Selasa, 11 Juli 2017

Fenomena Sastra

Sejarah Awal Masuknya Sastra Modern ke Hindia Belanda.
Perkembangan sastra Indonesia ketika sumpah pemuda dicetuskan tahun 1928. Masa itu adalah suatu momentum penting dalam sejarah sastra Indonesia karena pada saat itu bahasa indonesia diresmikan sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Sumpah pemuda merilis pemakaian bahasa tulis yang baku yang berbeda dengan penggunaan dalam naskah-naskah bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia merupakan bentuk penyempurnaan dari bahasa Melayu yang dalam perkembangannya banyak menyerap bahasa asing dan bahasa daerah. Lahirnya sastra Indonesia abad XX ditandai dengan dibentuknya Balai Pustaka oleh gubernemen Hindia Belanda di Jakarta tahun 1908. Kehadiran Balai Pustaka ini telah membawa angin segar dalam sejarah awal sastra Indonesia modern meskipun buku-bukunya merupakan terbitan dari Balai Pustaka bahasa Melayu (Riau) yang ditetapkan sejak 1901 oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Pada awalnya Balai Pustaka mencetak ulang buku-buku Hikayat, seperti cerita-cerita binatang dan cerita dongeng. Sejak tahun 1918, Balai Pustaka mulai melakukan pembaharuan. Balai Pustaka mendirikan Lembaga Sidang Pengarang untuk menyaring karya-karya yang masuk terkhusus pada taraf penilaian bahasa.
Dengan adanya lembaga Sidang Pengarang tersebut, maka karangan-karangan hasil terbitan Balai Pustaka lebih variatif. Selain itu, Balai Pustka juga mempunyai komisse vor de Volkslektuur yang bertuga meneliti karangan yang masuki dan menentukan buku-buku yang bahasa Belanda yang patut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Pada mulanya Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu, namun perlahan-lahan beralih memakai bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena pegawai kaum kebangsaan yang bekerja di Balai Pustaka telah bertekad untuk mengembangkan bahasa Indonesia, kesusastraan, dan kebudayaan Indonesia ke arah yang lebih baik dan tidak lepas dari kepribadian bangsa Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Sumpah Pemuda juga dipicu oleh semangat kaum kebangsaan yang bekerja di Balai Pustaka untuk menggunakan bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh pemuda yang mencetuskan lahirnya Sumpah Pemuda pada saat itu, ternyata membuat Belanda gelisah. Untung saja para pemuda bertindak cepat sebab Belanda telah berniat untuk mengganti bahasa resmi Melayu menjadi bahasa Belanda. Dengan adanya semangat dan kegigihan dari pihak Balai Pustaka untuk karya-karya berbahasa Indonesia, baik dari pengarang yang berasal dari luar maupun pengarang yang berasal dari dalam negeri sendiri, penggunaan bahasa pada saat itu mulai tampak rapi dan menarik.
Namun, disamping itu bahasa Melayu tetap mendapat pengakuan asal dan dasar bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan pertumbuhannya di dalam masyarakat. Balai Pustaka merupakan satu-satunya badan penerbit buku pada saat itu yang tetap berusaha dan berupaya selalu mengembangkan bahasa Indonesia. Di dalam dunia sastra dan kebudayaan, Balai pustaka sangat berperan penting untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.
Angkatan Balai Pustaka adalah angkatan yang timbul akibat politik etis pemerintah Hinia Belanda. Angkatan ini ternyata membawa bentuk baru di dalam kesuasatraan Indonesia. Berbeda dengan cerita-cerita Balai Pustaka yang masih bersifat amtenarisme dan priyaiisme, Pujangga Baru menjabarkan semboyannya sebagai pembawa semangat baru dalam kesuasatraan, seni, kebudayaan dan masyarakat umum.
Kemudian pada ttahun 1933, muncullah gerakan Pujangga Baru yang memiliki semangat kebangsaan untuk membangkitkan kesusastraan baru pada khususnya dan pada umumnya adalah kebudayaan baru. Selain itu, Pujangga Baru sebenarnya bernafaskan semangat romantik dalam karya-karya yang telah dimuat di dalam majalah. Pujangga Baru sebenarnya nama majalah kebudayaan dan kesusastraan  yang terbit tahun 1933-1942 di Jakarta, digunakan untuk menggambarkan gaya khas sastra yang merupakan ciri dari majalah tersebut. Armijn Pane memandang Pujangga Baru sebagai majalah sastra.
Pada masa angkatan Pujangga Baru, perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku-buku pelajaran di instansi pendidikan maupun melalui karya berupa hasil saduran.
Jika ada sebelumnya karya sastra asing seperti Arab dan Prsia diperoleh melalui hubungan perdangangan, maka karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hidia Belanda.
Ketika percetakan mulai masuk ke Hindia Belanda, kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum terpelajar bumiputra. Kehadiran buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi bahan bacaan yang disampaikan di sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum periode Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah karya yang fenomenal dari Multatuli yang berjudul Max Havelaar (1860). Sastrowardojo (1989: 138) menyebutkan bahwa karya Multatuli itu pernah diakui mendapatkan ilham dan pengaruh setelah membaca Pondok Paman Tom(Uncles’s Tom Cabin, 1852) karya Harriet Beecher Stowe. Penerjemahan cerita pendek Eropa dalam surat kabar awal di Hindia Belanda, baik yang dilakukan oleh penulis Indo-Eropa maupun Cina Peranakan dan Pribumi, turut berkontribusi dalam masuknya pengaruh bacaan Eropa dalam kesusastraan Melayu-Indonesia pada masa itu. Salah satunya adalah masuknya genre cerpen, seperti yang telah disinggung di atas. 
Pengaruh gerakan kesusastraan di Belanda sekitar tahun 1880, yang dikenal dengan  de Tachtigers atau Angkatan 1880, pada pengarang Pujangga Baru merupakan salah satu faktor yang memudahkan masuknya pengaruh karya sastra Eropa dalam kesusastraan Indonesia modern (Teeuw, 1980). Salah seorang penyair Pujangga Baru Indonesia yang sangat terpengaruh dan memuja penyair Angkatan 1880 itu adalah J.E Tatengkeng. Ia menulis sajak religiusnya dengan mengacu gaya kepenulisan Frederik van Eeden dan Willem Kloos dari Belanda, seperti sajaknya yang berjudul “KataMu Tuhan”. Bahkan, sebagai wujud kekagumannya kepada penyair Angkatan 1880 tersebut, Tatengkeng pernah menulis satu sajak yang khusus ditujukan kepada Willem Kloos (Sunarti, 2012). Jika Tatengkeng memuja penyair Belanda, Sanusi Pane adalah salah seorang pengarang angkatan Pujangga Baru yang mengagumi karya sastra pujangga India, Rabidranath Tagore. Ia pernah menulis adaptasi cerita Gitanjali ke dalam bahasa Indonesia. Merari Siregar juga melakukan hal yang sama, yakni pernah menyadur karya sastra Belanda ke dalam bahasa Indonesia dengan judulTjerita Si Djamin dan Si Djohan (1918). Karya itu disadur dari roman Jan Smees karya Justus van Maurik (Teeuw,1994: 142--172). Teeuw pernah menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kedua roman itu dan bagaimana cerita itu dapat disadur oleh Merari Siregar menjadi versi Indonesia dengan latar cerita dan nama para tokohnya disesuaikan dengan kondisi di Hindia-Belanda pada masa itu. Menurut Teeuw, pengaruh komisi bacaan rakyat (Balai Pustaka) juga ikut menjadi andil bagi penyaduran cerita itu.
Satu pengaruh negatif dari proses sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah munculnya polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan tudingan sebagai karya plagiat. Kasus itu muncul pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938) karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak membaca karya sastra dalam bahasa Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir yang bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun 1876-1942. Penulis dari Mesir itu pernah menerbitkan sebuah novel saduran dari Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diberinya judul dalam bahasa Arab  Madjulin. Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengalami cetakan yang ketujuh, seorang penulis bernama Abdullah S.P. menulis tudingan bahwa karya Hamka menjiplak karya saduran Al-Manfaluthi. Karya saduran Al-Manfaluthi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul Magdalena. Berapa bagian dari karya itu setelah dibandingkan dengan karya Hamka ternyata memang memiliki persamaan. Akan tetapi, menurut Teeuw (1980: 105), persamaan itu dapat timbul karena penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dan jelas karya Hamka memiliki isi yang sama sekali berbeda dengan karya saduran Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan, ada kesan novelTenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan semi autobiografi dari penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari novel Madjulin yang disadur oleh Manfaluthi.
    Masalah tuduhan plagiarisme juga pernah dihadapi oleh Chairil, yakni dituduh sebagai plagiat ketika melakukan penyaduran karya asing ke bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan minat Chairil yang sangat tinggi terhadap karya penyair Eropa, seperti J. Slauerhoff (Belanda), Hendrik Marsman (Belanda), dan Rainer Maria Rilke (Jerman), sehingga amat memengaruhi sajaknya. Sajak J. Slauerhoff yang berjudul “Woning Looze” memengaruhi puisi Chairil Anwar yang berjudul “Rumahku”, kemudian “Karawang-Bekasi” dituduh plagiarisme dari The Young Dead Soldier karya Archibald Madeisch. Tudingan itu tidak dapat dibuktikan. Akan tetapi, karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang pernah dilakukan oleh Chairil pada beberapa tulisan yang lain, bukan pada sajak Karawang-Bekasi yang autentik milik Chairil. Pengucapan puitik Chairil dianggap memiliki nilai baru dalam struktur dan pilihan katanya yang sama sekali berbeda dan bahkan dianggap lebih baik dari sajak penyair Eropa, khususnya Belanda, yang disadurnya.
 Pengaruh asing dalam sajak Chairil dapat juga kita temukan pada isi sajaknya,  misalnya pada kata ahasveros dan sisipus, yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa diksi dalam sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata Belanda, seperti baris sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil juga menjadi ciri pembeda sajaknya dengan pendahulunya, seperti Amir Hamzah, yang masih kuat terikat pantun  dan syair. Kedua sastrawan itu mewariskan syair dan pantun sebagai bagian puisi lama yang banyak dipakai pada awal kehadiran sastra Indonesia baru. Gaya itu kemudian ditinggalkan sama sekali oleh Chairil Anwar dalam sajaknya sehingga ia dianggap sebagai tokoh pendobrak zaman lama tersebut.
Keahlian Chairil melakukan penyaduran sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia juga diakui oleh kritikus sebagai karya saduran yang baik seperti yang dilakukannya pada sajakHuesca karya Rupert John Cornford dari Inggris dan pada tahun 1967 sajak yang sama diterjemahkan oleh Taslim Ali dengan judul Sajak.
Sesudah Chairil Anwar tiada, pengaruh kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam melalui beberapa karya penyair Indonesia modern yang notabene mendapat pendidikan Barat. Sapardi (1983:5) menyebutkan beberapa nama pengarang Indonesia yang karyanya memperlihatkan pengaruh asing (sastra Barat), seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo. Namun, penulis lebih cenderung memberikan pilihan lain yang tidak disinggung oleh Sapardi dalam tulisannya itu, di antaranya Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono.
Pengaruh asing pada karya Subagio Sastrowardoyo terlihat, antara lain, dalam esai dan sajaknya. Karyanya itu memperlihatkan kuatnya nilai keagamaan dan kerohanian yang menjadi argumen dasar dalam tulisannya.
Pada Goenawan Mohamad, sajaknya memperlihatkan pergulatan untuk menjadi penyair yang hendak lepas dari nilai tradisi. Pengaruh asing pada karyanya terlihat lebih pada tataran ide, bukan pada bentuk. Isi sajaknya menggambarkan hubungan personal yang sangat luas dengan tokoh dan penyair dunia sehingga kita menemukan penggalan kisah yang menggambarkan pertemuan Goenawan dengan tokoh dunia dan tempat asing yang disinggahinya. Namun, berbeda dengan Chairil yang menulis puisi sebagai upaya pemberontakan terhadap bentuk dan struktur puisi Indonesia lama, Goenawan dengan sadar memanfaatkan rima pantun dalam sajaknya untuk memperlihatkan “pertemuan” tradisi dan budaya luar yang dikenalnya.
Semakin modern cara berpikir seseorang, seperti Goenawan, ternyata semakin sadar akan jati diri dan identitasnya sebagai penyair yang tidak mungkin melepaskan diri dari akar budayanya. Dari tangan Goenawan dilahirkan tafsiran baru atas nilai tradisi dalam wujud sajak modern, seperti “Gatoloco”, Pariksit”, dan “Persetubuhan Kunthi”.  Kita juga akan menemukan semangat dunia dan kosmopolitan dalam sajaknya yang memperlihatkan kecenderungannya pada persoalan sosial dan politik di Indonesia. Hal itu dapat kita lihat pada sajaknya yang berjudul “Internationale” dan sajak “Permintaan Seorang yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun” (untuk Agam Wispi). Sajak itu disampaikan dengan semangat puitika Barat yang tidak mudah dipahami oleh pembacanya di Indonesia.
Pernah  pada satu masa, penyair  W.S. Rendra, sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada. Sebagai contoh, tulisan itu dapat kita temukan pada sajaknya yang berjudul “Bersatulah Para Pelacur Ibukota”, “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, Balada Anak Mencari Bapa”, dan “Balada Suku Naga”. Bentuk balada atau ballade dalam sajak Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh kesusastraan asing, khususnya pengaruh dari karya balada penyair Federico Garcia Lorca yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1950-an.
Pada Darmanto Jatman, pengaruh kesusastraan asing, terutama Inggris, terlihat dalam kumpulan sajaknya Bangsat. Darmanto telah mencapai gaya pribadi sendiri, tetapi ia tidak terlepas dari pengaruh sajak Inggris yang umumnya bercorak arif (sophisticated), cendikia (intellectual), dan jenaka (witty). Dengan mengambil gaya pengucapan yang demikian, Darmanto telah meninggalkan suasana romantik saja yang menjadi ciri umum persajakan Indonesia (Sastrowardoyo, 1989:206).
Dalam sajak Sapardi, pengaruh kesusastraan asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk), melainkan juga pada isi sajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam dalam sajak awalnya yang memperlihatkan struktur haiku, ‘sajak pendek’ Jepang. Sweeney  dalam percakapan langsung dengan penulis pernah mengomentari bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi barat, tetapi menggunakan bahasa Indonesia.  Sastrowardoyo (1989: 191) melihat sajak Sapardi, terutama dalam antologi Mata Pisau, secara keseluruhan boleh dikatakan bertolak dari pertanyaan tentang makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya itu bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin sewaktu melukis di Haiti. Di sebuah kanvas yang besar—yang disangkanya akan merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Prancis itu berniat menghabisi nyawanya sendiri—dibubuhkan judul berupa pertanyaan “Dari mana kita datang? Siapakah kita? Ke mana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu biasanya timbul dalam kemelut, suatu situasi krisis yang bisa dialami suatu kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang. Pertanyaan yang menyangkut pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu telah melahirkan sajak Sapardi dalam Mata Pisau.
Dalam perkembangan sastra selanjutnya mengenai puisi di awal perkembangannya, kita menggunakan istilah syair; baru sesudah majalah Pujangga Baru terbit pada 1933 penggunaan kata puisi semakin meluas. Ini tentu saja merupakan pengaruh dari Barat yang mula-mula bahkan menggunakan istilah poesie untuk segala jenis sastra dan drama.
Sejak awal perkembangannya, puisi Indonesia modern mempergunakan jenis-jenis bahasa yang umumnya disebut Melayu Tinggi dan Melayu Rendah atau Melayu-Tionghoa. Pengertian itu sebenarnya tidak begitu tepat sebab dalam kenyataannya bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang yang tidak berasal dari kalangan keturunan Tionghoa juga tidak sama dengan bahasa yang dikembangkan oleh, antara lain, Balai Pustaka. Itulah sebabnya muncul juga istilah Malayu Balai Pustaka sebagai sinonim dari Melayu Tinggi. Kalangan pengarang keturunan Tionghoa sendiri mengakui adanya perbedaan itu, suatu pengakuan yang boleh dikatakan menyiratkan adanya perbedaan kualitas. Puisi yang disiarkan dalam berbagai media yang dikelola oleh dan disebarluaskan di kalangan peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa, dan tampaknya sama sekali tidak dirasakan adanya keperluan untuk bergeser ke bahasa yang oleh mereka sendiri disebut Melayu Tinggi atau, kadang-kadang, Melayu Riau.
*      Pembentukan Balai Pustaka
Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya sastra yang berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap novel penting pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia moder,tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin dan si Johan, pada 1919.
Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial memegang tugas penting dalam penerbitan buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu kemudian dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai pencetus atau pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari segi sosial politik, badan itu sesungguhnya merupakan akibat dari suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu terhadap perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur  kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang perubahan sosial tersebut.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar