Senin, 26 Desember 2016



TEORI ILMU SOSIAL KRITIS
OLEH:
NURSYAM
IPS ANTROPOLOGI PPs UNM 2016
______________________________________________________________________
Ilmu Sosial Kritis
            Istilah teori kritik pertama kali dipopulerkan oleh Max Horkheimer pada tahun 1937, melalui sebuah esainya yang berjudul Traditional and Critical Theory. Menurut Horkheimer, teori kritik merupakan teori sosial berorientasi perubahan masyarakat secara keseluruhan dalam arti masyarakat yang adil dan bebas penindasan. Teori kritik berbeda dengan teori sebelumnya, yang pada umumnya hanya berorientasi pada pendeskripsian, pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena sosial (Haryanto, 2016).
            Teori kritis bukan sekadar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris, yang harus memenuhi tiga syarat: pertama, bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya, seperti telah dilakukan Karl Marx terhadap sistem kapitalisme. Kedua, berpikir secara historis berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang “historis”. Ketiga, tidak memisahkan teori dengan praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang objektif (Adian, 2001).

            Teori kritik adalah teori yang lahir dari ketidaksetaraan dalam suatu sistem atau disebut sebagai structural inequality yang inherent dalam suatu masyarakat khususnya masyarakat Barat di bawah sistem kapitalisme. Ada dua aliran utama dari teori kritik, yaitu positivis dan post-positivisme. Teori termasuk positivis adalah marxisme, neo-marxisme dan neo-gramscianisme, sedangkan teori yang “bergerak” beyond positivism, yaitu teori yang dikategorikan sebagai  supra-critical karena teori-teori ini tidak bergerak sesuai dengan alur yang ada dan tetap dalam paham positivisme yang begitu kental dengan nilai-nilai akurasi tinggi, anti-relativitas (universalitas), konsisten dengan pengetahuan yang telah mapan dan bersifat parsimonial (Sugiono, 2009).
            Teori kritik bagian aliran filsafat berinspirasi Marx, tetapi paling jauh meninggalkan Marx. Teori kritik lahir dalam konteks masyarakat yang sedang mengalami keresahan. Berbagai fenomena sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, eksploitasi dan penindasan manusia atas manusia (Haryanto, 2016).
            Masyarakat yang ingin dibangun Horkheimer adalah masyarakat yang rasional atau masyarakat emansipatoris, yakni masyarakat tempat manusia di dalamnya bebas dari belenggu yang menghambat realitasnya sebagai manusia, dengan kata lain manusia berdaulat atas dirinya. Teori Marxian menjadi sasaran kritik, karena beberapa aspek teori Marx tidak lagi relevan dengan masa. Pada awal perkembangan kapitalisme-modal menjadi kekuatan produktif utama pada perkembangan selanjutnya teknik dan ilmu pengetahuanlah menggantikannya. Marx mengandaikan kaum buruh bersatu padu, mempunyai class counciousness dan menjadi aktor utama revolusi melawan kaum borguise. Hal ini menurut Horkehimer tidak lagi demikian. Kaum buruh tidak dapat menjadi subjek revolusi. Kesadaran kelas tidak mungkin terbangun di kalangan kaum buruh. Horkeimer tidak menghendaki adanya revolusi untuk mencapai masyarakat yang diinginkan, karena hanya akan melahirkan kondisi seperti semula (Haryanto, 2016).
            Konten utama teori kritik dalam Ritzer dan Goodman (2008), yaitu kritik t teori Marx, kritik positivisme, kritik sosiologi, kritik masyarakat modern dan kritik kultur.
1.      Kritik terhadap Teori Marx
            Kritik teori Marx ditujukan pada determinisme ekonomi yang mekanistis. Menurut teori kritik, kekeliruan teori Marx adalah pengabaiannya terhadap aspek sosial lain. Misalnya, teori kritik menolak asumsi teori Marxian menyatakan bahwa negara sebagai bentuk alamiah masyarakat politik, keberadaan negara merupakan realitas universal dan alamiah. Teori kritik berusaha menunjukkan bahwa pemahaman seperti itu menimbulkan masalah etis yang menghambat pencapaian kebebasan, keadilan dan kesederajatan. Organisasi kehidupan politik dalam bentuk negara modern menghasilkan dua kategori manusia: manusia dan warga negara. Warga negara dari sebuah negara tertentu dapat menikmati hak-hak istimewa tertentu yang tidak dimiliki individu yang bukan warga negara. Menurut Pollock dan Horkheimer, peradaban manusia tidak “berakhir” pada bentuk komunisme negara, tetapi “kapitalisme negara” (state capitalism) sebagai bentuk perkembangan terakhir kapitalisme (Sugiono, 2009).
            Kapitalisme negara mempunyai ciri-ciri berikut:
a.       Harga diatur negara dalam hubungannya dengan rencana terpusat.
b.      Negara menentukan siapa yang dapat dan siapa yang tidak dapat keuntungan.
c.       Proses produksi dikendalikan dengan prinsip manajemen ilmiah. Buruh/pekerja tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, hanya sebagai pelaksana keputusan.
d.      Negara menjadi instrument dalam menyatukan elit politik manajer senior, kelas atas birokrasi pemerintah, militer, pemimpin partai dan aparatur negara (Walters dalam Haryanto, 2016).
2.      Kritik terhadap Positivisme
            Teori kritik berpandangan bahwa ilmu sosial positif yang berkembang diberbagai belahan dunia hanya menekankan pada penjelasan pengetahuan dasar-dasar metodologi dan epistemologi, hanya berkutat penjelasan dan pembuktian teoretis, melupakan dimensi aksiologi ilmu itu sendiri, yakni untuk membebaskan manusia dari berbagai kondisi tidak menguntungkan. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai hukum alam (natural law) (Haryanto, 2016).
            Ilmu sosial yang dipengaruhi positivisme beranggapan bahwa masyarakat merupakan fenomena objektif bersifat ahistoris. Ilmu sosial postivistik melihat bahwa hakikat manusia tidak ubahnya sdata mati yang tidak bergerak. Peneliti sosial sama sekali tidak memihak atau memikirkan nasib masyarakat yang sedang ditelitinya. Secara epistimologis dan aksiologis ilmu sosial positivistik menempatkan subjek secara terpisah dari objek, tepatnya peneliti dengan yang diteliti. Menurut Hebermas, positivisme telah mengabaikan aktor karena menurunkan aktor ke derajat pasif ditentukan oleh kekuatan alamiah. Manusia dalam pandangan ilmu positivistik tidak mempunyai subjektivitas. Aksiologis hanya mempunyai kepentingan “data”, tidak memedulikan kondisi masyarakat serta kegunaan hasil penelitian. Di sisi lain, ilmu sosial kritis menempatkan manusia sebagai subjek mempunyai kekuatan sejarahnya sendiri. Ilmuwan sosial kritis mempunyai kewajiban moral untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang ditelitinya sebagai praktik aksi berperan sebagai sumber dan pengesahan teori (Haryanto, 2016).
3.      Kritik terhadap Sosiologi
            Teori kritik berpandangan bahwa sosiologi tidak serius mengkritik masyarakat, tidak berusaha merombak struktur sosial masa kini. Menurut aliran kritik, sosiologi telah melepaskan kewajibannya untuk membantu rakyat yang ditindas  oleh masyarakat masa kini (Ritzer dan Goodman, 2008).
            Sosiologi positivistik melihat masyarakat sebagai fenomena objektif yang dapat dideskripsikan sebagai seperangkat kekuatan tidak mengenal sejarah (ahistoris). Pada masyarakat kapitalis, sosiologi positivistik dikembangkan dengan cara mengasingkan individu dalam proses penciptaan sejarah dan karena itu sosiologi gagal dalam menganalisis masyarakat sebagai sebuah bangunan kemanusiaan. Positivisme dalam sosiologi “diturunkan” dari natural science, larut dalam pandangan bahwa ilmu dikatakan positif apabila mampu meramalkan dan mengontrol alam. Namun, ketika hal itu diterapkan pada manusia akan cenderung mengabaikan hubungan kemanusiaan, mengendepankan rasional instrumental daripada moral bahkan mendukung penindasan atas manusia (Haryanto, 2016).

4.      Kritik terhadap Masyarakat Modern
            Masalah yang berkaitan dengan kultur merupakan realitas masyarakat kapitalis modern. Teori kritik yakin bahwa penindasan terjadi pada masyarakat modern adalah penindasan kultural atas individu dalam masyarakat (Ritzer dan Goodman, 2008). Teori kritik melihat bahwa modern adalah masyarakat irasional. Dalam masyarakat ini, produksi sebenarnya tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia diciptakan dimanipulasikan demi produksi. Teori kritik membuka tabir irasional dan berharap dapat membebaskan manusia pada kemanusiaan sebenarnya (Sindhunata dalam Haryanto, 2016).
            Dalam upaya melakukan kritik terhadap masyarakat modern, teori kritik dipengaruhi oleh analisis Weber, terutama tentang rasionalitas. Menurut teori kritik, tindakan dalam terminologi Weberian disebut sebagai rasional formal merupakan tindakan dipengaruhi cara berpikir teknokratis, untuk membantu kekuatan yang mendominasi, bukan untuk membebaskan individu dari dominasi (Ritzer dan Goodman, 2008).
5.      Kritik terhadap Kultur
            Teori kritik melontarkan kritik terhadap “industri kultur”, yakni struktur dirasionalisasi dan dibirokrasi (misalya, jaringan televisi) mengendalikan kultur modern. Industri kultur menghasilkan “kultur massa” didefenisikan sebagai “kultur yang diatur, tidak spontan, dimaterialkan dan palsu” (Ritzer dan Goodman, 2008).           Kritik ini sangat tepat dengan realitas kekinian. Fenomena global saat ini ditandai dengan industri kultur bersifat masif karena strategi pencitraan sangat efektif melalui media massa, terutama televisi. Gaya hidup para elit penuh glamor dipopulerkan oleh artis idola masyarakat menjadi gaya hidup masyarakat kebanyakan. Kapitalisme menyediakan berbagai komoditas (produk) termasuk komoditas mewah secara ekonomis berdampak inefisiensi sumber daya (Haryanto, 2016).
            Wujud nyata dari konsekuensi budaya massa adalah tumbuhnya budaya konsumerisme di kalangan masyarakat, telah meruntuhkan akal sehat, tidak lagi membedakan antara keinginan (want) dengan kebutuhan (need), tidak hanya melanda lapisan masyarakat kelas atas, tetapi juga di kalangan masyarakat bawah. Konsumerisme telah menjadi “ideologi” palsu membius dan menghalusinasi masyarakat. Perspektif kritis mengenai konsumerisme dari titik pijak observasi bahwa orang-orang seringkali menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan sejati (Haryanto, 2016).
            Sementara sisi perusahaan kapitalis, iklan menjadi senjata ampuh, bahkan dianggap “dewa” menentukan hidup-matinya perusahaan. Teori kritik menggunakan metode deskripsi dan evaluasi berasal dari Karl Marx dan Hegel. Metode Immanent critique, merupakan metode interdisipliner dalam melakukan penelitiann sosial. Poin dari Immanent critique, melihat secara empirik realitas sosial menegasikan klaim-klaim yang ada di dalamnya. Teori kritik mengahasilkan analisis teoretis tentang transformasi kapitalisme kompetitif ke kapitalisme monopoli dan fasisme, serta berharap menjadi bagian dari proses historis melalui kapitalisme yang akan digantikan sosialisme. Horkheimer mengakui bahwa kategori yang muncul dalam teori tradisional memengaruhi kritiknya. Kategori Marx seperti kelas, eksploitasi, nilai lebih, keuntungan, pemiskinan, harus dimaknai bukan sebagai reproduksi masyarakat saat ini, melainkan melihat nilai transformasinya menuju masyarakat yang benar. Teori kritik harus selalu loyal terhadap “ide tentang masyarakat masa depan terdapat di dalamnya manusia bebas” (Turner, 2006).
Kesimpulan
            Teori kritis dalam menyahuti zamannya, perlu usaha terus-menerus untuk merevitalisasi, mengoreksi dan mereaktualisasikan sebuah konstruksi teori dengan isu-isu wordlife yang paling up todate. Teori kritis terhadap masyarakat modern adalah rasio instrumental, yang telah menciptakan suatu sistem dominasi baru menurut Horkheimer “…dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, namun saat ini industrialisme dengan rasio teknokratisnya membendakan jiwa-jiwa”. (Jauhari, 2012).
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. 2001. Arus Pemikiran Kontemporer. Jakarta: Jalasutra.
Haryanto, Sindung. 2016. Spektrum Teori Sosial: dari Klasik hingga Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Jauhari, Imam B. 2012. Teori Sosial: Proses Islamisasi dalam Sistem Ilmu   Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. (Terjemahan:       Alimandan). Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan D. Bandung: Alfabeta.
Turner, Bryan. 2006. Teori-teori Sosiologi Modernitas Globalitas. Yogyakarta: Pustaka      Pelajar Offset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar