Kamis, 12 Mei 2016

Sastra



Jilbab Merahmuda part 1
Sejak kamu mampir dalam hidupku, entah sengaja ataukah sudah ketentuan takdir, kamu dan aku akhirnya bersua pada momen yang menggembirakan. Pesta malam itu, kamu hadir dengan sejuta pesona yang bertebaran di ujung jilbabmu berwarna merahmuda. Mungkin kamu tidak menyadari bahwa seorang lelaki melirik dan sesekali mencuri pandang ke arahmu. Senyum di garis bibirmu yang bermadu semakin menambah syahdu retinaku yang menatapmu tiada henti, bahkan degupan jantungku melebihi dahsyatnya getaran gempa. Jika menatapmu adalah sebuah kekhilafan syahwat, maka biarakanlah aku larut dalam dosa, kelopak mata ini selalu terarah pada wajahmu yang memancarkan sinar keanggunan.
Malam itu merupakan malam beranugerah bagiku, seribu doa ku panjatkan kepada-Nya, agar suatu masa kita dapat bersua meski aku tak tahu siapa namamu dan tinggal dimana. Malam itu cepat berlalu, mentari menyapa dan semuanya berubah menjadi satu warna yang kelabu dan tak kudapati warnamu di sana, mungkin kesucianmu meluluhkan segalanya hingga kamu lebur dan menyatu bersama pancaran sinar sang mentari pengantar raja siang menguasai hari ini.
Semenjak malam itu cepat berlalu, mata ini enggan terpejam dan ingatanku selalu terjaga teringat akan sosokmu yang indah, bayanganmu menjelma di antara cahaya pijar bola lampu yang menggantung di atas tempat tidurku. Merahmuda begitu menyatu dengan raut wajah polosmu, garis bibirmu bagai cakrawala membentang di angkasa perias bulatnya langit. Jika saja aku seorang pujangga, entah berapa ribu puisi tercipta hanya dengan memuji sosokmu, tapi sayangnya aku hanyalah seorang pemimpi yang berpetualang di alam maya berkelana membuntuti bayangmu.
Melihatmu malam itu sungguh merupakan malam sejuta keajaiban bagiku, cerita dongeng tentang bidadari itu benar nyata setelah melihat sosokmu, walau tanpa sayap namun kharismamu menutupi kekurangan. Semoga saja malam itu terulang kembali, hingga kitapun dapat bertemu lagi, karena aku tak ingin menjadi pungguk perindu bulan.
Kini hari silih berganti, tetapi sosokmu tak lekang oleh memoriku. Hari ini adalah hari ketiga puluh setelah malam itu. Doa-doa yang kupanjatkan tak dapat kuhitung banyaknya. Pintaku hanya satu yang terus kuulang dalam untaian doa, bertemu denganmu lagi wahai bidadari penebar pesona keindahan dari ciptaan-Nya. Jika kita di takdirkan bertemu kembali, maka pada saat itu tak akan kulewatkan sedetikpun untuk mempertanyakan segalanya tentangmu, bahkan setidaknya aku tahu siapa panggilanmu.
Setelah beribu kali merengek dalam doa, akhirnya saat yang aku nantikan setelah ribuan menit terlewatkan, aku melihatmu tanpa sengaja di sebuah keramaian tempat orang datang dan pergi dengan tujuan mereka masaing-masing. Aku melihatmu dari kejauhan dan memperhatikan gelagakmu, mungkin saja kamu sedang menunggu seseorang atau akan melakukan perjalanan jauh dengan ransel besar yang kamu bawa serta kala itu. Langkahku segera saja membawaku menghampirimu meski mungkin kamu tak ingat aku, tapi setidaknya bibirku menyapamu ketika itu.
“Hai!!, maaf ganggu. Kamu yang malam itu pakai jilbab merahmuda kan?”. Dengan haru-biru bercampur deg-degan bibir ini melontarkan kalimat spontan dengan aksenku terkesan kampungan penuh semangat.
Senyum itu yang tak dapat aku hilangkan dari memoriku, senyum yang kamu suguhkan ketika menoleh ke arahku dan menjawab pertanyaanku. “Maaf ya, anda siapa? dan malam itu? Maksudnya?”. Kamu terlihat bingung dan tak mengerti maksudku.
“Sebulan yang lalu kamu datang ke pesta pernikahan kakaknya Riska kan? Aku juga datang, dan aku lihat kamu pakai jilbab merahmuda di sana saat itu”.
Beberapa detik kamu berpikir dan akhirnya ingat juga waktu itu. “Oh, iya, benar, koq masih ingat saja sih, kan udah lumayan lama. …………….”.
Perbincangan kita saat perjumpaan di terminal kala itu, kini menjadi kisah bersejarah dalam hidupku. Kita sering bermukanikasi bahkan intens berbagi kerinduan satu sama lain. Kebersamaan kita akhirnya  menuai benih asmara, aku berkeinginan menyatakan perasaan yang setelah sekian lama terpendam di sanubari tanpa dasar dalam hatiku dan tetap utuh tanpa terkikis oleh jarak dan waktu.
Hari yang kunanti tanpa henti tiba juga, aku akan lumatkan kalimat saktiku padamu, kamu mengajakku bertemu di tempat ketika aku dan kamu berbincang untuk pertama kalinya. Kamu duduk sembari melihat jam tangan di pergelangan tangan kananmu dengan raut wajah cemas campur gelisah, entah kamu sedang menunggu seseorang ataukah akan bepergian jauh, sebab aku lihat ransel pakaianmu di bawa serta hari itu. Rencana untuk mengujarkan kalimat saktiku jadi terasa terganggu. Aku hanya bisa pandang kegelisahan yang membuncah di sorot retinamu. Aku seringkali mengajakmu bicara tetapi hanya sesekali kamu perhatikan dan jawab pertanyaanku.
Tak lama kemudian, sebuah mini bus berhenti di hapan kita, kamu dengan spontan berdiri dan sedikit terburu-buru mengangkat ranselmu ke atas mobil itu dan tak butuh waktu lama kamu pun berada di dalamnya. Aku hanya heran saja tanpa bias menebak yang terjadi bahkan kuterpaku tak dapat berbuat apapun saat itu. Dari atas mobil, kamu memanggilku dari balik jendela. Aku menghampirimu dengan menitipkan kerinduan di pangkuanmu agar kamu bisa bawa serta jadi teman penghibur dalam perjalananmu. Kamu menyodorkan selembar kertas, ternyata itu adalah potretmu. Aku membisu, diam seribu bahasa dan tak mengerti maksud dari semua ini, aku terperanjat kaku. Mobil yang kamu tumpangi bergerak pergi, aku masih berdiri kaku di tempatku, aku tak mendengar ucapan selamat tinggal dari bibirmu, kamu tunjuk potret yang kamu sodorkan lalu berkata “senyumku abadi di situ!”, lalu mobil itu bergerak membawamu pergi, mungkin saja kita adalah jelmaan roda mobil itu yang selalu beriring berdampingan tapi tak pernah bertemu pada satu titik, ataukah takdir sedang mempermainkan kita, bukankah roda waktu berputar hanya untuk melewati pertemuan dan memberikan balada perpisahan pada akhirnya? Huffttmm, mungkin saja jawabnya ada di balik awan yang mengikuti sang raja siang kembali ke peraduannya, agar sang dewi malam bisa menyapaku, setidaknya menemaniku menikmati kesunyian tanpamu.
Jika mengenangmu adalah sebuah kesalahan, aku hanya ingin dihukum bertemu denganmu kembali. Bukankah hidup hanyalah dua hari, satu hari kesedihan dan hari berikutnya kebahagiaan. Aku telah usai menempuh dan melewati tumpuan hari yang melelahkan fisik terlebih lagi derita batin menjangkiti dasar sukmaku, mungkin aku telah lewati hari pertama dan berhak mendapatkan hari berikutnya. Asal kamu tahu saja, sejak kamu pergi meninggalkanku, temanku hanyalah kesepian.
Kamu telah pergi dengan bagian yang hilang, itulah sebabnya kamu selalu menghantuiku dengan bayangmu melintasi imajinasi dalam benakku yang kaku akan dirimu. Aku hanya tidak ingin jadi musafir, rutin bertemu lalu berpisah dan melupakan. Tentangmu tak akan menjadi kenanganku tapi realitaku. Jika, Tuhan menuntun arah langkahku menuju padamu, akankah derita ini kamu balut dengan kerinduan?
*****




@syam_panritalopi
Jilbab Merahmuda part 2

Pertiwi, namumu harum mewangi di taman sukmaku. Setiap hari aku siram dengan air kerinduan dan pupuk kesetiaan, berharap suatu masa tumbuh subur kemudian berbunga dan menuai harapan. Kemana rimbamu selama ini? Perpisahan ini sungguh penyakit menggorogoti ruang kalbuku, terinfeksi hingga tubuhku tak setegap dahulu, mengikis semangatku. Berikanlah pertanda pada derita ini, harus aku bawa kemana selain membawanya padamu, karena hanya kamulah penawarnya. Racun penantian telah aku tegup bersama kesepianku. Jika udara masih kamu hirup, titipkanlah pada angin yang selalu menyapa dalam pelukan malam tanpa pijar sinar rembulan.
Entah ini malam keberapa, aku duduk termenung di bawah kuasa sang dewi malam, menanti bisikan angin akan keberadaanmu. Haruskah aku tancapkan pencarian ini di jalan setapak agar tak lagi melihat jalan pulang, jalan yang selalu mengingatkan sosokmu di setiap sudut bahkan di garis jalan, setidaknya deritaku luntur bersama deraian keringat dari pelupuk retinaku. Jika saja malam ini kamu tampakkan sosokmu walau dalam khayalku saja, maka akan kupetik rembulan bersama dengan bintang, kubawakan kepangkuanmu agar kamu dapat pahami betapa kamu lebih berarti dari penguasa malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar