Nama : Nursyam
NIM : 1151140007
Prodi : Sastra Indonesia
Materi : Perkembangan Seni Teater dan Drama________________________________
A.
Seni Teater
Dalam sejarah, seni teater tercatat dimulai sejak jauh sebelum
tahun 500 SM. Pada awalnya, Teater hanya dilakoni sebagai sebuah upacara ritual
keagamaan ribuan tahun sebelum Masehi. Beberapa bangsa kuno yang memiliki
peradaban maju, seperti bangsa Maya di Amerika Selatan, Mesir Kuno, Babilonia,
Asia Tengah, dan Cina, menggunakan bentuk teater sebagai salah satu cara untuk
berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Biasanya yang mendalangi seluruh upacara
ritual itu adalah dukun atau pendeta agung.
Sejarah mencatat, seni teater berfungsi hanya sebagai
upacara ritual (keagamaan), melainkan berfungsi pula sebagai kesenian atau
hiburan. Peristiwa teater yang mensyaratkan kebersamaan, saat, dan tempat,
tetaplah menjadi persyaratan utama kehadiran teater sejak ribuan tahun sebelum
Masehi, sehingga pada zaman Yunani teater pun selalu hadir dengan persyaratan
yang serupa. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesuatu
dapat disebut teater jika ada keutuhan tiga kekuatan, berupa: orang teater,
tempat, dan komunitas (penonton). Tiga kekuatan inilah yang bertemu dan
melahirkan sinergi dan melahirkan “peristiwa teater”.
Dalam
sejarah, seni teater pada zaman Yunani dikenal sebagai zaman yang melembagakan
konvensi berteater yang masih memiliki pengaruh sampai sekarang. Mantra-mantra
yang mulanya hanya lisan dan tak tertulis, berlangsung menjadi naskah tertulis,
sementara doa-doa berubah bentuknya menjadi kisah atau lakon. Yunani melahirkan
tokoh penelitian naskah drama, antara lain Aeschylus (525-456 SM), Sophocles
(496-406 SM), Euripides (480-406 SM), dan Aristophanes (sekitar 400 SM). Mereka
adalah bapak moyang para peneliti naskah drama.
Pada
perkembangan sejarah seni teater berikutnya, upacara keagamaan lebih
menonjolkan penceritaan. Sekelompok manusia bergerak mengarak seekor kambing
yang sudah didandani dengan berbagai perhiasan. Mereka menggiring persembahan
itu mengelilingi pasar atau jalan raya diiringi bunyi tambur, seruling, dan
bunyi-bunyian lain. Iring-iringan itu memperlambat jalannya, apabila penonton
bertambah atau berhenti untuk memberi kesempatan kepada narator (pencerita)
yang mengisahkan suatu peristiwa. Narator mengisahkan salah satu dewa kepada
penonton yang berderet-deret di pinggir jalan atau berdiri mengerumuninya.
Kata
tater atau drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti seeing Place (Inggris). Tontonan drama
memang menonjolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (aktif) di
panggung. Percakapan dan gerak-gerik itu memperagakan cerita yang tertulis
dalam naskah. Dengan demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati
cerita tanpa harus membayangkan.
Teater
sebagai tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan
bahwa teater sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini didasarkan temuan naskah
teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM.
Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.
Lahirnya
adalah bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama, lambat
laun upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian,
puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang,
selanjutnya upacara keagamaan lebih menonjolkan penceritaan.
a. Teater rakyat, yaitu teater yang didukung oleh
masyarakat kalangan pedesaan ,bentuk teater ini punya karakter bebas tidak
terikat oleh kaidah-kaidah pertunjukan yang kaku, sifat nya
spontan,improvisasi. Contoh : lenong, ludruk, ketoprak dll.
b. Teater Keraton, yaitu Teater yang lahir dan
berkembang dilingkungan keraton dan kaum bangsawan. Pertunjukan dilaksanakan
hanya untuk lingkungan terbatas dengan tingkat artistik sangat tinggi,cerita
berkisar pada kehidupan kaum bangsawan yang dekat dengan dewadewa . Contoh:
teater Wayang.
c. Teater Urban atau kota-kota. Teater ini Masih membawa idiom bentuk rakyat dan keraton . teater jenis ini lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru, sebagai fenomena modern dalam seni pertunjukan di Indonesia.
d. Teater kontemporer, yaitu teater yang menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe melainkan sebagai individu . dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh dengan kreatifitas yang tanpa batas. Pendukung teater ini masih sedikit yaitu orang-orang yang menggeluti teater secara serius mengabdikan hidupnya pada teater dengan melakukan pencarian, eksperimen berbagai bentuk teater untuk mewujudkan teater Indonesia masa kini.
Berikut ini adalah sejarah perkembangan teater di Indonesia:
c. Teater Urban atau kota-kota. Teater ini Masih membawa idiom bentuk rakyat dan keraton . teater jenis ini lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru, sebagai fenomena modern dalam seni pertunjukan di Indonesia.
d. Teater kontemporer, yaitu teater yang menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe melainkan sebagai individu . dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh dengan kreatifitas yang tanpa batas. Pendukung teater ini masih sedikit yaitu orang-orang yang menggeluti teater secara serius mengabdikan hidupnya pada teater dengan melakukan pencarian, eksperimen berbagai bentuk teater untuk mewujudkan teater Indonesia masa kini.
Berikut ini adalah sejarah perkembangan teater di Indonesia:
1). Teater
Tradisional
Kasim
Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater
tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada
tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk
mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu
upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan
masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru
merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater
yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater
tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat
dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Macam-macam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Macam-macam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
2). Teater
Transisi (Modern)
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok
teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena
pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater
tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat,
dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah
mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story
(garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan
panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.
Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater
non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional
berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda
di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi
(Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang
Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan
masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu
mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya
secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada
saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon.
3). Teater
Indonesia tahun 1920-an.
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern
Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah
drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan
unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis
sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan
pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun
1930-an. Penulis lakon, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan
Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes
(1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti
Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan
Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris
Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong.
Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan
tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai
negara merdeka.
4). Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan
kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung
pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di
arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam
situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara
dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian
Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan
perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam
wujud kesenian nasional Indonesia.
5). Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah tokoh kemerdekaan,
peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokoh
kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan,
kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan,
kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan
pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokohg secara khas dilukiskan dalam lakon
Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951),
Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin,
1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang
bercerita tentang kekecewaan paska tokohg, seperti korupsi, oportunisme
politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan
penderitaan korban tokohg, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon
seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang
Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja
(1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali
(1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy.
6). Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Adi Limas mendirikan
Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan
unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan
dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai
dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya
penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton
Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie
(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun
1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya
longser, teater rakyat Sunda.
7). Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi
politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di
tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat
peristiwa Malari 1974.
Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir
beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di
Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival
Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival
Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik
Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh
Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
8). Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer
Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya
eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan
dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak
tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun
seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus
juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater
dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang
lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan
bentuk garap semakin banyak.
Seni teater Tradisional Indonesia:
(1). Wayang
Wayang dikenal sejak zaman
prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia
memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut
hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
(2). Makyong
Makyong adalah seni teater
tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering
dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Makyong dipengaruhi
oleh budaya Hindu-Buddha Thai dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak
hyang, nama lain untuk dewi sri, dewi padi.
(3). Gong
Gong adalah sebuah bentuk
seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan
jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan
unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan
pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional
(Bali). Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali
masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik".
(4). Randai
Randai adalah kesenian
(teater) khas masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh
beberapa orang (berkelompok atau beregu). Randai dapat diartikan sebagai
“bersenang-senang sambil membentuk lingkaran” karena memang pemainnya berdiri
dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah yang panjangnya lima sampai
delapan meter. Cerita dalam randai, selalu mengangkat cerita rakyat
Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan
cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat
Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka berhasil menangkaprusa yang keluar
dari laut.
(5). Mamanda
(5). Mamanda
Mamanda adalah seni teater
atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding
dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi
hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat
penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir
dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
(6). Longser
Longser merupakan salah
satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari
akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet (tergugah) yang
artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan
tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger.
Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater tradisional yang
disebut lengger.
(7). Ketoprak
Ketoprak merupakan teater
rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa
Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah
tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka
dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Kata
‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari
prak.
(8). Ludruk
Ludruk merupakan salah
satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang
umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama
tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan
disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari
(cerita wong cilik), cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi
dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
(9). Lenong
Lenong adalah seni
pertunjukan teater tradisional masyarakat Betawi, Jakarta. Lenong
berasal dari nama salah seorang Saudagar China yang bernama Lien Ong. Konon,
dahulu Lien Ong lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan teater yang
kini disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta
keluarganya.
(10). Ubrug
Ubrug di Pandeglang
dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan
oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang
berarti campur aduk dalam satu lokasi.
Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsur lakon, musik,
tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan secara komedi. Bahasa yang
digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan
Melayu (Betawi).
B. Seni Drama
Drama berasal dari kata
Yunani, draomai yang berarti berbuat, bertindak, bereaksi, dan
sebagainya. Jadi, kata drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan.
Seraca umum, pengertian drama
adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog dengan maksud
dipertunjukkan oleh aktor. Pementasan naskah drama dikenal dengan istilah teater.
Dapat dikatakan bahwa drama berupa cerita yang diperagakan para pemain di
panggung. Selanjutnya, dalam pengertian kita sekarang, yang dimaksud drama
adalah cerita yang diperagakan di panggung berdasarkan naskah. Pada umumnya,
drama mempunyai dua arti, yaitu drama dalam arti luas dan drama dalam arti
sempit. Dalam arti luas, pengertian
drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, pengertian drama adalah kisah hidup
manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung.
Sejarah
drama sebagai
tontonan sudah ada sejak zaman dahulu. Nenek moyang kita sudah memainkan drama
sejak ribuan tahun yang lalu. Bukti tertulis yang bisa dipertanggung jawabkan
mengungkapkan bahwa drama sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini didasarkan
temuan naskah drama kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup
antara tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada
dewa-dewa. Sejarah lahirnya drama di Indonesia tidak jauh berbeda dengan
kelahiran drama di Yunani. Keberadaan drama di negara kita juga diawali dengan
adanya upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh para pemuka agama. Intinya,
mereka mengucapkan mantra dan doa.
Ada beberapa jenis drama tergantung dasar yang
digunakannya. Dalam pembagian jenis
drama, biasanya digunakan tiga dasar, yakni: berdasarkan penyajian lakon
drama, berdasarkan sarana, dan berdasarkan keberadaan naskah drama. Berdasarkan
penyajian lakon, drama dapat dibedakan menjadi delapan jenis, yaitu:
v Tragedi: drama yang penuh dengan kesedihan
v Komedi: drama penggeli hati yang penuh
dengan kelucuan.
v Tragekomedi: perpaduan antara drama tragedi dan
komedi.
v Opera: drama yang dialognya dinyanyikan
dengan diiringi musik.
v Melodrama: drama yang dialognya diucapkan
dengan diiringi melodi/musik.
v Farce: drama yang menyerupai dagelan,
tetapi tidak sepenuhnya dagelan.
v Tablo: jenis drama yang mengutamakan
gerak, para pemainnya tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan
gerakan-gerakan.
v Sendratari: gabungan antara seni drama dan seni
tari.
Berdasarkan sarana
pementasannya, pembagian jenis drama
dibagi antara lain:
Ø Drama
Panggung: drama yang
dimainkan oleh para aktor dipanggung.
Ø rama
Radio: drama radio
tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya bisa didengarkan oleh penikmat.
Ø Drama
Televisi: hampir sama
dengan drama panggung, hanya bedanya drama televisi tak dapat diraba.
Ø Drama
Film: drama film
menggunakan layar lebar dan biasanya dipertunjukkan di bioskop.
Ø Drama
Wayang: drama yang
diiringi pegelaran wayang.
Ø Drama
Boneka: para tokoh
drama digambarkan dengan boneka yang dimainkan oleh beberapa orang.
Unsur-unsur
dalam Drama:
unsur paling pokok dalam
sebuah drama ada empat, yaitu:
v lakon (naskah drama atau
text play),
v pemain (aktor atau
aktris),
v tempat (gedung pertunjukan),
v penonton.
Unsur lakon memegang peranan penting
karena pemain tanpa
lakon jelas tidak dapat
membuat drama. Begitu pun tempat saja tanpa lakon
tidak
akan menghasilkan drama.
Referensi:
Asul Wiyanto, 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: PT Grasindo.
Goenawan Mohamad, 2000. Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
N. Riantiarno, 2003. Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar Teater Kita.
Jakarta: MU.
Radhar Panca Dahana, 2000. Homo Teatericus dan Sejumlah Esai. Magelang:
Indonesia Tera.
Rahmanto, B. Selasa, 2011. Sejarah Perkembangan Drama dan Teater Indonesia.
http//Rahmanto.com.2011/0208//sejarah-perkembangan-Drama-dan-Teater- Indonesia/.(online). Diakses tanggl
5 Desember 2013 pukul 22.55 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar