Selasa, 11 Juli 2017

Cerpen

CERPEN: BERAWAL DARI AKHIR
By: Syam_Panritalopi

Di sini, aku masih menantimu atas nama kesetiaan dan harapan. Hari-hari yang dahulu terlewati bersamamu, kini tak lagi menjelma seperti biasanya. Malam-malamku kian sunyi tanpa canda tawa dan gurauanmu, bahkan jangkrik enggan bersahutan menyanyikan lagu rindu dari syair derita dan bintang pun tampaknya tak ingin membagi sinarnya dalam malamku yang kelabu. Kemarin aku masih bercanda, masih bisa berbicara denganmu. Aku masih menjemput dan mengatar ke tempat aktivitasmu melewatkan waktu. Melewatkan kebersamaan yang seharusnya menjadi milik kita. Malam itu, malam sebelum kepergianmu, aku selalu ramahkan senyum. Berusaha tegarkan hati, meski rintihannya mengundang air mata.
Kamu selalu setia mendengar ceritaku, menjadi penyimak setiap bait kata-kataku yang isinya hanyalah kedukaan semata. Jemari lentikmu yang berjejer di telapak halusmu, selalu kamu gunakan mengusap pipiku yang berurai air mata kepedihan. Kamu mengahapus segala laraku dengan kesantunan budimu, nasihatmu yang mengandung ucapan Tuhan di dalam tutur bahasamu, dan parasmu yang menentramkan kegusaranku.
Kamu adalah kekasih setiaku. Tempat menumpahkan segala kegelisahnku, tempat dimana aku berteduh dari derasnya cobaan hidup yang mengalir seakan tanpa henti. Kamu adalah tempat terbaikku, selain pangkuan ibuku.
Aku mengajakmu hadir dalam hidupku, dengan caraku yang tak pantas aku sebut itu: cinta dan kasih sayang. Seringkali aku mengabaikanmu, bahkan menyakiti perasaanmu dengan lidahku yang terkadang menyayat batinmu. Aku tak pernah bertanya tentang sedihmu, dukamu bahkan bahagiamu sendiri. Meski aku egois, tapi kamu selalu menanggapiku lewat senyumanmu yang bermadu, menatapku dengan penuh kelembutan. Sorot cahaya terbingkai disepasang bola matamu yang indah itu, memberiku semangat olehnya.
Harus aku akui. Aku selalu bernarasi akan kepedihanku, laraku, dukaku dan kucurahkan segala masalahku kepadamu, meski aku tahu bebanmu membubung tinggi dipundakmu. Setiap hari kala berbagi cerita denganmu, hanyalah membahas topik mengenai diriku, tak pernah aku perhatikan tentang dirimu, hingga pada saatnya, aku tak pernah tahu apa-apa akan tentangmu, selain rasa sesal membekukan kekal dalam sukmaku.
Pada akhirnya, sadarku akan dirimu adalah aku sangat mencintaimu dan menyayangimu. Aku butuh kamu menjadi sayapku, tatkala aku ingin terbang meninggalkan kedurjaan hidup yang membelenggu dengan tali kepedihan ini. Aku ingin kamu jadi tulang rusukku, menyempurnakan kelemahanku, dan menjadi bagian tubuhku yang selama ini tak utuh karena bagian lainnya ada pada dirimu. Tapi apalah dayaku, kenyataan bahwa aku mampu memeluk gunung, namun sesungguhnya itu hanyalah ilusi semuh dari pikiran imajinasiku.
Hadirnya kesadaranku akan sosokmu, di kala kamu telah berada di seberang pulau, tempat pertama kalimu membuka mata dan mengenal dunia. Jarak menjadi pemisah, dan hanya waktu jadi penentu segalanya.
Masih ingtakah kamu? Ketika aku mengantarmu ke bandara dengan rasa kesal, emosi, sedih. Semuanya bercampur menjelma jadi duka. Aku sebenarnya ingin melarangmu meninggalkan semua cerita ini, cerita yang telah kita tulis ribuan halaman selama 4 tahun. Tapi kini, semuanya terhapus tanpa sisa. Tersisah hanyalah luka.
Kita telah membangun sebuah rumah impian, kelak kita sebut itu bahtera rumah tangga. Tempat dimana kita bersua, beranak dan memiliki kehidupan layaknya kebanyakan orang. Tapi kini, impian itu sinar dikibas badai yang menghantam bersama kepergian dirimu.
Aku hanya bisa terpaku kaku, entah harus menjabat tanganmu atau memelukmu untuk berpamitan dalam perpisahan memilikuan ini. Kebisuanku, lalu membuatmu melangkah perlahan, memasuki pintu itu, kamu berjalan tegap, pandangan lurus, seolah tak mau lagi menoleh dan berbalik menatap ke arahku, yang sedang kaku seperti patung. Saat itu hujan turun, bukan menyiram bumi, tapi menyiram wajahku yang pucat memerah. Memdamkan gejolak kesedihan.
Aku berbalik meninggalkan mimpi buruk ini. Tiba-tiba saja, pelukan erat dari belakang membelit tubuhku. Ku dengar suara bergetar, yang aku maknai itu adalah tangismu.
“Jika perpisahan ini adalah luka. Kutitipkan rindu sebagai penawarnya. Jika perpisahan ini adalah takdir, restui aku dengan keikhlasanmu. Dunia ini tak menghendaki kita bersama, maka izinkanlah aku jadikan bumi dan lngit sebagai saksi, aku akan menunggumu di pintu rumahku pada kehidupan selanjutnya, setelah kematian datang menjemput kita berdua”. Katamu saat masih memelukku erat.
Aku berbalik. Kedua tanganku gemetar kaku, menghapus air mata yang membasahi wajahmu. Aku tak mampu lagi berbuat apa-apa selain itu. Aku menyodorkanmu selembar potret yang tak berwarna.
“Andai tiba waktunya, rambutmu telah berubah warna, memorimu tak lagi mampu mengenangku, maka pandanglah potret ini. Senyumku abadi di ditu!”. Kataku ketika memberikannya kepadamu.
Kedua tangan kita tak lagi saling menggenggam. Kamu lalu beranjak pergi, meski enggan untuk melangkah. Di balik jendela kaca itu, kamu melambaikan tangan kananmu disertai senyum yang tak dapat aku tafsirkan. Aku tak membalas lambaianmu, mataku yang berkaca-kaca, sudah cukup sebagai tanda yang membisu, dan aku paham betul, kamu tahu alasannya. Lalu dirimu menghilang di antara kerumunan orang-orang itu. Pesawat yang membawamu pergi, meninggalkan suara kerinduan.
Peripsahan ini telah meremukkan jantungku, hingga nafasku pun tak lagi berhembus dikala dahulu. Kini kamu di sana, ribuan kilometer dariku, membawa luka yang takkan pernah sembuh, sampai akhirnya maut menyembuhkannya. Sesungguhnya aku tak ingin mati karena perpisahan ini, tetapi dengan meninggalkanku, kamu telah menyediakan kafan untukku. Aku tak ingin mati tanpa memanggil namamu, meski aku menjerit, suaraku tak mampu menjamah pendengaranmu.
Di sini, di kota ini, tempat dimana kamu meninggalkanku dengan makam tanpa batu nisan, dan tanpa nama, yang tampak hanyalah gundukan tanah kering, karena air mataku tak dapat lagi membasahinya.
Andai kabar kematianku menghampirimu, tiupkanlah debuh suci dari tanah yang kamu injak, sematkan doa, lalu bisikan pada angin yang membawa debu itu menghembus makamku, agar kepergianku dari kefanaan dunia ini, menjadi tenang mendengar doa dan memeluk bayangmu.
“Aku mencintaimu dan sangat menyayangimu. Bagiku kamulah tempat terbaikku, selain di pangkuan ibuku”. Tertulis di belakang potret itu.
***
Nama   : Nursyam
            (Panggilan Syam. Nama pena: Syam_Panritalopi)
Alamat : Jl. Daeng Tata 4 No. 7 Kota Makassar
Status  : Mahasiswa Pascasarjana UNM

Nomor Hp : 085240743459

Tidak ada komentar:

Posting Komentar