Sejarah Awal
Masuknya Sastra Modern ke Hindia Belanda.
Perkembangan
sastra Indonesia ketika sumpah pemuda dicetuskan tahun 1928. Masa itu adalah
suatu momentum penting dalam sejarah sastra Indonesia karena pada saat itu
bahasa indonesia diresmikan sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Sumpah
pemuda merilis pemakaian bahasa tulis yang baku yang berbeda dengan penggunaan
dalam naskah-naskah bahasa Melayu.
Bahasa
Indonesia merupakan bentuk penyempurnaan dari bahasa Melayu yang dalam
perkembangannya banyak menyerap bahasa asing dan bahasa daerah. Lahirnya sastra
Indonesia abad XX ditandai dengan dibentuknya Balai Pustaka oleh gubernemen
Hindia Belanda di Jakarta tahun 1908. Kehadiran Balai Pustaka ini telah membawa
angin segar dalam sejarah awal sastra Indonesia modern meskipun buku-bukunya
merupakan terbitan dari Balai Pustaka bahasa Melayu (Riau) yang ditetapkan
sejak 1901 oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Pada awalnya
Balai Pustaka mencetak ulang buku-buku Hikayat, seperti cerita-cerita binatang
dan cerita dongeng. Sejak tahun 1918, Balai Pustaka mulai melakukan
pembaharuan. Balai Pustaka mendirikan Lembaga Sidang Pengarang untuk menyaring
karya-karya yang masuk terkhusus pada taraf penilaian bahasa.
Dengan adanya
lembaga Sidang Pengarang tersebut, maka karangan-karangan hasil terbitan Balai
Pustaka lebih variatif. Selain itu, Balai Pustka juga mempunyai komisse vor de
Volkslektuur yang bertuga meneliti karangan yang masuki dan menentukan
buku-buku yang bahasa Belanda yang patut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Pada mulanya
Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu, namun perlahan-lahan beralih memakai
bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena pegawai kaum kebangsaan yang bekerja
di Balai Pustaka telah bertekad untuk mengembangkan bahasa Indonesia,
kesusastraan, dan kebudayaan Indonesia ke arah yang lebih baik dan tidak lepas
dari kepribadian bangsa Indonesia.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa lahirnya Sumpah Pemuda juga dipicu oleh semangat kaum
kebangsaan yang bekerja di Balai Pustaka untuk menggunakan bahasa Indonesia.
Dengan kesadaran yang dimiliki oleh pemuda yang mencetuskan lahirnya Sumpah
Pemuda pada saat itu, ternyata membuat Belanda gelisah. Untung saja para pemuda
bertindak cepat sebab Belanda telah berniat untuk mengganti bahasa resmi Melayu
menjadi bahasa Belanda. Dengan adanya semangat dan kegigihan dari pihak Balai
Pustaka untuk karya-karya berbahasa Indonesia, baik dari pengarang yang berasal
dari luar maupun pengarang yang berasal dari dalam negeri sendiri, penggunaan
bahasa pada saat itu mulai tampak rapi dan menarik.
Namun,
disamping itu bahasa Melayu tetap mendapat pengakuan asal dan dasar bahasa
Indonesia yang disesuaikan dengan pertumbuhannya di dalam masyarakat. Balai
Pustaka merupakan satu-satunya badan penerbit buku pada saat itu yang tetap
berusaha dan berupaya selalu mengembangkan bahasa Indonesia. Di dalam dunia
sastra dan kebudayaan, Balai pustaka sangat berperan penting untuk menjadikan
bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.
Angkatan
Balai Pustaka adalah angkatan yang timbul akibat politik etis pemerintah Hinia
Belanda. Angkatan ini ternyata membawa bentuk baru di dalam kesuasatraan
Indonesia. Berbeda dengan cerita-cerita Balai Pustaka yang masih bersifat
amtenarisme dan priyaiisme, Pujangga Baru menjabarkan semboyannya sebagai
pembawa semangat baru dalam kesuasatraan, seni, kebudayaan dan masyarakat umum.
Kemudian pada
ttahun 1933, muncullah gerakan Pujangga Baru yang memiliki semangat kebangsaan
untuk membangkitkan kesusastraan baru pada khususnya dan pada umumnya adalah
kebudayaan baru. Selain itu, Pujangga Baru sebenarnya bernafaskan semangat
romantik dalam karya-karya yang telah dimuat di dalam majalah. Pujangga Baru
sebenarnya nama majalah kebudayaan dan kesusastraan yang terbit tahun 1933-1942 di Jakarta,
digunakan untuk menggambarkan gaya khas sastra yang merupakan ciri dari majalah
tersebut. Armijn Pane memandang Pujangga Baru sebagai majalah sastra.
Pada masa
angkatan Pujangga Baru, perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan
karya sastra Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui
buku-buku pelajaran di instansi pendidikan maupun melalui karya berupa hasil
saduran.
Jika ada
sebelumnya karya sastra asing seperti Arab dan Prsia diperoleh melalui hubungan
perdangangan, maka karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada
masa Hidia Belanda.
Ketika percetakan mulai masuk ke
Hindia Belanda, kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum terpelajar
bumiputra. Kehadiran buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi bahan
bacaan yang disampaikan di sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum periode
Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah karya yang fenomenal dari Multatuli
yang berjudul Max Havelaar (1860). Sastrowardojo (1989: 138)
menyebutkan bahwa karya Multatuli itu pernah diakui mendapatkan ilham dan
pengaruh setelah membaca Pondok Paman Tom(Uncles’s Tom
Cabin, 1852) karya Harriet Beecher Stowe. Penerjemahan cerita pendek
Eropa dalam surat kabar awal di Hindia Belanda, baik yang dilakukan oleh
penulis Indo-Eropa maupun Cina Peranakan dan Pribumi, turut berkontribusi dalam
masuknya pengaruh bacaan Eropa dalam kesusastraan Melayu-Indonesia pada masa
itu. Salah satunya adalah masuknya genre cerpen, seperti yang telah disinggung
di atas.
Pengaruh gerakan kesusastraan di
Belanda sekitar tahun 1880, yang dikenal dengan de Tachtigers atau
Angkatan 1880, pada pengarang Pujangga Baru merupakan salah satu faktor yang
memudahkan masuknya pengaruh karya sastra Eropa dalam kesusastraan Indonesia
modern (Teeuw, 1980). Salah seorang penyair Pujangga Baru Indonesia yang sangat
terpengaruh dan memuja penyair Angkatan 1880 itu adalah J.E Tatengkeng. Ia
menulis sajak religiusnya dengan mengacu gaya kepenulisan Frederik van Eeden
dan Willem Kloos dari Belanda, seperti sajaknya yang berjudul “KataMu Tuhan”.
Bahkan, sebagai wujud kekagumannya kepada penyair Angkatan 1880 tersebut,
Tatengkeng pernah menulis satu sajak yang khusus ditujukan kepada Willem Kloos (Sunarti,
2012). Jika Tatengkeng memuja penyair Belanda, Sanusi Pane adalah salah seorang
pengarang angkatan Pujangga Baru yang mengagumi karya sastra pujangga India,
Rabidranath Tagore. Ia pernah menulis adaptasi cerita Gitanjali ke
dalam bahasa Indonesia. Merari Siregar juga melakukan hal yang sama, yakni
pernah menyadur karya sastra Belanda ke dalam bahasa Indonesia dengan judulTjerita Si
Djamin dan Si Djohan (1918). Karya itu disadur dari roman Jan
Smees karya Justus van Maurik (Teeuw,1994: 142--172). Teeuw pernah
menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kedua roman itu dan bagaimana cerita
itu dapat disadur oleh Merari Siregar menjadi versi Indonesia dengan latar
cerita dan nama para tokohnya disesuaikan dengan kondisi di Hindia-Belanda pada
masa itu. Menurut Teeuw, pengaruh komisi bacaan rakyat (Balai Pustaka) juga
ikut menjadi andil bagi penyaduran cerita itu.
Satu pengaruh negatif dari proses
sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah munculnya
polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan tudingan sebagai karya
plagiat. Kasus itu muncul pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938)
karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak membaca karya sastra dalam bahasa
Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir yang bernama Mustafa
Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun 1876-1942. Penulis dari Mesir itu
pernah menerbitkan sebuah novel saduran dari Prancis yang berjudul Sous
Les Tilleuls karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diberinya judul
dalam bahasa Arab Madjulin. Ketika novel Tenggelamnya
Kapal van der Wijck mengalami cetakan yang ketujuh, seorang penulis
bernama Abdullah S.P. menulis tudingan bahwa karya Hamka menjiplak karya
saduran Al-Manfaluthi. Karya saduran Al-Manfaluthi kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu dengan judul Magdalena. Berapa bagian dari
karya itu setelah dibandingkan dengan karya Hamka ternyata memang memiliki
persamaan. Akan tetapi, menurut Teeuw (1980: 105), persamaan itu dapat timbul
karena penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dan jelas karya Hamka memiliki isi
yang sama sekali berbeda dengan karya saduran Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan,
ada kesan novelTenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan
semi autobiografi dari penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari
novel Madjulin yang disadur oleh Manfaluthi.
Masalah
tuduhan plagiarisme juga pernah dihadapi oleh Chairil, yakni dituduh sebagai
plagiat ketika melakukan penyaduran karya asing ke bahasa Indonesia. Hal itu
disebabkan minat Chairil yang sangat tinggi terhadap karya penyair Eropa,
seperti J. Slauerhoff (Belanda), Hendrik Marsman (Belanda), dan Rainer Maria
Rilke (Jerman), sehingga amat memengaruhi sajaknya. Sajak J. Slauerhoff yang
berjudul “Woning Looze” memengaruhi puisi Chairil Anwar yang berjudul
“Rumahku”, kemudian “Karawang-Bekasi” dituduh plagiarisme dari The
Young Dead Soldier karya Archibald Madeisch. Tudingan itu tidak dapat
dibuktikan. Akan tetapi, karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang
pernah dilakukan oleh Chairil pada beberapa tulisan yang lain, bukan pada
sajak Karawang-Bekasi yang autentik milik Chairil. Pengucapan
puitik Chairil dianggap memiliki nilai baru dalam struktur dan pilihan katanya
yang sama sekali berbeda dan bahkan dianggap lebih baik dari sajak penyair
Eropa, khususnya Belanda, yang disadurnya.
Pengaruh asing dalam sajak Chairil dapat juga
kita temukan pada isi sajaknya, misalnya pada kata ahasveros dan sisipus,
yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa diksi
dalam sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata Belanda, seperti baris
sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil juga menjadi ciri
pembeda sajaknya dengan pendahulunya, seperti Amir Hamzah, yang masih kuat terikat
pantun dan syair. Kedua sastrawan itu mewariskan syair dan pantun sebagai
bagian puisi lama yang banyak dipakai pada awal kehadiran sastra Indonesia
baru. Gaya itu kemudian ditinggalkan sama sekali oleh Chairil Anwar dalam
sajaknya sehingga ia dianggap sebagai tokoh pendobrak zaman lama tersebut.
Keahlian Chairil melakukan
penyaduran sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia juga diakui oleh
kritikus sebagai karya saduran yang baik seperti yang dilakukannya pada sajakHuesca karya
Rupert John Cornford dari Inggris dan pada tahun 1967 sajak yang sama
diterjemahkan oleh Taslim Ali dengan judul Sajak.
Sesudah Chairil Anwar tiada,
pengaruh kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam
melalui beberapa karya penyair Indonesia modern yang notabene mendapat
pendidikan Barat. Sapardi (1983:5) menyebutkan beberapa nama pengarang
Indonesia yang karyanya memperlihatkan pengaruh asing (sastra Barat), seperti
Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip
Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo. Namun, penulis lebih
cenderung memberikan pilihan lain yang tidak disinggung oleh Sapardi dalam
tulisannya itu, di antaranya Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Darmanto
Jatman, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono.
Pengaruh asing pada karya Subagio
Sastrowardoyo terlihat, antara lain, dalam esai dan sajaknya. Karyanya itu
memperlihatkan kuatnya nilai keagamaan dan kerohanian yang menjadi argumen
dasar dalam tulisannya.
Pada Goenawan Mohamad, sajaknya
memperlihatkan pergulatan untuk menjadi penyair yang hendak lepas dari nilai
tradisi. Pengaruh asing pada karyanya terlihat lebih pada tataran ide, bukan
pada bentuk. Isi sajaknya menggambarkan hubungan personal yang sangat luas
dengan tokoh dan penyair dunia sehingga kita menemukan penggalan kisah yang
menggambarkan pertemuan Goenawan dengan tokoh dunia dan tempat asing yang
disinggahinya. Namun, berbeda dengan Chairil yang menulis puisi sebagai upaya
pemberontakan terhadap bentuk dan struktur puisi Indonesia lama, Goenawan
dengan sadar memanfaatkan rima pantun dalam sajaknya untuk memperlihatkan
“pertemuan” tradisi dan budaya luar yang dikenalnya.
Semakin modern cara berpikir
seseorang, seperti Goenawan, ternyata semakin sadar akan jati diri dan
identitasnya sebagai penyair yang tidak mungkin melepaskan diri dari akar
budayanya. Dari tangan Goenawan dilahirkan tafsiran baru atas nilai tradisi
dalam wujud sajak modern, seperti “Gatoloco”, “Pariksit”, dan
“Persetubuhan Kunthi”. Kita juga akan menemukan semangat dunia dan
kosmopolitan dalam sajaknya yang memperlihatkan kecenderungannya pada persoalan
sosial dan politik di Indonesia. Hal itu dapat kita lihat pada sajaknya yang
berjudul “Internationale” dan sajak “Permintaan Seorang yang Tersekap di
Nanking, Selama Lima Tahun” (untuk Agam Wispi). Sajak itu disampaikan dengan
semangat puitika Barat yang tidak mudah dipahami oleh pembacanya di Indonesia.
Pernah pada satu masa,
penyair W.S. Rendra, sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada.
Sebagai contoh, tulisan itu dapat kita temukan pada sajaknya yang berjudul
“Bersatulah Para Pelacur Ibukota”, “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, Balada Anak
Mencari Bapa”, dan “Balada Suku Naga”. Bentuk balada atau ballade dalam
sajak Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh kesusastraan asing, khususnya
pengaruh dari karya balada penyair Federico Garcia Lorca yang banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1950-an.
Pada Darmanto Jatman, pengaruh
kesusastraan asing, terutama Inggris, terlihat dalam kumpulan sajaknya Bangsat.
Darmanto telah mencapai gaya pribadi sendiri, tetapi ia tidak terlepas dari
pengaruh sajak Inggris yang umumnya bercorak arif (sophisticated),
cendikia (intellectual), dan jenaka (witty). Dengan mengambil
gaya pengucapan yang demikian, Darmanto telah meninggalkan suasana romantik
saja yang menjadi ciri umum persajakan Indonesia (Sastrowardoyo, 1989:206).
Dalam sajak Sapardi, pengaruh
kesusastraan asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk),
melainkan juga pada isi sajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam dalam
sajak awalnya yang memperlihatkan struktur haiku, ‘sajak pendek’
Jepang. Sweeney dalam percakapan langsung dengan penulis pernah
mengomentari bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi barat, tetapi menggunakan
bahasa Indonesia. Sastrowardoyo (1989: 191) melihat sajak Sapardi,
terutama dalam antologi Mata Pisau, secara keseluruhan boleh
dikatakan bertolak dari pertanyaan tentang makna dan tujuan akhir dari hidup.
Pertanyaannya itu bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh
Paul Gauguin sewaktu melukis di Haiti. Di sebuah kanvas yang besar—yang
disangkanya akan merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Prancis itu
berniat menghabisi nyawanya sendiri—dibubuhkan judul berupa pertanyaan “Dari mana
kita datang? Siapakah kita? Ke mana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup
yang inti itu biasanya timbul dalam kemelut, suatu situasi krisis yang bisa
dialami suatu kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang. Pertanyaan yang
menyangkut pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu telah
melahirkan sajak Sapardi dalam Mata Pisau.
Dalam perkembangan sastra selanjutnya mengenai puisi di awal perkembangannya, kita
menggunakan istilah syair; baru sesudah majalah Pujangga Baru terbit
pada 1933 penggunaan kata puisi semakin meluas. Ini tentu saja merupakan
pengaruh dari Barat yang mula-mula bahkan menggunakan istilah poesie untuk
segala jenis sastra dan drama.
Sejak awal
perkembangannya, puisi Indonesia modern mempergunakan jenis-jenis bahasa yang
umumnya disebut Melayu Tinggi dan Melayu Rendah atau Melayu-Tionghoa.
Pengertian itu sebenarnya tidak begitu tepat sebab dalam kenyataannya bahasa
Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang yang tidak berasal dari kalangan
keturunan Tionghoa juga tidak sama dengan bahasa yang dikembangkan oleh, antara
lain, Balai Pustaka. Itulah sebabnya muncul juga istilah Malayu Balai Pustaka
sebagai sinonim dari Melayu Tinggi. Kalangan pengarang keturunan Tionghoa
sendiri mengakui adanya perbedaan itu, suatu pengakuan yang boleh dikatakan
menyiratkan adanya perbedaan kualitas. Puisi yang disiarkan dalam berbagai
media yang dikelola oleh dan disebarluaskan di kalangan peranakan Tionghoa
menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa, dan tampaknya sama sekali tidak dirasakan
adanya keperluan untuk bergeser ke bahasa yang oleh mereka sendiri disebut
Melayu Tinggi atau, kadang-kadang, Melayu Riau.
Pembentukan Balai Pustaka
Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya sastra yang
berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti
Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Oleh
beberapa kritikus, novel tersebut dianggap novel penting pertama dalam sejarah
kesusastraan Indonesia moder,tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya
tidak ada novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang
sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan
pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin
dan si Johan, pada 1919.
Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial
memegang tugas penting dalam penerbitan buku-buku berbahasa Melayu; banyak di
antara buku terbitannya itu kemudian dianggap penting dalam perkembangan sastra
Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa penerbit
swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan komersial
maupun ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak
sebagai pencetus atau pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau
dari segi sosial politik, badan itu sesungguhnya merupakan akibat dari suatu
pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu terhadap perkembangan
pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari
perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi.
Dalam sebuah brosur kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial
sendiri tentang perubahan sosial tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar