Selasa, 11 Juli 2017

Kebudayaan Jawa

Nama   : Nursyam
NIM    : 1151140007
Prodi   : Sastra indonesia
Materi  : Kebudayaan Jawa________________________________________________
            Budaya Jawa juga menghasilkan agama sendiri yaitu Kejawen. Kejawen berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa. Tetapi mayoritas orang Jawa sekarang menganut agama Islam dan sebagian kecil orang Jawa menganut agama Kristen atau Katolik. Dahulu orang Jawa menganut agama Hindu, Budha dan Kejawen. Bahkan orang Jawa ikut menyebarkan agama Hindu dan Budha dengan sejumlah kerajaan Hindu-Budha Jawa yang berperan. Orang Jawa juga ikut menyebarkan agama Islam dan Kristen atau Katolik di Indonesia. Orang Jawa termasuk unik karena menjadi satu satunya suku di Indonesia yang berperan penting dalam menyebarkan 5 agama besar. Seorang peneliti AS Clifford Geertz bahkan pernah meneliti orang Jawa dan membagi orang Jawa menjadi 3 golongan besar yaitu : Abangan, Priyayi dan Santri.
            Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
            Sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
            Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Dongeng Jawa seperti cerita panji ternyata juga dikenal dan dipentaskan di Thailand dan Filipina. Banyak sastra Jawa yang berada di Eropa terutama Belanda bahkan ada perguruan tinggi Belanda yang membuka mata kuliah sastra Jawa seperti Universitas Leiden.
            Arsitektur Jawa adalah bentuk bangunan khas yang dirancang oleh orang Jawa untuk berbagai fungsi. Diantaranya adalah rumah Jawa atau Joglo yang sangat unik bentuknya. Bentuk bangunan Jawa sangat dipengaruhi oleh agama Hindu, Budha dan Islam. Arsitektur Jawa juga mengadaptasi bentuk bangunan Tionghoa, Belanda dan Arab. Sejak dahulu orang Jawa sudah pandai dalam membuat arsitektur hal ini terbukti dengan ditemukannya sejumlah candi monumental di Jawa seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan Jateng-DIY dan Jatim tercatat sebagai wilayah di Indonesia yang terbanyak memiliki candi dengan lebih dari 50 buah candi. Di Jawa juga banyak terdapat masjid yang merupakan akulturasi budaya Hindu dan Islam seperti Masjid Agung Demak.
            Hasil budaya teknologi Jawa lainnya adalah Kapal Jung yaitu sebuah kapal layar tradisional yang digunakan oleh orang Jawa pada jaman kerajaan dahulu. Dalam relief candi Borobudur terdapat penggambaran kapal Jung. Lambung kapal Jung dibentuk dengan menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Kapal Jung yang disebut sebagai kapal Borobudur ini telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus ratus tahun sebelum abad ke-13. Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14 mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.
            Salah satu bentuk sistem pengetahuan yang ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa menurut kelompok kami, adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan, karena di dalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).
            Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menyebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
            Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .

            Seni Tradisional Jawa adalah karya seni yang diciptakan dan berasal dari Pulau Jawa, Indonesia. Beberapa contoh dari seni tradisional jawa antara lain tari gambyong. Kesenian tradisional dari Jawa ada berbagai macam, tetapi secara umum dalam satu akar budaya kesenian Jawa ada 3 kelompok besar yaitu Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ludruk dan Reog).
            Di dalam masyarakat Indonesia, masih ada sebagian orang yang percaya bahwa gamelan tertentu memiliki kekuatan gaib. Suara yang dikeluarkan dari alat musik gamelan seringkali dianggap mempunyai daya magis yang bisa mempengaruhi aura kehidupan manusia. Gamelan seperti ini biasanya bukan lagi sekedar alat musik tapi sudah dianggap sebagai pusaka, dan hanya dimainkan pada saat yang sangat istimewa. Oleh karena keistimewaan itu, gamelan demikian mendapat penghormatan sama halnya seperti menghormati leluhur. Sebenarnya, penghormatan seperti kepada leluhur itu tidaklah berlebihan jika kita melihat dari rasa (roso) dan energi yang terlibat saat sang empu menempa dan membentuk gamelan itu hingga menghasilkan nada yang begitu indah hingga terkesan magis; atau saat sang pemilik gamelan itu dahulu sering menumpahkan perasaan dan pikiran dengan memainkan gamelannya seperti halnya seorang pianis meresap dalam permainan pianonya.
            Sebagai alat musik yang dipandang memiliki daya magis, gamelan pusaka seringkali digunakan untuk mengiringi gendhing-gendhing Jawa yang memiliki makna sangat “khusus”, yang seolah mengandung misteri seperti misalnya gendhing Tunggul Kawung yang konon untuk “menahan/memindahkan” hujan, atau sebaliknya gendhing Mego Mendhung yang untuk mendatangkan hujan lebat. Meskipun semua itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, para pemain gamelan (karawitan) bisa membuktikannya dengan “rasa” yang mereka miliki.
            Masyarakat Jawa adalah representasi dari harmonisasi dan pencapaian ekstase untuk sadar kosmis. Gamelan tidak sekadar perkara musik tapi menjadi pertaruhan orang Jawa mengolah rasa dan mengabdikan diri untuk sensibiltas kosmis (alam, manusia, dan Tuhan). Hakikat gamelan adalah hakikat kehidupan manusia lahir dan batin. Kesadaran atas gamelan bagi masyarakat Jawa ini mengarah pada kecenderungan mistik atau sakralisasi. Dan gamelan tidak sekadar urusan melodi, harmoni, dan dinamik. Keharmonisan dan keteraturan dalam gamelan merupakan representasi dari perjalanan suci menuju Tuhan. Ketukan gong bisa diartikan simbol pencapaian tingkat (maqam) tertentu setelah orang beralih dari suasana dzikir dan sunyi secara bergantian.
            Dengan simbolisasi atas alam kerohanian Jawa maka sakralisasi terjadi dengan kesadaran batin dan laku. Pandangan mistik terhadap gamelan itu diterjemahkan oleh penguasa dan ahli agama dalam pelbagai ritus di keraton. Gamelan menjadi perangkat musik dengan nafas tradisi dan keagamaan. Ritus gamelan menjadi ritus dengan permainan jagad simbol dan anutan kepercayaan terhadap nilai-nilai kejawaan dan religiositas.
            Selain itu gamelan merupakan salah satu jenis musik yang terdiri dari berbagai alat musik, diantaranya kendang, rebab, celempung, gambang, gong, dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat mempunyai fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan. Misalnya, gong berperan menutup sebuah irama yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending. Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelan merupakan keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama. Irama yang khas yang dihasilkan merupakan perpaduan jenis suara dari masing-masing unit peralatan gamelan. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
            Budaya petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal sebagai produsen beras terbesar di Indonesia. Jawa Timur dan Jawa Tengah penyumbang beras terbesar di Indonesia yaitu 31,27%, Jawa Tengah 23,79%, Jawa Barat 15,19%, Sulawesi Selatan 10,10% dan Nusa Tenggara Barat 4,6%. Selain sebagai produsen beras terbesar Jateng dan Jatim juga menghasilkan aneka ragam masakan. Masakan Jawa adalah masakan khas yang berasal dari pulau Jawa, kecuali Jawa Barat yang mempunyai kekhasan khusus sebagai Masakan Sunda. Masakan Jawa tersedia di Warung Tegal. Masakan Jawa tempe menjadi masakan internasional dan menjadi satu satunya masakan Indonesia yang tidak terpengaruh oleh masakan Tionghoa, masakan India, atau masakan Arab.
            Dalam kehidupan nasional, eksistensi orang-orang yang berasal dari suku Jawa tidak perlu diragukan lagi, mereka memegang banyak peranan penting dan posisi strategis di pemerintahan, tatanan sistem politik, sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari enam orang presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa.
            Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa  jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang dihuni oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton. Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting.
Referensi:       














Tidak ada komentar:

Posting Komentar