CERPEN: BERAWAL DARI AKHIR
By: Syam_Panritalopi
Di
sini, aku masih menantimu atas nama kesetiaan dan harapan. Hari-hari yang dahulu
terlewati bersamamu, kini tak lagi menjelma seperti biasanya. Malam-malamku
kian sunyi tanpa canda tawa dan gurauanmu, bahkan jangkrik enggan bersahutan menyanyikan
lagu rindu dari syair derita dan bintang pun tampaknya tak ingin membagi
sinarnya dalam malamku yang kelabu. Kemarin aku masih bercanda, masih bisa berbicara
denganmu. Aku masih menjemput dan mengatar ke tempat aktivitasmu melewatkan
waktu. Melewatkan kebersamaan yang seharusnya menjadi milik kita. Malam itu,
malam sebelum kepergianmu, aku selalu ramahkan senyum. Berusaha tegarkan hati,
meski rintihannya mengundang air mata.
Kamu
selalu setia mendengar ceritaku, menjadi penyimak setiap bait kata-kataku yang
isinya hanyalah kedukaan semata. Jemari lentikmu yang berjejer di telapak
halusmu, selalu kamu gunakan mengusap pipiku yang berurai air mata kepedihan.
Kamu mengahapus segala laraku dengan kesantunan budimu, nasihatmu yang
mengandung ucapan Tuhan di dalam tutur bahasamu, dan parasmu yang menentramkan
kegusaranku.
Kamu
adalah kekasih setiaku. Tempat menumpahkan segala kegelisahnku, tempat dimana
aku berteduh dari derasnya cobaan hidup yang mengalir seakan tanpa henti. Kamu
adalah tempat terbaikku, selain pangkuan ibuku.
Aku
mengajakmu hadir dalam hidupku, dengan caraku yang tak pantas aku sebut itu:
cinta dan kasih sayang. Seringkali aku mengabaikanmu, bahkan menyakiti
perasaanmu dengan lidahku yang terkadang menyayat batinmu. Aku tak pernah
bertanya tentang sedihmu, dukamu bahkan bahagiamu sendiri. Meski aku egois,
tapi kamu selalu menanggapiku lewat senyumanmu yang bermadu, menatapku dengan
penuh kelembutan. Sorot cahaya terbingkai disepasang bola matamu yang indah itu,
memberiku semangat olehnya.
Harus
aku akui. Aku selalu bernarasi akan kepedihanku, laraku, dukaku dan kucurahkan
segala masalahku kepadamu, meski aku tahu bebanmu membubung tinggi dipundakmu.
Setiap hari kala berbagi cerita denganmu, hanyalah membahas topik mengenai diriku,
tak pernah aku perhatikan tentang dirimu, hingga pada saatnya, aku tak pernah
tahu apa-apa akan tentangmu, selain rasa sesal membekukan kekal dalam sukmaku.
Pada
akhirnya, sadarku akan dirimu adalah aku sangat mencintaimu dan menyayangimu. Aku
butuh kamu menjadi sayapku, tatkala aku ingin terbang meninggalkan kedurjaan
hidup yang membelenggu dengan tali kepedihan ini. Aku ingin kamu jadi tulang
rusukku, menyempurnakan kelemahanku, dan menjadi bagian tubuhku yang selama ini
tak utuh karena bagian lainnya ada pada dirimu. Tapi apalah dayaku, kenyataan
bahwa aku mampu memeluk gunung, namun sesungguhnya itu hanyalah ilusi semuh
dari pikiran imajinasiku.
Hadirnya
kesadaranku akan sosokmu, di kala kamu telah berada di seberang pulau, tempat
pertama kalimu membuka mata dan mengenal dunia. Jarak menjadi pemisah, dan
hanya waktu jadi penentu segalanya.
Masih
ingtakah kamu? Ketika aku mengantarmu ke bandara dengan rasa kesal, emosi,
sedih. Semuanya bercampur menjelma jadi duka. Aku sebenarnya ingin melarangmu
meninggalkan semua cerita ini, cerita yang telah kita tulis ribuan halaman selama
4 tahun. Tapi kini, semuanya terhapus tanpa sisa. Tersisah hanyalah luka.
Kita
telah membangun sebuah rumah impian, kelak kita sebut itu bahtera rumah tangga.
Tempat dimana kita bersua, beranak dan memiliki kehidupan layaknya kebanyakan
orang. Tapi kini, impian itu sinar dikibas badai yang menghantam bersama
kepergian dirimu.
Aku
hanya bisa terpaku kaku, entah harus menjabat tanganmu atau memelukmu untuk
berpamitan dalam perpisahan memilikuan ini. Kebisuanku, lalu membuatmu
melangkah perlahan, memasuki pintu itu, kamu berjalan tegap, pandangan lurus,
seolah tak mau lagi menoleh dan berbalik menatap ke arahku, yang sedang kaku seperti
patung. Saat itu hujan turun, bukan menyiram bumi, tapi menyiram wajahku yang pucat
memerah. Memdamkan gejolak kesedihan.
Aku
berbalik meninggalkan mimpi buruk ini. Tiba-tiba saja, pelukan erat dari
belakang membelit tubuhku. Ku dengar suara bergetar, yang aku maknai itu adalah
tangismu.
“Jika
perpisahan ini adalah luka. Kutitipkan rindu sebagai penawarnya. Jika
perpisahan ini adalah takdir, restui aku dengan keikhlasanmu. Dunia ini tak
menghendaki kita bersama, maka izinkanlah aku jadikan bumi dan lngit sebagai
saksi, aku akan menunggumu di pintu rumahku pada kehidupan selanjutnya, setelah
kematian datang menjemput kita berdua”. Katamu saat masih memelukku erat.
Aku
berbalik. Kedua tanganku gemetar kaku, menghapus air mata yang membasahi
wajahmu. Aku tak mampu lagi berbuat apa-apa selain itu. Aku menyodorkanmu
selembar potret yang tak berwarna.
“Andai
tiba waktunya, rambutmu telah berubah warna, memorimu tak lagi mampu
mengenangku, maka pandanglah potret ini. Senyumku abadi di ditu!”. Kataku ketika
memberikannya kepadamu.
Kedua
tangan kita tak lagi saling menggenggam. Kamu lalu beranjak pergi, meski enggan
untuk melangkah. Di balik jendela kaca itu, kamu melambaikan tangan kananmu
disertai senyum yang tak dapat aku tafsirkan. Aku tak membalas lambaianmu, mataku
yang berkaca-kaca, sudah cukup sebagai tanda yang membisu, dan aku paham betul,
kamu tahu alasannya. Lalu dirimu menghilang di antara kerumunan orang-orang itu.
Pesawat yang membawamu pergi, meninggalkan suara kerinduan.
Peripsahan
ini telah meremukkan jantungku, hingga nafasku pun tak lagi berhembus dikala dahulu.
Kini kamu di sana, ribuan kilometer dariku, membawa luka yang takkan pernah
sembuh, sampai akhirnya maut menyembuhkannya. Sesungguhnya aku tak ingin mati
karena perpisahan ini, tetapi dengan meninggalkanku, kamu telah menyediakan
kafan untukku. Aku tak ingin mati tanpa memanggil namamu, meski aku menjerit,
suaraku tak mampu menjamah pendengaranmu.
Di
sini, di kota ini, tempat dimana kamu meninggalkanku dengan makam tanpa batu
nisan, dan tanpa nama, yang tampak hanyalah gundukan tanah kering, karena air
mataku tak dapat lagi membasahinya.
Andai
kabar kematianku menghampirimu, tiupkanlah debuh suci dari tanah yang kamu
injak, sematkan doa, lalu bisikan pada angin yang membawa debu itu menghembus
makamku, agar kepergianku dari kefanaan dunia ini, menjadi tenang mendengar doa
dan memeluk bayangmu.
“Aku
mencintaimu dan sangat menyayangimu. Bagiku kamulah tempat terbaikku, selain di
pangkuan ibuku”. Tertulis di belakang potret itu.
***
Nama : Nursyam
(Panggilan Syam. Nama pena: Syam_Panritalopi)
Alamat : Jl. Daeng Tata 4 No. 7 Kota Makassar
Status : Mahasiswa Pascasarjana UNM
Nomor Hp : 085240743459
Tidak ada komentar:
Posting Komentar