah intelektual tradisional karena terbatas pada lingkungan kaum tani dan borjuis kota yang kecil, “belum meluas dan tergerak oleh sistem kapitalis” (Simon, 2004: 84-85).
Menurut Gramsci, tugas intelektual tradisional adalah segara memutuskan ketidakmenentuan sikap dan bergabung bersama klas-klas yang revolusioner. Intelektual harus secara organis berhubungan dengan klas buruh, menjadi bagian dari organisasi yang memang menyediakan kepemimpinan untuk kelas tertindas itu (Patria dan Arief, 2003: 163).
Pandangan alternatif dikemukakan oleh para penyunting Prison Notebooks. Mereka mengatakan bahwa intelektual tradisional “menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial dominan yang otonom dan independen” dan mendefinisikannya sebagai “orang-orang yang kedudukannya dalam masyarakat mempunyai lingkaran inter-kelas tertentu.” Namun ini adalah pendekatan subyektif karena mendefinisikan golongan masyarakat dengan pandangan mereka yang pilih sendiri (Simon, 2004: 143-144).
2)            Intelektual Organik
Kaum intelektual organik adalah intelektual dan para organisator politik dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petani-petani kaya atau manajer perumahan, penguasa komersial dan industri, dan sebagainya. Kaum intelektual organik menyadari bahwa identitasnya dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan “barisan terdepan yang riil dari organik dari lapisan kelas papan atas yang di situ mereka masuk di dalamnya”. Dengan adanya kondensasi dan pemusatan itu, mereka mempunyai daya tarik kuat dalam semua kalangan intelektual (Gramsci dalam Simon, 2004: 144).
Kelompok intelektual organik dan tradisional itu terpisah, tetapi secara historis dapat saling bertumpang tindih. Apa yang penting dalam hal ini adalah bahwa sifat hubungan antar kelompok itu akan sangat memengaruhi sifat hegemoni yang ada; apakah ada konflik dan stabilitas antar mereka, ataukah ada pertalian politis dan kultural antara keduanya (Faruk, 2010: 150).
Menurut Gramsci, intelektual organik langsung berhubungan dengan cara produksi yang dominan:
Every social group, coming into existence on the original terrain of an essential function in the world of economic production, creates together with itself, organically, one or more strata of intellectuals which give it homogeneity and an awareness of its own function not only in the economic but also in the social and political fields. The capitalist entrepreneur creates alongside himself the industrial technician, the specialist in political economy, the organisers of a new culture, of a new legal system, etc. (Gramsci, 1999: 135).

(Setiap kelas sosial, yang muncul dari basis produksi ekonomi, menciptakan sendiri kelompok atau kelompok-kelompok intelektual yang memberikan homogenitas serta kesadaran akan fungsinya, bukan hanya dalam lapangan ekonomi namun juga dalam lapangan sosial dan politik. Para entrepreneur kapitalis menciptakan sendiri teknisi industrial, ekonom politik, para agen pembentuk kebudayaan baru, pembentuk hukum baru, dan lain-lain (Gramsci Patria dan Arief, 2003: 160).

Tipe intelektual organik  mengakui hubungan mereka dengan kelompok sosial tertentu dengan memberikannya homogenitas serta kesadaran tentang fungsinya, bukan hanya di bidang ekonomi tetapi juga di bidang sosial politik. Intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kelas tertentu bisa jadi berasal dari kelas borjuis dan memihak mereka, bisa juga berasal dari kelas buruh dan pabrik kepada perjuangan buruh itu. Kelompok ini berpenetrasi sampai ke massa. Memberikan mereka sebuah pandangan dunia baru dan menciptakan kesatuan antara bagian bawah dan atas (Patria dan Arief, 2003: 144).
e.       Negara
Tafsir Gramsci tentang negara adalah sesuatu yang kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Negara dalam perspektif Gramsci ini tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintahan, melainkan juga aparat-aparat hegemoni atau masyarakat sipil (Kurniawan, 2007: 7).
Negara dengan demikian merupakan ‘sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa’ dan sebagai ‘alat resepsi oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya’. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan kekuasaannya (Kurniawan, 2007: 7).
Gramsci membedakan dua wilayah dalam negara, yaitu, masyarakat sipil dan masyarakat politik. Masyarakat sipil penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan”, “kehendak bebas”, sedangkan masyarakat politik merupakan dunia kekerasan, pemaksaan, dan intervensi. Meskipun demikian kedua dunia tersebut termasuk dalam konsep negara dalam pengertian khusus. Negara bagi Gramsci tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat hegemoni atau masyarakat sipil. Negara dalam kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintahnya (Faruk, 2010: 152-153).
Negara dengan demikian merupakan ‘sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa’ dan sebagai ‘alat resepsi oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya’. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan kekuasaannya.
Menurut Gramsci, masyarakat sipil (civil society) adalah faktor kunci untuk memahami perkembangan kapitalis, meskipun oleh Marx ia dipahami sebagai struktur (hubungan-hubungan produksi). Disisi lain, Gramsci melihat itu sebagai superstruktur yang mewakili faktor aktif dan positif dari perkembangan sejarah. Ia merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideologi yang kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan itu menjadi fokus analisa yang lebih daripada struktur (Patria dan Arief, 2003: 135-136).
Dalam upaya memisahkan negara (political society) dan masyarakat sipil (civil society), Gramsci memulai dengan tiga batas konseptualisasi dalam membicarakan hegemoni. Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial yang membentuk garis dasar konseptualisasi hegemoni. Ketiga batasan tersebut adalah ekonomi, negara dan masyarakat sipil. Penekanan pada tiga hal inilah yang sesungguhnya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan pemikir marxis lainnya (Bockock dalam Patria dan Arief, 2003; 136-137).
Ekonomi, sebagai batas konseptualisasi yang pertama, merupakan sebuah batasan yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan klas-klas sosial dalam arti kepemilikan produksi.
Selanjutnya yang kedua, yaitu batasan negara, merupakan batasan yang berarti tempat munculnya praktek-praktek kekerasan (polisi dan aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara. Oleh Gramsci, birokrasi negara dalam konteks ini diidentifikasikan sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi pendidikan.
Batasan ketiga yaitu masyarakat sipil, menurut Gramsci berarti batasan yang menunjuk pada organisasi lain di luar negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar batasan di atas. Sebagai komponen utama masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah institusi religius (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 137).
Gramsci mempertentangkan beberapa definisi negara dalam bagian pemaksaan secara legal. Negara digambarkan sebagai polisi, negara penjaga malam dan lain sebagainya. Juga beberapa perbandingan perumusan negara untuk mengartikan sebuah negara yang fungsi-fungsinya dibatasi untuk melindungi perintah-perintah dan untuk menghormati hukum-hukum (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 138).
Kesemua itu, bagi Gramsci merupakan ideologi yang menggambarkan bahwa negara tidak dapat mengutamakan sebuah kemurnian tahap korporasi ekonomi. Berdasarkan itu semua, maka ideologi liberal menutupi kenyataan bahwa kekuasaan negara adalah kekuasaan klas. Sebuah kebiasaan dalam ideologi liberal adalah bahwa untuk sebuah negara akan tampak seperti permulaan sejarah ke arah masyarakat sipil dimana bermacam-macam kekuatan muncul dan bermain disana. Karena itu negara hanya berfungsi sebagai penjaga permainan bebas dan aturan-aturan permainan (Patria dan Arief, 2003: 138-139).
Pada dasarnya Gramsci mendefinisikan negara, dengan dua pokok batasan. Pertama, dalam pengertian ‘terbatas’. Kedua, negara diartikan dengan ‘diperluas’. Kedua konsep itu secara bersamaan dielaborasi olehnya di dalam penjara. Dalam masalah ini Gramsci memakai penjelasan yang dominan dalam gagasannya tentang negara:
(haruslah dicatat bahwa pandangan umum tentang negara mencakup unsur-unsur yang harus dirujuk ulang pada pandangan tentang masyarakat sipil (dalam pengertian ini orang akan mengatakan bahwa negara = masyarakat politik + masyarakat sipil. Atau dalam kata lain, hegemoni yang dilindungi oleh kekerasan bersenjata) (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 139).

Kemudian pada saat yang sama Gramsci membuat perbedaan metodologis dalam rangka menjelaskan segi yang berbeda dari realitas negara:
(Apa yang dapat kita lakukan untuk momen itu adalah menetapkan “tingkatan” besar superstruktur: satu tingkatan bias disebut ‘mayarakat sispil’, yakni kumpulan organism yang lazim disebut ‘privat’, dan ‘masyarakat politik’ atau ‘negara’. Kedua tingkatan ini berkesesuaian di satu pihak dengan fungsi ‘hegemoni’, yang dilaksanakan kelompok dominan pada seluruh masyarakat, dan pihak lain, dengan ‘dominasi langsung’, yang diekspresikan melalui negara dan pemerintahan yuridis) (Gramsci dalam Patria dan Arief, 2003: 137).
Perry Anderson membagi hubungan Gramsci dalam tiga model, pembagian semacam ini pada dasarnya dimaksudkan semata-mata guna memudahkan analisis, pada kenyataannya ketiga model itu bertumpang tindih dalam masyarakat. 
Menurut Anderson, model pertama hegemoni Gramsci adalah menyangkut kebudayaan dan kepemimpinan moral, yang dilaksanakan dalam masyarakat sipil. Dalam model ini negara menempatkan kekuasaan koeresi dalam bentuk polisi dan angkatan bersenjata; secara ekonomi negara juga mengatur disiplin-disiplin kerja serta kontrol moneter.
Dalam model kedua, Anderson melihat hegemoni digerakkan dalam negara sebagaimana halnya yang digerakkan dalam masyarakat sipil. Pada titik ini ia melihat pentingnya peran pendidikan dan lembaga-lembaga hukum dalam menjalankan hegemoni. Sedangkan pada model ketiga, menurut Anderson perbedaan antara negara dan masyarakat sipil dihilangkan secara bersamaan. Disini Gramsci mendefinisikan negara sebagai political society ditambah civil society (Anderson dalam Patria dan Arief, 2003: 142-143).
Selain itu menurut Gramsci, terdapat sebuah konsep baru mengenai negara yakni konsep ‘negara integral atau negara yang diperluas’. Ketumpangtindihan antara kedudukan negara dan masyarakat sipil diselesaikan dalam konsep negara integral. Menurut Anderson, perbedaan antara negara dan masyarakat sipil dibatalkan. Negara integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik, negara integral merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan koersi hegemoni, sekalipun bekerja di tingkat kesadaran namun dia selalu didampingi oleh langkah koersi. Jadi negara integral merupakan masyarakat politik ditambah masyarakat sipil (Patria dan Arief, 2003: 143-144).
Patria dan Arief menyimpulkan bahwa negara integral memiliki dua aspek. Pertama, alat-alat kekerasan (means of coercion). Kedua, alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means of establishing hegemonic leadership) seperti pendidikan, agama, media, penerbitan dan lain-lain (Patria dan Arief, 2003: 144).
‘Alat kekerasan’ terdiri dari alat-alat paksa dan represi negara sementara ‘alat pendirian kepemimpinan hegemonis’ merujuk pada institusi dalam formasi sosial yang bukan bagian dalam proses produksi ekonomi material juga bukan menjadi bagian dari organisasi negara. Organisasi dalam wilayah kepemimpinan hegemonis ini bekerja dan hidup diluar wilayah dua kekuatan itu. Seperti, organisasi komunikasi, olah raga, perkumpulan pemuda, dan sebagainya (Patria dan Arief, 2003: 144).
Pada dasarnya secara sederhana seringkali disebutkan bahwa hegemoni itu bekerja pada lapangan budaya, bergerak ditingkat kesadaran. Namun walaupun demikian jangan dianggap bahwa aparat koersi sudah tidak bekerja lagi. Dalam prakteknya antara hegemoni dan koersi terus berjalan secara ‘berdampingan’. Meskipun demikian, negara integral berbeda dengan negara totaliter. Negara totaliter tidak ada unsur sukarela tetapi sebagai paksaan, sementara negara integral masih menyediakan peluang untuk menghasilkan persetujuan yang sukarela dan tanpa dipaksa (Patria dan Arief, 2003: 144).
Dalam persoalan perluasan negara, pandangan serupa diajukan oleh Buci-Glucksman melalui perluasan negara. Hanya saja, Buci-Glucksman secara eksplisit memperlihatkan dua perbedaan konsep negara, atau lebih tegasnya dua momen dalam penegasan lapangan negara. Kedua konsep tersebut adalah: pertama, negara dalam pemahaman sempit, dan kedua adalah negara dalam pemahaman luas. Negara integral sama dengan hegemoni yang dilindungi aparat kekerasan (Buci-Glucksman dalam Patria dan Arief, 2003: 144-145).
Dalam pemahaman sempit, negara identik dengan pemerintahan, aparat kediktatoran klas dengan pemaksaan dan fungsi-fungsi ekonomi. Klas dominasi melaksanakan aparat negara dalam pemahaman klasik seperti pasukan, polisi, administrasi, dan birokrasi. Pemaksaan fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari peraturan adaptasi dan edukasi negara, salah satunya berupaya untuk mencapai kelayakan yang memadai antara aparat produksi dan moralitas umum dari massa rakyat (Patria dan Arief, 2003: 146).
Dalam negara secara luas atau juga disebut negara integral, Gramsci menganggap bahwa semua arti intelektual klas dan kepemimpinan moral atas masyarakat menyebabkan munculnya cara khusus dalam mengatur untuk merealisasikan hegemoni dalam nilai keseimbangan kompromi guna melindungi kekuasaan politik, terutama dalam sebuah krisis revolusioner.
Selanjutnya, Gramsci mengatakan bahwa negara merupakan sejumlah aktivitas praktek dan teori yang kompleks, dalam hal ini klas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasi, tetapi mengaturnya untuk memenangkan pemaksaan aktif terhadap kekuatan di luarnya (Patria dan Arief, 2003: 146).