TEORI
ILMU SOSIAL KRITIS
OLEH:
NURSYAM
IPS
ANTROPOLOGI PPs UNM 2016
______________________________________________________________________
Ilmu Sosial Kritis
Istilah
teori kritik pertama kali dipopulerkan oleh Max Horkheimer pada tahun 1937,
melalui sebuah esainya yang berjudul Traditional
and Critical Theory. Menurut Horkheimer, teori kritik merupakan teori
sosial berorientasi perubahan masyarakat secara keseluruhan dalam arti
masyarakat yang adil dan bebas penindasan. Teori kritik berbeda dengan teori
sebelumnya, yang pada umumnya hanya berorientasi pada pendeskripsian, pemahaman
dan penjelasan terhadap fenomena sosial (Haryanto, 2016).
Teori
kritis bukan sekadar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas,
melainkan bersifat emansipatoris, yang harus memenuhi tiga syarat: pertama, bersikap kritis dan curiga
terhadap zamannya, seperti telah dilakukan Karl Marx terhadap sistem
kapitalisme. Kedua, berpikir secara
historis berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang “historis”. Ketiga, tidak memisahkan teori dengan
praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil
yang objektif (Adian, 2001).
Teori
kritik bagian aliran filsafat berinspirasi Marx, tetapi paling jauh
meninggalkan Marx. Teori kritik lahir dalam konteks masyarakat yang sedang
mengalami keresahan. Berbagai fenomena sosial, seperti kemiskinan,
pengangguran, eksploitasi dan penindasan manusia atas manusia (Haryanto, 2016).
Masyarakat
yang ingin dibangun Horkheimer adalah masyarakat yang rasional atau masyarakat
emansipatoris, yakni masyarakat tempat manusia di dalamnya bebas dari belenggu
yang menghambat realitasnya sebagai manusia, dengan kata lain manusia berdaulat
atas dirinya. Teori Marxian menjadi sasaran kritik, karena beberapa aspek teori
Marx tidak lagi relevan dengan masa. Pada awal perkembangan kapitalisme-modal
menjadi kekuatan produktif utama pada perkembangan selanjutnya teknik dan ilmu
pengetahuanlah menggantikannya. Marx mengandaikan kaum buruh bersatu padu,
mempunyai class counciousness dan
menjadi aktor utama revolusi melawan kaum borguise.
Hal ini menurut Horkehimer tidak lagi demikian. Kaum buruh tidak dapat
menjadi subjek revolusi. Kesadaran kelas tidak mungkin terbangun di kalangan
kaum buruh. Horkeimer tidak menghendaki adanya revolusi untuk mencapai
masyarakat yang diinginkan, karena hanya akan melahirkan kondisi seperti semula
(Haryanto, 2016).
Konten
utama teori kritik dalam Ritzer dan Goodman (2008), yaitu kritik t teori Marx,
kritik positivisme, kritik sosiologi, kritik masyarakat modern dan kritik
kultur.
1.
Kritik
terhadap Teori Marx
Kritik
teori Marx ditujukan pada determinisme ekonomi yang mekanistis. Menurut teori
kritik, kekeliruan teori Marx adalah pengabaiannya terhadap aspek sosial lain.
Misalnya, teori kritik menolak asumsi teori Marxian menyatakan bahwa negara
sebagai bentuk alamiah masyarakat politik, keberadaan negara merupakan realitas
universal dan alamiah. Teori kritik berusaha menunjukkan bahwa pemahaman
seperti itu menimbulkan masalah etis yang menghambat pencapaian kebebasan,
keadilan dan kesederajatan. Organisasi kehidupan politik dalam bentuk negara
modern menghasilkan dua kategori manusia: manusia dan warga negara. Warga
negara dari sebuah negara tertentu dapat menikmati hak-hak istimewa tertentu
yang tidak dimiliki individu yang bukan warga negara. Menurut Pollock dan
Horkheimer, peradaban manusia tidak “berakhir” pada bentuk komunisme negara,
tetapi “kapitalisme negara” (state
capitalism) sebagai bentuk perkembangan terakhir kapitalisme (Sugiono,
2009).
Kapitalisme
negara mempunyai ciri-ciri berikut:
a. Harga
diatur negara dalam hubungannya dengan rencana terpusat.
b. Negara
menentukan siapa yang dapat dan siapa yang tidak dapat keuntungan.
c. Proses
produksi dikendalikan dengan prinsip manajemen ilmiah. Buruh/pekerja tidak
terlibat dalam pembuatan keputusan, hanya sebagai pelaksana keputusan.
d. Negara
menjadi instrument dalam menyatukan elit politik manajer senior, kelas atas
birokrasi pemerintah, militer, pemimpin partai dan aparatur negara (Walters
dalam Haryanto, 2016).
2.
Kritik
terhadap Positivisme
Teori
kritik berpandangan bahwa ilmu sosial positif yang berkembang diberbagai
belahan dunia hanya menekankan pada penjelasan pengetahuan dasar-dasar
metodologi dan epistemologi, hanya berkutat penjelasan dan pembuktian teoretis,
melupakan dimensi aksiologi ilmu itu sendiri, yakni untuk membebaskan manusia
dari berbagai kondisi tidak menguntungkan. Keyakinan dasar dari paradigma
positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas
berada (exist) dalam kenyataan dan
berjalan sesuai hukum alam (natural law)
(Haryanto, 2016).
Ilmu
sosial yang dipengaruhi positivisme beranggapan bahwa masyarakat merupakan
fenomena objektif bersifat ahistoris. Ilmu sosial postivistik melihat bahwa
hakikat manusia tidak ubahnya sdata mati yang tidak bergerak. Peneliti sosial
sama sekali tidak memihak atau memikirkan nasib masyarakat yang sedang
ditelitinya. Secara epistimologis dan aksiologis ilmu sosial positivistik
menempatkan subjek secara terpisah dari objek, tepatnya peneliti dengan yang
diteliti. Menurut Hebermas, positivisme telah mengabaikan aktor karena
menurunkan aktor ke derajat pasif ditentukan oleh kekuatan alamiah. Manusia
dalam pandangan ilmu positivistik tidak mempunyai subjektivitas. Aksiologis
hanya mempunyai kepentingan “data”, tidak memedulikan kondisi masyarakat serta
kegunaan hasil penelitian. Di sisi lain, ilmu sosial kritis menempatkan manusia
sebagai subjek mempunyai kekuatan sejarahnya sendiri. Ilmuwan sosial kritis
mempunyai kewajiban moral untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang ditelitinya
sebagai praktik aksi berperan sebagai sumber dan pengesahan teori (Haryanto,
2016).
3.
Kritik
terhadap Sosiologi
Teori
kritik berpandangan bahwa sosiologi tidak serius mengkritik masyarakat, tidak
berusaha merombak struktur sosial masa kini. Menurut aliran kritik, sosiologi
telah melepaskan kewajibannya untuk membantu rakyat yang ditindas oleh masyarakat masa kini (Ritzer dan
Goodman, 2008).
Sosiologi
positivistik melihat masyarakat sebagai fenomena objektif yang dapat
dideskripsikan sebagai seperangkat kekuatan tidak mengenal sejarah (ahistoris).
Pada masyarakat kapitalis, sosiologi positivistik dikembangkan dengan cara
mengasingkan individu dalam proses penciptaan sejarah dan karena itu sosiologi
gagal dalam menganalisis masyarakat sebagai sebuah bangunan kemanusiaan.
Positivisme dalam sosiologi “diturunkan” dari natural science, larut dalam pandangan bahwa ilmu dikatakan positif
apabila mampu meramalkan dan mengontrol alam. Namun, ketika hal itu diterapkan
pada manusia akan cenderung mengabaikan hubungan kemanusiaan, mengendepankan
rasional instrumental daripada moral bahkan mendukung penindasan atas manusia
(Haryanto, 2016).
4.
Kritik
terhadap Masyarakat Modern
Masalah
yang berkaitan dengan kultur merupakan realitas masyarakat kapitalis modern.
Teori kritik yakin bahwa penindasan terjadi pada masyarakat modern adalah
penindasan kultural atas individu dalam masyarakat (Ritzer dan Goodman, 2008).
Teori kritik melihat bahwa modern adalah masyarakat irasional. Dalam masyarakat
ini, produksi sebenarnya tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia,
melainkan kebutuhan manusia diciptakan dimanipulasikan demi produksi. Teori
kritik membuka tabir irasional dan berharap dapat membebaskan manusia pada
kemanusiaan sebenarnya (Sindhunata dalam Haryanto, 2016).
Dalam
upaya melakukan kritik terhadap masyarakat modern, teori kritik dipengaruhi
oleh analisis Weber, terutama tentang rasionalitas. Menurut teori kritik,
tindakan dalam terminologi Weberian disebut sebagai rasional formal merupakan
tindakan dipengaruhi cara berpikir teknokratis, untuk membantu kekuatan yang
mendominasi, bukan untuk membebaskan individu dari dominasi (Ritzer dan
Goodman, 2008).
5.
Kritik
terhadap Kultur
Teori
kritik melontarkan kritik terhadap “industri kultur”, yakni struktur dirasionalisasi
dan dibirokrasi (misalya, jaringan televisi) mengendalikan kultur modern.
Industri kultur menghasilkan “kultur massa” didefenisikan sebagai “kultur yang
diatur, tidak spontan, dimaterialkan dan palsu” (Ritzer dan Goodman, 2008). Kritik ini sangat tepat dengan
realitas kekinian. Fenomena global saat ini ditandai dengan industri kultur
bersifat masif karena strategi pencitraan sangat efektif melalui media massa,
terutama televisi. Gaya hidup para elit penuh glamor dipopulerkan oleh artis
idola masyarakat menjadi gaya hidup masyarakat kebanyakan. Kapitalisme
menyediakan berbagai komoditas (produk) termasuk komoditas mewah secara
ekonomis berdampak inefisiensi sumber daya (Haryanto, 2016).
Wujud
nyata dari konsekuensi budaya massa adalah tumbuhnya budaya konsumerisme di
kalangan masyarakat, telah meruntuhkan akal sehat, tidak lagi membedakan antara
keinginan (want) dengan kebutuhan (need), tidak hanya melanda lapisan
masyarakat kelas atas, tetapi juga di kalangan masyarakat bawah. Konsumerisme
telah menjadi “ideologi” palsu membius dan menghalusinasi masyarakat.
Perspektif kritis mengenai konsumerisme dari titik pijak observasi bahwa
orang-orang seringkali menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang
yang sebenarnya tidak menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan sejati (Haryanto,
2016).
Sementara
sisi perusahaan kapitalis, iklan menjadi senjata ampuh, bahkan dianggap “dewa”
menentukan hidup-matinya perusahaan. Teori kritik menggunakan metode deskripsi
dan evaluasi berasal dari Karl Marx dan Hegel. Metode Immanent critique, merupakan metode interdisipliner dalam melakukan
penelitiann sosial. Poin dari Immanent
critique, melihat secara empirik realitas sosial menegasikan klaim-klaim
yang ada di dalamnya. Teori kritik mengahasilkan analisis teoretis tentang
transformasi kapitalisme kompetitif ke kapitalisme monopoli dan fasisme, serta
berharap menjadi bagian dari proses historis melalui kapitalisme yang akan
digantikan sosialisme. Horkheimer mengakui bahwa kategori yang muncul dalam
teori tradisional memengaruhi kritiknya. Kategori Marx seperti kelas,
eksploitasi, nilai lebih, keuntungan, pemiskinan, harus dimaknai bukan sebagai
reproduksi masyarakat saat ini, melainkan melihat nilai transformasinya menuju
masyarakat yang benar. Teori kritik harus selalu loyal terhadap “ide tentang
masyarakat masa depan terdapat di dalamnya manusia bebas” (Turner, 2006).
Kesimpulan
Teori
kritis dalam menyahuti zamannya, perlu usaha terus-menerus untuk
merevitalisasi, mengoreksi dan mereaktualisasikan sebuah konstruksi teori
dengan isu-isu wordlife yang paling up todate. Teori kritis terhadap
masyarakat modern adalah rasio instrumental, yang telah menciptakan suatu
sistem dominasi baru menurut Horkheimer “…dahulu kala animisme menjiwakan
benda-benda, namun saat ini industrialisme dengan rasio teknokratisnya
membendakan jiwa-jiwa”. (Jauhari, 2012).
Daftar
Pustaka
Adian,
Donny Gahral. 2001. Arus Pemikiran
Kontemporer. Jakarta: Jalasutra.
Haryanto,
Sindung. 2016. Spektrum Teori Sosial:
dari Klasik hingga Postmodern. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Jauhari,
Imam B. 2012. Teori Sosial: Proses
Islamisasi dalam Sistem Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori
Sosiologi Modern. (Terjemahan: Alimandan).
Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Sugiyono,
2009. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R dan D. Bandung: Alfabeta.
Turner,
Bryan. 2006. Teori-teori Sosiologi
Modernitas Globalitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar