Nama : Nursyam
NIM : 1151140007
Prodi : Sastra Indonesia_________________________________________________
Kebudayaan
Minangkabau
Asal
Usul “Minangkabau” Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama
itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo.
Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa
ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan.
Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu
kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau
yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau
besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari
susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan
itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal
dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau).
Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan
berikut daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua
kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan
berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik, yang
menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang, budaya
Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan,
warisan, dan sebagainya.
v
Sejarah
Berdasarkan
historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi
barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya
Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan
Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat
Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya
Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para
reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan
budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang
dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya
Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha,
untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu
kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat
Minang.
Reformasi
budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal
ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama,
tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk
mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut
tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat
bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya
dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di
Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap
kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan
keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri pencak silat.
v
Produk Kebudayaan.
A. Kemasyarakatan dan filosofi.
Kepemimpinan
Acara Batagak Penghulu untuk mengukuhkan pemimpin kaum di
Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau memiliki
filosofi bahwa "pemimpin itu hanyalah ditinggikan seranting dan
didahulukan selangkah." Artinya seorang pemimpin haruslah dekat dengan
masyarakat yang ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap untuk dikritik jika
ia berbuat salah. Dalam konsep seperti ini, Minangkabau tidak mengenal jenis
pemimpin yang bersifat diktator dan totaliter. Selain itu konsep budaya
Minangkabau yang terdiri dari republik-republik mini, dimana nagari-nagari
sebagai sebuah wilayah otonom, memiliki kepala-kepala kaum yang merdeka. Mereka
memiliki hak dan kewajiban yang sama, serta dipandang sejajar di tengah-tengah
masyarakat.
Dengan
filosofi tersebut, maka Minangkabau banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang
amanah di berbagai bidang, baik itu politik, ekonomi, kebudayaan, dan
keagamaan. Sepanjang abad ke-20, etnis Minangkabau merupakan salah satu
kelompok masyarakat di Indonesia yang paling banyak melahirkan pemimpin dan
tokoh pelopor. Mereka antara lain : Tan Malaka, Mohammad Hatta, Yusof Ishak, Tuanku Abdul Rahman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Assaat, Hamka, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Abdul Halim dan lain-lain.
Demokrasi
Produk
budaya Minangkabau yang juga menonjol ialah sikap demokratis pada
masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem
pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari yang otonom, dimana
pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Hal ini
terdapat dalam pernyataan adat yang mengatakan bahwa "bulat air karena
pembuluh, bulat kata karena mufakat". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pernah mengafirmasi adanya
demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang
berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi
Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup di tengah-tengah
permusyawaratan yang terwakilkan.
Pendidikan
Budaya
Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk
mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam terkembang
menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat
Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam,
pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga
ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum
keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda
kampung.
Setelah
kedatangan imperium Belanda, masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan
sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam. Pada masa Hindia-Belanda, kaum Minangkabau merupakan salah
satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat dalam mengikuti pendidikan
Barat. Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak didirikan sekolah-sekolah baik
yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat
pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk
mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka yang pergi merantau. Selain
ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka untuk bersekolah.
Sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan
dokter-dokter Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada periode
1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan orang-orang Minang.
Harta pusaka
Dalam
budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi
dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan turun-temurun
dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta
pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam.
Harta
pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara
turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai
dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta
pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan
rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.
Harta
pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan.
Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan
di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi
dapat juga di gadaikan kepada suku lain. Tergadainya harta pusaka tinggi karena
empat hal:
Ø Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum bersuami).
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
Ø Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah). Jika
tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
Ø Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor). Jika tidak ada
biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga
tidak layak huni.
Ø Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam). Jika
tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih
tinggi.
Kewirausahaan
Orang
Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos kewirausahaan yang
tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta bisnis yang
dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia. Selain itu banyak
pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia dan Singapura.
Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di Sumatera dan Selat Malaka,
sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18, para pedagang Minangkabau hanya
terbatas berdagang emas dan rempah-rempah. Meskipun ada pula yang menjual
senjata ke Kerajaan Malaka, namun jumlahnya tidak terlalu
besar. Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-pengusaha Minangkabau yang sukses
berdagang rempah-rempah. Di Selat Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan
Nakhoda Kecil, merupakan pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini
jaringan perantauan Minangkabau dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah
satu bentuk kewirausahaan yang sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu
kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset cukup besar. Pada masa-masa
selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan pengusaha-pengusaha
besar diantaranya Hasyim Ning, Rukmini Zainal Abidin, Anwar Sutan Saidi, Abdul Latief, Fahmi Idris, dan Basrizal Koto. Pada masa Orde Baru
pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi yang tidak menguntungkan
karena tiadanya keberpihakan penguasa Orde Baru kepada pengusaha pribumi.
Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan
salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa
peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di
komunitas rumah gadang mereka.
Prosesi
perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai
beberapa tahapan yang umum dilakukan.
Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding
di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua
pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di
depan penghulu atau tuan
kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru
tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di
kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah,
pemberian gelar ini tidak berlaku.
v
B. Seni
Arsitektur
Masjid Raya Sumatera
Barat yang
desainnya mengikuti tipologi arsitektur Minangkabau.
Arsitektur
Minangkabau merupakan bagian dari seni arsitektur khas Nusantara, yang
wilayahnya merupakan kawasan rawan gempa. Sehingga banyak rumah-rumah
tradisionalnya yang berbentuk panggung, menggunakan kayu dan pasak, serta tiang
penyangga yang diletakkan di atas batu tertanam. Namun ada beberapa kekhasan
arsitektur Minangkabau yang tak dapat dijumpai di wilayah lain, seperti atap
bergonjong. Model ini digunakan sebagai bentuk atap rumah, balai pertemuan, dan
kini juga digunakan sebagai bentuk atap kantor-kantor di seluruh Sumatera
Barat. Di luar Sumatera Barat, atap bergonjong juga terdapat pada kantor
perwakilan Pemda Sumatera Barat di Jakarta, serta pada salah satu bangunan di
halaman Istana Seri
Menanti, Negeri Sembilan. Bentuk gonjong diyakini berasal
dari bentuk tanduk kerbau, yang sekaligus merupakan ciri khas etnik
Minangkabau.
Masakan
Memasak makanan yang lezat merupakan
salah satu budaya dan kebiasaan masyarakat Minangkabau. Hal ini dikarenakan
seringnya penyelenggaraan pesta adat, yang mengharuskan penyajian makanan yang
nikmat. Masakan Minangkabau tidak hanya disajikan untuk masyarakat Minangkabau
saja, namun juga telah dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh Nusantara. Orang-orang Minang biasa menjual
makanan khas mereka seperti rendang, asam pedas, soto padang, sate padang, dan dendeng balado di rumah makan yang biasa dikenal
dengan Restoran Padang. Restoran Padang tidak hanya
tersebar di seluruh Indonesia, namun juga banyak terdapat di Malaysia, Singapura, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Rendang salah satu masakan khas
Minangkabau, telah dinobatkan sebagai masakan terlezat di dunia.
Masakan
Minangkabau merupakan masakan yang kaya akan variasi bumbu. Oleh karenanya
banyak dimasak menggunakan rempah-rempah seperti cabai, serai, lengkuas,
kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Kelapa merupakan salah satu unsur
pembentuk cita rasa masakan Minang. Bahan utama masakan Minang antara lain
daging sapi, daging kambing, ayam, ikan, dan belut. Orang Minangkabau hanya
menyajikan makanan-makanan yang halal, sehingga mereka menghindari alkohol dan
lemak babi. Selain itu masakan Minangkabau juga tidak menggunakan bahan-bahan
kimia untuk pewarna, pengawet, dan penyedap rasa. Teknik memasaknya yang agak
rumit serta memerlukan waktu cukup lama, menjadikannya sebagai makanan yang
nikmat dan tahan lama.
Literasi
Aksara Minangkabau.
Masyarakat
Minangkabau telah memiliki budaya literasi sejak abad ke-12. Hal ini ditandai
dengan ditemukannya aksara Minangkabau. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu literatur
masyarakat Minangkabau yang pertama. Tambo Minangkabau yang ditulis dalam Bahasa Melayu, merupakan literatur Minangkabau
berupa historiografi tradisional. Pada abad pertengahan, sastra Minangkabau
banyak ditulis menggunakan Huruf Jawi. Di masa ini, sastra Minangkabau
banyak yang berupa dongeng-dongeng jenaka dan nasehat. Selain itu ada pula
kitab-kitab keagamaan yang ditulis oleh ulama-ulama tarekat. Di akhir abad
ke-19, cerita-cerita tradisional yang bersumber dari mulut ke mulut, seperti Cindua Mato, Anggun Nan
Tongga, dan Malin Kundang mulai dibukukan.
Pada
abad ke-20, sastrawan Minangkabau merupakan tokoh-tokoh utama dalam pembentukan
bahasa dan sastra Indonesia. Lewat karya-karya mereka berupa novel, roman, dan
puisi, sastra Indonesia mulai tumbuh dan berkembang.
Sehingga novel yang beredar luas dan menjadi bahan pengajaran penting bagi
pelajar di seluruh Indonesia dan Malaysia, adalah novel-novel
berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Budaya literasi Minangkabau juga
melahirkan tokoh penyair seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail dan tokoh sastra lainnya Sutan Takdir
Alisjahbana.
Ukiran
Masyarakat
Minangkabau sejak lama telah mengembangkan seni budaya berupa ukiran, pakaian,
dan perhiasan. Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak nagari di Minangkabau. Namun saat ini seni ukir hanya berkembang di nagari-nagari
tertentu, seperti Pandai Sikek. Kain merupakan media ukiran yang sering digunakan oleh masyarakat Minang. Selain itu ukiran juga
banyak digunakan sebagai hiasan Rumah Gadang. Ukiran Rumah Gadang biasanya
berbentuk garis melingkar atau persegi, dengan motif seperti tumbuhan merambat,
akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk
lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung
menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke
bawah. Disamping itu motif lain yang dijumpai dalam ukiran Rumah Gadang adalah
motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Jenis-jenis ukiran Rumah
Gadang antara lain kaluak paku, pucuak tabuang, saluak aka, jalo, jarek,
itiak pulang patang, saik galamai, dan sikambang manis.
Tarian
Tari-tarian
merupakan salah satu corak budaya Minangkabau yang sering digunakan dalam pesta
adat ataupun perayaan pernikahan. Tari Minangkabau tidak hanya dimainkan oleh
kaum perempuan tapi juga oleh laki-laki. Ciri khas tari Minangkabau adalah
cepat, keras, menghentak, dan dinamis. Adapula tarian yang memasukkan gerakan
silat ke dalamnya, yang disebut randai. Tari-tarian Minangkabau lahir dari kehidupan masyarakat Minangkabau yang
egaliter dan saling menghormati. Dalam pesta adat ataupun perkawinan,
masyarakat Minangkabau memberikan persembahan dan hormat kepada para tamu dan
menyambutnya dengan tarian galombang. Jenis tari Minangkabau antara lain: Tari Piring, Tari Payung, Tari Pasambahan, dan Tari Indang.
Bela diri
Pencak
Silat adalah seni bela diri khas masyarakat Minangkabau yang diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Pada mulanya silat merupakan bekal
bagi perantau untuk menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan
atau di perantauan. Selain untuk menjaga diri, silat juga merupakan sistem
pertahanan nagari (parik paga dalam nagari).
Pencak
silat memiliki dua filosofi dalam satu gerakan. Pencak (mancak) yang berarti
bunga silat merupakan gerakan tarian yang dipamerkan dalam acara adat atau
seremoni lainnya. Gerakan-gerakan mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin
karena untuk pertunjukkan. Sedangkan silat merupakan suatu seni pertempuran
yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga
gerakan-gerakannya diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan
lawan.
Orang
yang mahir bermain silat dinamakan pendekar (pandeka). Gelar pendekar
ini pada zaman dahulunya dikukuhkan secara adat oleh ninik mamak dari nagari
yang bersangkutan. Kini pencak silat tidak hanya diajarkan kepada generasi muda
Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Nusantara bahkan ke Eropa dan Amerika Serikat.
Musik
Budaya
Minangkabau juga melahirkan banyak jenis alat musik dan lagu. Di antara alat
musik khas Minangkabau adalah saluang, talempong, rabab, serta bansi. Keempat alat
musik ini biasanya dimainkan dalam pesta adat dan perkawinan. Kini musik Minang
tidak terbatas dimainkan dengan menggunakan empat alat musik tersebut. Namun
juga menggunakan istrumen musik modern seperti orgen, piano, gitar, dan drum.
Lagu-lagu Minang kontemporer, juga banyak yang mengikuti aliran-aliran musik
modern seperti pop, hip-hop, dan remix.
Rumah adat
Rumah adat Minangkabau disebut
dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah
milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun
temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan
dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas
kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti
tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap
ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.
Namun hanya kaum perempuan dan
suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan
laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika
laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya
dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi
sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa
namun belum menikah. Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan
boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah
berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh
ditegakkan.
Ukiran Minangkabau di dinding luar bagian depan Rumah Gadang.
- Anak
dipangku, kamanakan dibimbiang (Artinya : anak diberikan nafkah dan
disekolahkan, serta kemenakan dibimbing untuk menjalani kehidupannya).
- Duduak
marauk ranjau, tagak meninjau jarak (Artinya : hendaklah
mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, dan jangan menyia-nyiakan waktu).
- Dima
rantiang dipatah, disinan sumua digali (Artinya : dimana kita
tinggal, hendaklah menjunjung adat daerah setempat).
- Gadang
jan malendo, cadiak jan manjua (Artinya : seorang pemimpin jangan
menginjak anggotanya, sedangkan seorang yang cerdik jangan menipu orang
yang bodoh).
- Satinggi-tinggi
tabang bangau, babaliaknyo ka kubangan juo (Artinya : sejauh-jauh
pergi merantau, di hari tua akan kembali ke kampung asalnya).
Agama
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada
masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang
bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan
masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat,
terutama pada kawasan Pariaman, namun
kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada
pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang
Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman
Minangkabau. Serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk
kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan
di dataran tinggi Minangkabau.
Referensi:
A.M.Z. Tuanku Kayo Khadimullah, 2007. “ Menuju
Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau:Peranan
Ulama Sufi dalam Pembaruan Adat ”. Marja.
Kato, Tsuyoshi, 2005. Adat Minangkabau dan merantau
dalam perspektif sejarah. PT Balai
Pustaka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Minangkabau#Wilayah_budaya.html, diakses pada tanggal 5 Desember 2013 pukul 22.15 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar